Menjelang senjakala era Orde Baru, keprihatinan atas korporatisme negara di kalangan buruh kian memuncak. Proyek ideologis propembangunan seperti Hubungan Industrial Pancasila mulai dipandang sebelah mata. Gerakan yang dimotori kalangan buruh pun mulai bersemi sejak awal 1990-an. Tak butuh waktu lama,Ā pemerintahan Soeharto memberikan tanggapan dengan mengecam segala penyampaian aspirasi buruh di luar forum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Merespons hal itu, Budiman Sudjatmiko selaku ketua Partai Rakyat Demokratik saat itu menegaskan bahwa segenap kaum buruh Indonesia harus berada di bawah perlawanan yang terorganisasi. Lewat wawancara dengan BALAIRUNG di Lembaga Pemasyarakatan Salemba yang dimuat dalam Majalah BALAIRUNG No. 26/TH. XII/1997, ia justru menyampaikan jika demonstrasi buruh kala itu masih dihantui kekosongan ideologi. Imbasnya, perlawanan yang sistematis pun tak akan lebih berdiri sebagai angan-angan belaka. Berikut wawancara selengkapnya.
Bagaimana Anda memandang korporatisme negara pada sektor buruh?
Korporatisme negara sangat dilegitimasi oleh strategi pembangunan kapitalistik yang ditempuh negara-negara pascakolonial. Jadi, hal ini sebenarnya adalah fenomena yang sangat klasik di Dunia Ketiga, sebagaimana terjadi di Amerika Latin yang menerapkan industrialisasi substitusi impor. Saat ini, Indonesia sudah menuju tahap industrialisasi serta lambat laun Pendapatan Domestik Brutonya sangat bergantung terhadap industri, terutama industri manufaktur. Oleh karena itu dari semua policy yang ada, policy tentang ketenagakerjaan adalah yang paling mempertaruhkan banyak hal. Artinya, sampai sejauh mana policy ini bisa menjamin akumulasi modal sekaligus sanggup meredam potensi resistensi dari buruh itu sendiri.Ā
Dengan korporatisme negara?
Ya, mengingat potensi daya pukul kaum buruh di Dunia Ketiga sangat tinggi. Oleh karena itu, untuk mengakumulasi modal di negara-negara tersebut, dibutuhkan korporatisme negara yang bisa menjinakkan buruh agar mereka tidak mempunyai perlawanan yang sistematis terhadap proses akumulasi modal yang kapitalistik.Ā
Apakah korporatisme sudah bisa dikatakan berhasil menjinakkan buruh?
Sebagai suatu dominasi korporatisme cukup berhasil, tetapi tidak berhasil menghegemoni. Sebab, tantangan di tingkat minimal dan kesadaran ada di kalangan buruh. Kalangan buruh sudah sejak lama sadar atau tidak sadar; mereka tidak memercayai lagi terhadap sesuatu yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Mereka tiap hari merasakan adanya kesenjangan, sehingga mereka melawan dengan cara-cara mereka sendiri.
Jadi secara ideologis, negara tidak mampu lagi mengangkangi pola pikir rakyat. Satu-satunya jalan untuk mempertahankan dominasi kemudian adalah represi; kalau perlu, institusi āekstra konstitusionalā seperti Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional pun mereka ciptakan. Nampaknya, pemerintah sudah kehilangan demagogi-demagogi untuk meyakinkan banyak orang bahwa kita adalah keluarga yang harmonis ataupun ada kemitraan antara buruh dan pengusaha.
Namun agaknya resistensi buruh terhadap korporatisme belum kuat secara kualitatif?
Korporatisme tidak meniadakan perlawanan, karena perlawanan akan selalu ada. Selama ada kesenjangan, ia (korporatisme) hanya bisa mencegah agar perlawanan tidak sistematis.
Mengapa banyak kalangan menilai gerakan buruh di Indonesia ini lemah?
Begini, di Indonesia tantangan korporatisme ini belum cukup kuat karena keinginan untuk perubahan lebih dirasakan oleh kalangan kelas bawah, sementara lapisan menengahnya kurang artikulatif, sehingga proses demokratisasi tersendat-sendat. Kalaupun toh terjadi gejolak, ia tidak menghasilkan demokratisasi, melainkan hanya menghasilkan perlawanan-perlawanan sporadis.
Selain itu, saat ini terjadi kevakuman ideologi di kalangan rakyat (baca: buruh). Di satu sisi, proyek ideologi pemerintah sudah tidak lagi kena di kalangan rakyat, seperti kekeluargaan, harmoni, HIP. Di lain pihak, gerakan prodemokrasi juga belum memberikan ideologi alternatif.
Kemarahan dan resistensi sudah ada,Ā kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sudah menunjukkan itu. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun, ada vakum ideologi; dan kevakuman ideologi inilah yang nantinya tidak akan bisa membawa potensi-potensi resistensi menjadi suatu gerakan yang sistematis.
Bagaimana supaya sistematis?
Ada empat syarat sebenarnya supaya sebuah gerakan menjadi sistematis, yaitu ideologi dan program yang jelas, organisasi yang jelas, pimpinan yang jelas, serta momentum yang tepat. Dalam strategi gerakan, suatu gerakan bisa menang kalau dia sistematis.Ā
Kalau sekarang?
Sekarang belum ada. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah gerilya politik; dalam artian, terus menerus melakukan resistensi. Resistensi-resistensi itu jangan dibiarkan spontan, tetapi lambat laun harus dikonsolidasikan sehingga menjadi sistematis.
Apakah gerakan yang radikal cukup tepat mengingat dalam banyak kasus seperti 27 Juli justru membentur represi negara?
Begini, rakyat Indonesia ini sebenarnya mempunyai sejarah panjang perlawanan yang hebat, bahkan proses kemerdekaannya pun sangat revolusioner. Di samping itu, sejarah pergerakan di Indonesia sangat diwarnai oleh aksi-aksi di kalangan bawah, misalnya aksi perlawanan petani di Banten dan pemogokan-pemogokan buruh tahun 20-an. Fenomena itu terus berlanjut sampai tahun 40-an, 50-an, dan 60-an. Artinya, kita bukan bangsa yang pengecut jika dilihat dari tradisinya. Kita adalah bangsa yang sangat heroik, rakyat yang sangat heroik, dan punya rekaman sejarah perlawanan panjang.
Mengapa korporatisme negara Orde Baru begitu terlegitimasi?
Jika kembali ke UUD 1945, korporatisme sebenarnya tidak mempunyai landasan yuridis, karena hak berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin. Artinya, adanya wadah tunggal buruh tidak dapat dibenarkan. Satu-satunya kemenangan pemerintah dengan korporatisme adalah mereka mempunyai hak untuk melegitimasi bahwa apa yang dilakukan buruh ketika demonstrasi tanpa Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), petani protes tanpa Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan pemuda demonstrasi di luar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) diakui sebagai tindakan liar. Liar secara hukum; yang berarti melanggar ketertiban menggunakan cara-cara di luar sistem ataupun tanpa bentuk. Itu saja.
Lantas, apa agenda ke depan?
Saya kira, salah satu agenda pokok dari perjuangan demokrasi adalah mempertanyakan terus-menerus keabsahan moral dan politis dari produk-produk policy yang ada. Sebab, selagi pemerintah masih menggunakan selubung yuridis sebagai kekuatannya, selagi itu pula pemerintah masih mempunyai hak untuk berbuat apa saja.
Bagaimana prospeknya ke depan? Apakah korporatisme ini akan mencair?
Saya kira semuanya akan dihadapkan kepada perkembangan globalisasi dan pasar bebas yang akan menghasilkan kekuatan-kekuatan sosial baru, baik yang lahir dari masyarakat domestik maupun dari kekuatan asing yang akan hadir.
Pekerja-pekerja asing yang sudah memiliki tradisi berdemokrasi tidak akan terbiasa berhadapan dengan birokrasi yang cerewet dan korup seperti di Indonesia. Karena pemerintah berkepentingan untuk mendapatkan suntikan modal, maka pemerintah atau birokrasi mau tidak mau harus merubah dirinya. Artinya, korporatisme ini bisa diubah, lewat desakan-desakan dari masyarakat, maupun tekanan dunia internasional. Saya kira, ini hanya masalah waktu saja. [Asep Mulyana, Melani Wahyu Wulandari, Ajianto Dwi Nugroho]
Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Albertus Arioseto.