Ruangan itu begitu pengap dan sunyi. Menit silih berganti menjadi jam dan hanya terdengar gertakan-gertakan yang dimuntahkan dari mulut para polisi. Bau kecut keringat dan anyir darah yang membilas tubuh Ditto meracuni udara dalam ruangan. Napasnya terasa sesak. Ia terengah-engah seperti habis dikejar setan.
Ditto, yang sudah begitu lemah setelah dihajar ramai-ramai, kini duduk terkulai. Di hadapannya, sejumlah polisi berdiri mengepung dirinya yang tak berdaya. Tiba-tiba, sepucuk pistol dihunjamkan ke kaki Ditto. Ia bergidik merasakan dinginnya besi yang menjalar di kulit kaki. “Kowe pilih pincang opo ngaku,” ancam si polisi yang menghujamkan pistol. Setelah itu, jari telunjuk si polisi pindah ke pelatuk. Siap melubangi kaki Ditto bila pemuda berusia 18 tahun itu enggan menandatangani berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Saat itu, Ditto hanya memikirkan keselamatan diri. Ia teringat cita-citanya untuk menjadi abdi negara. Apabila kakinya pincang, ia tak akan bisa mendaftar Angkatan Udara. Oleh sebab itu, tanpa pikir panjang, Ditto menyerahkan diri untuk menggoreskan tanda tangannya di lembar BAP tersebut. Padahal, ia tak tahu-menahu perkara pembacokan yang terjadi pada Minggu (03-04-2022) silam, yang menjadi alasan polisi memburu pengakuannya.
Sejak malam, polisi-polisi itu memang begitu bersemangat memburu pengakuan Ditto. Tak peduli dengan cara apa pun, mereka terus-menerus memaksa Ditto supaya mengamini tuduhan sebagai pelaku pembunuhan. Sudah tidak terhitung jumlah pukulan yang merajam ke sekujur tubuh Ditto. Sebelum diacungi pistol, Ditto urung membubuhkan tanda tangannya di atas lembar BAP.
Mata Asri, ibunda dari Ditto, berkaca-kaca ketika mengisahkan pemukulan oleh polisi yang dialami anaknya ini. Ia mendengar penyiksaan demi penyiksaan itu langsung dari mulut anaknya. “Sewaktu pertama kali bertemu setelah ditangkap polisi, dada dan perutnya sesak karena dia kena pukul di situ,” ungkap Asri.
Pembunuhan yang dituduhkan kepada Ditto adalah kasus kematian Daffa Adzin, anak dari Madkhan Anis, salah satu anggota DPRD Kebumen, Jawa Tengah. Pada Minggu (03-04-2022), Daffa bersama kawan-kawannya hendak bertandang ke sebuah warung di tepi Jalan Gedongkuning. Belum sempat menurunkan standar motor, Daffa dan kawan-kawannya terlonjak mendengar deru motor yang dibleyer-bleyer dari jalan. Para pembleyer pun dikejar oleh mereka. Tidak berselang lama, Daffa ditemukan oleh petugas Direktorat Sabhara Polda Yogyakarta dalam keadaan lemas dan bersimbah darah. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi ajal menjemputnya di sana.
Kabar kematian Daffa tersiar di mana-mana. Selang enam hari semenjak tragedi berdarah itu terjadi, atas perintah Kapolda Yogyakarta, polisi menangkap Ditto bersama empat orang temannya, yakni Ryan, Andi, Fandi, dan Hanif. Kelima anak itu ditangkap tanpa surat perintah.
Setelah menggabungkan kepingan memori penangkapan anak-anak yang disampaikan oleh orang tua, semuanya tampak mengalami skenario yang kurang lebih sama. Pagar-pagar rumah dilompati. Pintu-pintu rumah didobrak. Bak penculikan, polisi langsung membekuk mereka. Berdalih akan menginterogasi anak-anak itu terkait perang sarung, polisi berhasil membawa mereka pergi. Perang sarung yang mereka lakoni tersebut kebetulan memang terjadi di hari yang sama ketika Daffa tewas.
Anakku Mana?
Sementara Ditto disiksa oleh polisi, Asri sama sekali tak mengetahui perihal penangkapan anaknya. Yang ia tahu, sebelum Ditto ditangkap di rumah kawannya, sempat ada lima polisi yang menemui Asri di rumah. Mereka berdalih akan mengupayakan jalan damai untuk peristiwa perang sarung yang dilakukan Ditto dan kawan-kawannya. Ia terperanjat kaget saat mendengar pengakuan itu. Ia tahu benar bahwa anaknya tidak pernah terlibat perang sarung sama sekali. “Ketika perang sarung pecah pada hari Minggu (03-04-2022), Ditto sedang rapat kegiatan bansos di Kedai Berkeley,” jelas Asri.
Serangkaian operasi penangkapan berlangsung secepat kilat, menyisakan para orang tua yang kebingungan. “Polisi-polisi itu menangkap anak saya tanpa membawa surat apa pun, tidak ketemu dengan orang tua,” keluh Menik, ibu dari Fandi. Ia langsung menuju Polsek Sewon selepas tahu anaknya ditangkap. Namun, polisi tidak mengizinkannya menemui anaknya hari itu.
Seusai kembali ke rumah, pikiran Menik kalut saat melihat wajah anaknya terpampang di siaran berita sebagai tersangka klitih Gedongkuning. Ia segera kembali ke Polsek untuk meminta penjelasan polisi. Panik dan khawatir, alhasil, Menik manut-manut saja atas arahan dari mereka. Ia pun menerima pengacara yang ditunjuk oleh polisi untuk menjalani proses hukum anaknya. “Kami buta hukum dan kami orang tidak punya,” ujar Menik.
Kepatuhannya membuahkan hasil. Menik dapat berbicara dengan anaknya pada hari Jumat (15-04-2022) melalui gawai milik penyidik. Namun, bukannya lega, ia malah semakin pilu. “Ibu jaga kesehatan ya,” ujar Fandi menahan tangisnya. Hatinya tercabik-cabik. Menik tahu, anaknya tak bisa berucap banyak. Fandi terpaksa bungkam di depan para penyidik yang habis menyiksanya sepanjang malam.
Kamis (21-04-2022), Menik akhirnya berkesempatan mengunjungi anaknya secara langsung di Polsek Kotagede. Di sana, perasaan khawatir Menik berkecamuk melihat kondisi anaknya yang babak belur. Hari-harinya lantas dilanda gundah gulana. Kemudian, hari Senin (25-04-2022), Fandi mengutarakan keinginannya untuk berganti pendamping hukum (PH). “Aku cuma disuruh manut-manut aja, Bu. Padahal, aku bukan pelakunya,” jujur Fandi kepada ibunya saat menjalani tes psikologi.
Tidak hanya Menik; Badriah, ibu dari Hanif, juga dibuat tidak berdaya oleh pihak kepolisian. Berharap bisa melihat sekelebat sosok anaknya yang tengah ditahan di Polsek Kotagede pada hari Senin (11-04-2022), Badriah malah berakhir melihat anaknya lewat siaran televisi sebagai pelaku kasus klitih di Gedongkuning.
Badriah dipaksa untuk menunggu selama seminggu tanpa kejelasan. Ia terguncang ketika akhirnya bertemu dengan Hanif pada hari Senin (18-04-2022). Mengingat momen itu, Badriah terdiam sambil menahan tangisnya. “Saya melihat betul ada goresan-goresan bekas sabetan alat kelamin sapi yang dikeringkan di lengannya,” jelas Badriah. Bendungan air matanya pecah ketika menceritakan keadaan wajah Hanif yang sudah dihiasi warna merah lebam.
“Ma, nek aku ra ngaku, mesti nyowoku ilang,” pasrah Hanif kepada ibunya. Mendengar cerita anaknya, Badriah geram. Anaknya sebisa mungkin dibuat mengiyakan perbuatan yang tidak ia lakukan. Saat itu, tidak ada yang bisa Badriah lakukan selain memeluk pundak anaknya yang malang itu.
Orang tua dari Ryan, Andi, dan Ditto turut merasakan hal serupa. Anak-anak mereka ditangkap secara paksa, dipersulit bersua, dan dihajar semena-mena. Semua itu dilakukan demi mendapatkan pengakuan atas tindakan yang tidak mereka lakukan.
Belum cukup dengan menyiksa anak-anak, penyidik tega merancang skenario untuk rekonstruksi kejadian perkara. Selayaknya pagelaran wayang, mereka diarahkan supaya bergerak sesuai keinginan penyidik. Andayani, ibunda dari Andi, adalah salah satu dari para orang tua yang menyaksikan rekonstruksi secara langsung. Ia terheran-heran menonton seorang polisi mengoreksi saat Ryan memutar gir dengan tangan yang salah. “Selain itu, rekonstruksi juga dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada seorangpun wartawan yang diizinkan meliput,” ucap Andayani membeberkan kejanggalan-kejanggalan yang mewarnai jalannya proses rekonstruksi.
Hasil Pengadilan Tak Sesuai Harapan
Selain rekonstruksi, kejanggalan juga terus membuntuti kelima orang tua tersebut hingga persidangan. Saat tiba waktu persidangan pada hari Selasa (19-07-2022), mereka terpaksa menonton anaknya dihantam oleh bukti-bukti yang tidak sesuai, bahkan berbeda dengan yang dituduhkan. Selain itu, sosok ukuran tubuh para pelaku yang tertangkap CCTV juga berbeda dengan para terdakwa.
CCTV yang menjadi bukti saat persidangan pun diduga telah sengaja dirusak. Para PH dari kelima korban mencoba meminta bantuan tim laboratorium Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia guna melaksanakan uji forensik digital. Hasil uji tersebut menduga bahwa CCTV tersebut telah diturunkan kualitasnya. Kualitas yang seharusnya HD atau MOP formatnya, diubah menjadi 3GP. Taufiqurrahman, PH dari Ditto, alhasil dibuat bingung, “Saksi korban belum diperiksa, CCTV juga apa adanya, lalu dari mana caranya menentukan pelaku?”
Dalam anotasi persidangan, salah satu saksi, Redy, menarik kembali pernyataannya terkait senjata gir sebagai barang bukti. Redy menyebutkan gir tersebut bukanlah gir yang dipakai saat penyerangan. Ia menyatakan bahwa para polisi mengintimidasinya. Oleh karena itu, ia mengambil gir bekas dari rumah kakaknya ketika dimintai barang bukti oleh polisi.
Biarpun demikian, keganjilan-keganjilan itu tidak menghentikan hakim untuk menjatuhkan vonis yang berat. Ketika sidang vonis berakhir, Ryan yang dituduh sebagai eksekutor dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Sementara itu, keempat anak lainnya mendapatkan masa hukuman penjara yang lebih singkat, yakni 6 tahun. Mengetahui vonis yang diberikan kepada Ryan, Wahyuni terguncang. Bayang-bayang anaknya akan mendekam di penjara selama satu dekade menghantui Wahyuni. Kakinya langsung terasa lemas.
Melihat kejadian tersebut, Zahru Arqom, pengacara Hanif dan Fandi, berpendapat bahwa hakim tidak adil dalam menjatuhkan putusan. Ia mengeluhkan barang bukti yang telah ia sertakan dalam memori banding tidak diperiksa oleh hakim. Dengan adanya bukti rekaman CCTV yang menunjukkan para terdakwa tidak berada di tempat kejadian pada saat Daffa diserang, Arqom merasa yakin mereka bisa bebas. “Jika bukti diterima, anak-anak seharusnya bebas. Namun, hakim mengesampingkan semua alat bukti yang ada,” papar Arqom.
Ia kecewa kepada hakim yang tidak mendengarkan pembelaannya. “Mereka dibayar dan digaji. Jabatannya untuk menegakkan keadilan, tetapi yang terjadi dalam pengadilan ini tidak ada keadilan,” geram Arqom.
Kabar terbaru, pada Selasa (14-02-2023), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yogyakarta menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dengan nomor registrasi 0106/LM/VII/2022/YOG terhadap kasus klitih Gedongkuning kepada orang tua. Ada maladministrasi hukum dan kecacatan prosedur yang ditemukan dalam LAHP tersebut. Pada suratnya, ORI Perwakilan DIY meminta Polda Yogyakarta untuk memeriksa penyidik paling lama 30 hari sejak tanggal 1 Februari.
Tidak hanya itu, tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh polisi juga digugat oleh Amnesty International Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepolisian bertindak tanpa prosedur hukum acara pidana yang benar saat menangkap lima pelaku. Amnesty International Indonesia pun mengirim surat kepada Kapolri untuk mengusut tuntas penyidik kasus klitih Gedongkuning.
Pada akhirnya, Wakapolda Yogyakarta, Brigjen Pol Raden Slamet Santoso, mengakui adanya kekerasan yang dilakukan oleh penyidik. Andi Rezaldy, Kepala Divisi Hukum Kontras, menyebutkan bahwa pengakuan tersebut tertulis dalam surat rekomendasi dari Komnas HAM. Ia juga menduga kekerasan tersebut dilakukan oleh salah satu anggotanya.
Peradilan telah berhasil menjebloskan kelima korban ke balik jeruji besi. Namun, perjuangan para orang tua untuk memperoleh keadilan bagi anak-anak mereka tak langsung mati di pengadilan. Mereka mengupayakan pemberitaan supaya kasus ini mendapatkan atensi dari masyarakat. Menik bahkan berharap pemangku jabatan seperti Kapolri turut membuka telinga terkait petaka yang menimpa anaknya. “Kami ingin oknum aparat yang sudah menganiaya anak-anak (kami) diusut sampai tuntas,” tuntut Menik.
Orang Tua Bergerak
Dengan duduk berdesak-desakan, ruang tengah sekretariat Social Movement Institute (SMI) hari itu dipenuhi orang yang saling berbalas tanggapan. Rabu (28-12-2022), para orang tua bersama orang-orang yang membersamai perjuangan mereka sedang mendiskusikan strategi advokasi perlawanan ke depan. “Nanti sewaktu rilis buku Ibu Andayani, kita bikin diskusi publik saja,” usul Andrini.
Andrini adalah salah satu orang yang turut hadir selama persidangan. Kedekatannya dengan LBH membuatnya tertarik memantau kasus ini. Setelah hadir dari persidangan ke persidangan, Andrini lalu menyadari bahwa perlu usaha advokasi yang bersifat lebih masif demi memperluas jangkauan isu ini. Dengan latar belakangnya di ranah advokasi komunikasi kampanye, ia lalu menawarkan sebuah usulan kepada para orang tua.
Usulan tersebut adalah pembentukan akun media sosial. Instagram, Twitter, dan Facebook pun dibentuk dengan mengatasnamakan gerakan ini. “Informasi-informasi selama persidangan akan dicoba diolah menjadi konten dengan harapan meningkatkan perhatian publik,” terang Andini.
Setelah berdiskusi dengan orang tua lainnya, Andrini lalu meminta semua PH untuk bergabung dengan gerakan. Berbagai kelompok sipil pun turut diundang. “Kami mencoba berkonsolidasi kepada lembaga-lembaga swadaya, bantuan hukum, wartawan, dan mahasiswa,” jelas Andayani. Gerakan kolektif yang bernama Orang Tua Bergerak pun akhirnya terbentuk.
SMI merespons dengan tangkas permintaan konsolidasi dari para orang tua. “Kita menganggap proses-proses dari penangkapan hingga peradilan itu penuh dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai hukum,” ujar Eko Prasetyo, perwakilan SMI. Strategi-strategi advokasi ke depannya sering dilaksanakan di sekretariat SMI.
Strategi tersebut terbagi menjadi dua program, yakni litigasi dan nonlitigasi. Pembahasan langkah-langkah secara jalur hukum adalah bagian dari litigasi. Orang Tua Bergerak mencoba menghubungi institusi terkait seperti Komnas HAM, ORI, sampai meneruskan proses hukum ke pusat lewat permohonan kasasi.
Sedangkan, program nonlitigasi diwujudkan melalui pembahasan yang berkutat pada kampanye advokasi atas publik. Lewat media sosialnya, Orang Tua Bergerak aktif melakukan diskusi terkait kasus yang mereka perjuangkan. Salah satunya adalah diskusi pada Rabu (11-01-2023) yang membahas buku Andayani dengan judul Memburu Keadilan. Buku tersebut berisi pengalaman Andayani sebagai ibu selama menghadapi kasus salah tangkap anaknya.
Upaya lainnya adalah penyebaran poster-poster. Setiap sudut jalan Jogja dihiasi oleh poster-poster yang mempertanyakan keadilan. Tak hanya itu, Aksi Kamisan Yogyakarta pun mengangkat tema kasus penangkapan klitih ini semenjak beberapa bulan ke belakang. Gerakan dan pemberitaan yang semakin meluas membuat mereka berubah nama menjadi Warga Bergerak.
“Kita butuh perhatian masyarakat Yogyakarta karena di balik penangkapan tersebut ada rekayasa yang sangat luar biasa,” pinta Eko. Sebab, menurutnya, semua remaja berpotensi menjadi korban rekayasa selanjutnya. Oleh karena itu, sambung Eko, kasus ini adalah momentum untuk pembersihan penegak hukum supaya lebih adil dan transparan.
Ke depannya, Warga Bergerak akan menyiapkan memori kasasi ke Mahkamah Agung. “Kami menunggu dahulu putusan resmi dari pengadilan banding. Kalau sudah ada, kami baru menyetor ke Mahkamah Agung,” ujar Andayani. Edukasi publik kedepannya akan diperbanyak lagi. Warga Bergerak terus berupaya meningkatkan atensi kasus ke lingkup nasional bahkan sampai internasional.
Rantai perjuangan Warga Bergerak terus terurai tanpa terputus. Seperti yang dituliskan oleh Andayani dalam bukunya, perburuan keadilan adalah tanggung jawab bersama. “Saat ini Andi dan teman-temannya mengalami rekayasa kasus, maka besok bisa saja remaja lainnya menjadi korban dari kebrutalan aparat,” tutur Andayani.
“Jangan diam dan terus melawan!” tulis Andayani di lembar terakhir buku Memburu Keadilan.
***
BALAIRUNG mencoba meminta permohonan wawancara kepada Polda Yogyakarta pada Februari lalu untuk menanyakan kasus ini secara lebih lanjut, terutama dalam respons mereka terhadap rekomendasi yang diberikan Ombudsman dan Komnas HAM. Namun, pihak kepolisian mengatakan bahwa wawancara seputar kasus salah tangkap klitih Gedongkuning belum bisa dilakukan dalam waktu dekat kala itu. “Maaf untuk data (terkait kasus tersebut) belum bisa karena belum inkrah,” ujar Verena Sri Wayhuningsih, Humas Polda Yogyakarta kepada BALAIRUNG. Pada akhirnya, wawancara dilakukan dengan hanya seputar penanganan kasus kekerasan jalanan secara umum (06-03).
Rupanya, kepolisian memang belum memiliki program pelatihan yang dikhususkan untuk menangani kejahatan jalanan. “Jika kita membicarakan adanya pelatihan khusus untuk personel polisi yang akan menangani kejahatan jalanan, memang tidak dikhususkan untuk itu. Namun, ada pelatihan umum karena penegakan hukum tidak hanya kejahatan jalanan saja,” tegas Verena.
Kabar terbaru, saat melakukan konferensi pers atas temuan Komnas HAM pada Selasa lalu (28-03), Andayani bersama orang tua lainnya menyampaikan bahwa Kapolda Yogyakarta telah melakukan sidang etik terhadap dua anggota yang diduga melakukan penganiayaan. Pada sidang yang dilaksanakan saat tanggal 21 Maret tersebut, lima terdakwa dan salah satu orang tua, Badriah, diundang sebagai saksi. Di sana, Badriah menyampaikan beberapa bukti yang membenarkan adanya penyiksaan terhadap anak-anak mereka, salah satunya adalah rekaman obrolan dengan polisi tentang tindakan penganiayaan. Namun, sidang tersebut masih belum menghasilkan keputusan sebab masih dalam tahapan pemeriksaan.
Penulis: Catharina Maida, M. Fahrul Muharman, dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Bambang Muryanto dan Fauzi Ramadhan
Ilustrator: Embun Dinihari
2 komentar
Untuk tombol berbagi artikelnya tolong ditambah aplikasi WhatsApp ya
Salah tangkap & rekayasa kasus kenapa masih saja terjadi.
Rakyat butuh keadilan bukan pembohongan, saatnya berbenah institusi ini.