“Dikasih uang pangkal, dor! Hatiku sangat kacau. Kampusku milik rakyat, rektornya gak merakyat”. Kalimat tersebut merupakan penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan oleh ratusan massa aksi saat memenuhi sisi utara Balairung UGM (13-03). Aksi yang diinisiasi oleh Aliansi Mahasiswa UGM tersebut merupakan respons lanjutan dari adanya wacana uang pangkal yang dilontarkan Ova Emilia, Rektor UGM, saat Hearing Rektorat (17-01) lalu.
Ada empat tuntutan yang dibawa dalam aksi kali ini. Pertama, menuntut UGM untuk tidak menerapkan kebijakan uang pangkal. Kedua, menolak adanya pembebanan dana wajib selain Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ketiga, menuntut dan mengajak dosen untuk terlibat dalam penolakan terhadap neoliberalisasi pendidikan. Keempat, mengajak seluruh elemen mahasiswa untuk terlibat dalam menolak adanya kebijakan uang pangkal.
Sejalan dengan keempat tuntutan tersebut, Gielbran Muhammad, salah seorang massa aksi, menyampaikan, “Ini merupakan klimaks dari masalah yang bermula dari pernyataan Rektor UGM yang bilang bahwa ada wacana uang pangkal.” Ia juga menambahkan bahwa mahasiswa berkumpul pada siang hari ini untuk menunjukkan penolakan terkait uang pangkal.
Sebelum memadati pelataran Balairung UGM, massa aksi terlebih dahulu berkumpul di Taman Sansiro Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM pukul 14.00 WIB. Kemudian, massa aksi secara serentak mulai berjalan menuju Balairung UGM. Sesampainya di pelataran Balairung UGM pada 14.33 WIB, massa aksi langsung memulai aksi dengan melakukan pembacaan puisi dan orasi. Barulah pada 15.01 WIB, Ova beserta jajarannya tiba di lokasi yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama massa aksi.
Dalam diskusi terbuka dengan pihak rektorat, massa aksi tidak menemukan penyelesaian atas permasalahan uang pangkal. Mereka justru menemukan wacana baru serupa uang pangkal, yakni kebijakan Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) yang ternyata sudah tercantum di laman um.ugm.ac.id sejak Sabtu (11-03). Menurut Pandu Wisesa, perwakilan massa aksi, dalam penerapan kebijakan tersebut mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali. Ia sebelumnya mengira bahwa penerapan uang pangkal masih dalam tahap perencanaan. “Hal itu yang membuat kami kecewa. Apakah kami mahasiswa bodoh, sebegitu bodohnya sehingga tidak dilibatkan atau bagaimana?” heran Pandu.
Menanggapi informasi tersebut, massa aksi lantas meminta keterlibatan mahasiswa dalam proses perumusan kebijakan SSPU kepada rektorat. “Kami minta agar dalam segala proses kebijakan SSPU, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi, mahasiswa ikut dilibatkan,” tegas Pandu. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa keterlibatan mahasiswa diperlukan karena kebijakan ini kelak berdampak langsung kepada mahasiswa.
Setelah negosiasi panjang yang terjadi antara massa aksi dengan pihak rektorat, pada 17.15 WIB, tuntutan massa aksi akhirnya menghasilkan kesepakatan dalam bentuk pakta. Di atas materai, pakta yang menuntut rektorat untuk melibatkan mahasiswa dalam kebijakan baru ini langsung ditandatangani oleh Rektor UGM. Aksi lalu berakhir pada pukul 17.36 WIB, diiringi Himne Gadjah Mada yang dinyanyikan oleh seluruh massa aksi dan pihak rektorat.
Namun sayangnya, pakta tersebut tidak menyebutkan tenggat waktu yang diperlukan dalam proses pelibatan mahasiswa dalam merumuskan kebijakan SSPU ini. Maka dari itu, Pandu menilai pengawalan isu ini harus terus dilakukan. “Bentuk pengawalan nantinya bukan hanya aksi, bisa melewati proses-proses advokasi, lobi, negosiasi, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Dalam hal ini, Pandu melihat adanya pergeseran tuntutan dari yang tadinya menolak secara tegas mekanisme uang pangkal, menjadi berkompromi untuk terlibat dalam perumusan. “Tuntutan awalnya, kebijakan uang pangkal ini harus dihapus. Akan tetapi, kami sadar betul bahwasanya uang pangkal ini merupakan konsekuensi dari status UGM sebagai PTN-BH (Perguruan TInggi Negeri Berbadan Hukum),” ungkap Pandu. Oleh karena itu, ia menambahkan bahwa target aksi selanjutnya adalah menyasar permasalahan kebijakan PTN-BH.
Dera, perwakilan Forum Advokasi (Formad) UGM, menilai tuntutan yang dihasilkan melenceng dari isu yang awalnya hendak dibawakan. Ia menyebut bahwa isu yang awalnya dibawa adalah menolak segala bentuk sumbangan selain UKT. Kebijakan SSPU ini menurutnya bukan lagi sebuah isu, tetapi merupakan sebuah sistem yang sudah pasti. “Kompromi mahasiswa ini hal yang sedikit tepat. Sebab, SSPU ini saja sudah diumumkan tanggal 11 dan diunggah dua hari sebelum aksi,” ungkapnya.
Penulis: Muhammad Fariz Ardan, Yasmin Nabiha Sahda, dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Fotografer: Natasya Mutia Dewi