Panasnya ujung pistol dan tajamnya hentakan kaki kursi menjadi saksi penganiayaan para korban terduga salah tangkap klitih Gedongkuning. Gulir kasus berkepanjangan, tak kunjung menemui titik cerah bagi para korban, orang tua mereka, dan keadilan bagi kasus pembunuhan. Pihak kepolisian pun menolak memberikan pernyataan resmi terkait data terkini, alasannya belum inkrah. “Kasus klitih yang mana ya? Gedongkuning yang mana? Harus lebih spesifik,” ujar Humas Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta pada BALAIRUNG saat dihubungi pada Kamis (02-02).
Isak tangis orang tua korban tak tertahankan saat menceritakan abainya kepolisian terhadap penganiayaan yang terjadi. Andayani dan Menik, ibu dari Andi dan Fandi, korban salah tangkap klitih Gedongkuning, menceritakan proses penegakan hukum oleh aparat di lapangan pada Rabu (28-12-2022). Bukti-bukti atas kejanggalan dalam proses penyidikan seperti hilangnya beberapa rekaman CCTV dan temuan barang bukti yang tidak sesuai selalu dikesampingkan oleh penyidik. Sementara itu, luka memar pada leher Fandi harus disaksikan oleh Menik melalui video-video jumpa pers di internet. “Tanggal 9 Juni, Fandi baru bisa bilang kalau dia dipukuli bahkan di Rutan dia sempat ditodong pistol,” jelasnya. Menurut Andayani, vonis hakim yang berentang 6–10 tahun pada kelima korban abai terhadap kekerasan yang dilakukan polisi.
Sebelumnya, dalam proses penyidikan kasus salah tangkap klitih Gedongkuning, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta telah melaporkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Julian Dwi Prasetya, Direktur LBH Yogyakarta, Komnas HAM telah bersurat ke Pengadilan Negeri Yogyakarta terkait temuan kekerasan dalam penyidikan, tetapi tidak pernah diproses. Julian menjelaskan bahwa tidak seharusnya penyidik melakukan tindak kekerasan kepada tahanan atau terduga pelaku. Penyidik bertanggung jawab atas keselamatan orang yang mereka tahan mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri. “Tapi, faktanya memang kekerasan masih ada ketika terjadi penahanan oleh penyidik,” ungkapnya.
Terkait adanya dugaan kekerasan di kepolisian, Verena Sri Wahyuningsih, Humas Polda Yogyakarta, menjelaskan bahwa polisi juga bisa melakukan kesalahan saat menangani masalah. “Polisi bukan dewa ya,” paparnya. Lebih lanjut, Verena juga mengungkapkan bahwa polisi yang bertindak di luar aturan dan standar operasional prosedur adalah oknum sehingga perlu diselidiki latar belakang dari oknum tersebut. Verena juga menegaskan bahwa setiap oknum yang terbukti bersalah akan dikenakan sanksi.
Bertentangan dengan Verena, Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Fakultas Hukum UGM, menyatakan bahwa penanganan pelanggaran anggota yang dilakukan polisi dinilai masih kurang. Ia melihat terdapat pola kepolisian dalam melindungi kekerasan dengan menutupi informasi dan menghindari suara penderitaan dari publik. “Polisi tidak menegakan integritas secara baik, jauh dari kata ideal dalam upaya membangun polisi yang melindungi dan mengayomi masyarakat,” tegas Herlambang.
Kekerasan Sistemik dari Kepolisian
Herlambang menyatakan kepolisian terus-menerus mereproduksi kekerasan sebagai metode penyelesaian kasus, bahkan sering kali menegakkan hukum secara diskriminatif, jauh dari kata profesional. Ia menyatakan kekerasan bukan lagi budaya, melainkan suatu hal yang sifatnya sistemik atau struktural sehingga tidak mengejutkan kekerasan demi kekerasan itu terjadi di berbagai daerah. “Secara data, aduan paling besar Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM itu aktor utamanya adalah kepolisian dan itu konsisten dari tahun ke tahun,” jelas Herlambang. Penjelasan ini diperkuat dengan data yang diterbitkan oleh Komnas HAM bahwa terdapat 2.580 aduan kekerasan polisi selama 2022.
Bicara soal kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap kasus klitih, Yahya Kurniawan, pengamat klitih, menyatakan bahwa pola penanganan kasus klitih selalu sama, selalu dengan kekerasan. “Pertama dijemput, lalu ditangkap, kemudian dipukuli,” ujar Yahya. Selain itu, menurut Yahya, polisi enggan bila berhadapan dengan kasus kejahatan jalanan karena tidak menghasilkan uang, berbeda halnya dengan kasus narkotika yang lekat dengan penyogokan. Berbekal penelitian panjang tentang klitih, Yahya menyatakan bahwa banyak temuan kasus serupa dan sama persis pola penanganannya.
Yahya menceritakan bahwa dalam proses penyidikan, terduga pelaku akan semakin disiksa secara brutal jika menjerit kesakitan. Menurutnya, saat proses interogasi, polisi tidak memedulikan kondisi pelaku, bogem mentah yang melayang hingga todongan pistol panas menjadi hal yang lumrah. ”Dulu temanku ada yang tertangkap di jalanan. Ia dibawa ke suatu hotel untuk disiksa agar mengaku,” ujar Yahya.
Berkaca pada kasus kekerasan yang kian banyak, Herlambang mengatakan bahwa penegakan hukum yang melibatkan kekerasan oleh aparat kepolisian sering kali impunitas. Menurutnya, upaya penegakan hukum yang tidak profesional dengan menggunakan cara kekerasan tidaklah manusiawi. Ia memaparkan bahwa perlakuan tidak manusiawi ini juga ditemukan di kasus salah tangkap klitih Gedongkuning. “Tidak ada pembelajaran setelah terjadi kekerasan, upaya mengevaluasi yang memberikan efek jera, atau perubahan di internal institusi kepolisian,” ungkap Herlambang.
Sudah Ada Pengakuan, tetapi Belum Ada Titik Terang
Kian panjang kasus berlangsung, banyaknya bukti tetap tak berpengaruh. Salah satunya, Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan oleh Ombudsman RI Perwakilan Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran administratif oleh penyidik kasus salah tangkap klitih Gedongkuning. Budi Masturi, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Yogyakarta, menyatakan bahwa Ombudsman mengafirmasi adanya kekerasan dan pelanggaran administratif. Menurut Masturi, polisi terbukti melanggar dengan menangkap tanpa surat tugas, menyalahi prosedur Berita Acara Pemeriksaan, dan melakukan kekerasan. “Hari ini 2 Februari, kami sudah melaporkan dan membuktikan bahwa ada maladministrasi. Kami meminta Polda untuk memberikan sanksi dan pembinaan kepada pihak penyidik,” terang Masturi.
Selain itu, ia menyatakan bahwa dalam kurun waktu tiga puluh hari surat rekomendasi tidak ditindaklanjuti, maka kasus akan diteruskan ke Ombudsman pusat di Jakarta. Ia yakin bahwa rekomendasi dari Ombudsman berdampak bagi pihak-pihak terkait dalam kasus ini. “Polisi cukup berkomitmen terhadap hal ini. Kalau soal putusan, ini tergantung pengacaranya, bagaimana nanti pengacaranya mengapitalisasi rekomendasi kami,” jelas Masturi.
Kemudian, ketika BALAIRUNG menanyakan kepada pihak Polda Yogyakarta terkait surat rekomendasi tersebut, Verena menyatakan bahwa tidak mengetahui tentang adanya surat rekomendasi dari Ombudsman RI perwakilan Yogyakarta. “Apabila terdapat surat rekomendasi dari Ombudsman, pasti akan ditindaklanjuti melalui jalurnya,” jelas Verena. Menurutnya, saat ini polisi sudah berusaha untuk netral dan jika ada anggota bersalah pasti akan mendapatkan hukuman.
Hingga tulisan ini dinaikkan, belum ada kabar lanjutan terkait pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung oleh para pendamping hukum salah tangkap. Namun, dalam konferensi pers yang digelar oleh Orang Tua Bergerak (28-03), ditemukan fakta bahwa saat ini para penyidik yang melakukan kekerasan tengah menjalani sidang etik. “Saya kemarin sudah dipanggil menjadi saksi, tetapi polisi yang diperiksa baru dua. Padahal yang melakukan kekerasan itu banyak,” ujar Badriah, salah satu orang tua korban salah tangkap klitih Gedongkuning.
Gagal dalam Perbaikan Institusi
Reformasi yang terus digaungkan pihak kepolisian dinilai Herlambang telah gagal sejak dari awal. Upaya penegakan hukum oleh kepolisian sarat permasalahan. “Penegakan hukum penuh dengan siasat dan formalistik, kering dari prinsip keadilan,” ujar Herlambang. Menurutnya, hal ini yang menyebabkan publik tidak akan pernah percaya terhadap institusi negara, penegakan hukum yang baik merefleksikan masyarakatnya yang juga patuh hukum.
Selain itu, Herlambang mengungkapkan faktor kegagalan tersebut juga disebabkan oleh penegakan hukum kepolisian yang diskriminatif. Kepolisian sering mengorbankan institusi yang berada di bawah tanpa menggunakan kepemimpinan untuk mengubah situasi. “Tidak ada petinggi penegak hukum yang mau mundur karena kerja anak buahnya tidak profesional dan menyakiti masyarakat,” ujar Herlambang.
Lebih lanjut, Herlambang menegaskan bahwa upaya perbaikan institusi kepolisian hanya bisa dilakukan dengan kepemimpinan yang humanis, berintegritas tinggi, dan profesional. Lemahnya kepemimpinan yang memiliki visi dan integritas, tidak memberi pelajaran yang baik bagi penegakan hukum. “Ketegasan dari pimpinan Polri dalam mengupayakan penyelesaian kasus kekerasan kepolisian seharusnya sesuai standar yang telah dibuat kepolisian,” pungkas Herlambang.
Penulis : Hadistia Leovita, Ilham Maulana dan Vigo Joshua
Penyunting : Yeni Yuliati
Fotografer : Natasya Mutia Dewi