Rabu (08-03), puluhan massa aksi yang tergabung dalam gerakan International Women’s Day (IWD) 2023 melakukan longmars dari Kampung Ketandan menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta, titik puncak aksi memperingati IWD dilaksanakan. Berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga beberapa komunitas di Jogja seperti Srikandi UII, Srikandi UGM, Girl Up UGM, Siempre, Pembebasan, Asrama Kamasan serta komunitas LGBTQ+ ikut serta memeriahkan aksi tersebut. Pada tahun ini, IWD mengangkat 14 tuntutan yang tercatat dalam Manifesto Hari Perempuan Internasional Yogyakarta 2023. Salah satu tuntutan yang digaungkan dalam aksi IWD adalah isu diskriminasi yang menyasar kelompok LGBTQ+.
Penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Yogyakarta dan regulasi anti-LGBTQ+ di berbagai daerah menjadi salah satu sorotan utama dalam aksi. Hal ini dilatarbelakangi oleh diskriminasi yang terus terjadi kepada komunitas LGBTQ+. Tama yang merupakan transpria dan anggota dari Transmen Indonesia turut merasakan diskriminasi tersebut. “Dalam kehidupan sehari-hari, transgender masih mengalami penindasan,” keluhnya.
Menurut Tama, urgensi penolakan ini tidak hanya untuk melindungi hak-hak kemanusiaan komunitas LGBTQ+, tetapi juga untuk mencegah pemerintah turut ikut campur dalam ranah privat masyarakat. Sebab, ia mengatakan bahwa jika hal tersebut dibiarkan, lama-kelamaan akan menimbulkan efek bola salju ke kelompok-kelompok rentan lainnya. “Kalau kita membiarkan kebijakan yang mengatur ruang privat itu (dijalankan), kebijakan-kebijakan lain pasti juga akan bermunculan,” ungkapnya.
Radi, Koordinator Lapangan aksi IWD 2023, menjelaskan bahwa menjelang pemilihan presiden, banyak kebijakan anti-LGBTQ+ yang dibuat oleh pemerintah. Tujuannya adalah untuk menarik dukungan masyarakat Indonesia yang cenderung homogen dan masih diskriminatif terhadap komunitas LGBTQ+. Bahkan, lanjut Radi, kebijakan-kebijakan tersebut jumlahnya kian meningkat dari waktu ke waktu. “Ini adalah isu-isu yang gampang ‘digoreng’ dan juga bisa dipakai sebagai alat politik,” ucapnya.
Anggun, salah satu peserta aksi, mengungkapkan bahwa selama ini IWD belum juga mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Kendati demikian, ia menyebut bahwa aksi ini berhasil membangun lingkungan dan ruang yang aman bagi kaum-kaum marginal termasuk komunitas LGBTQ+. Alhasil, mereka dapat lebih mudah untuk membangun dialog dan menyuarakan suaranya. “Mereka menyuarakan hal-hal yang bahkan seumur hidup belum berani mereka suarakan (LGBTQ+). Di sini mereka berani ngomong lantang, bahkan pakai toa,” ujar Anggun.
Ketika berbicara tentang respons pemerintah terhadap isu ini, Anggun enggan berharap banyak. Ia hanya berharap agar aksi-aksi seperti ini terus ada ke depannya. Menurutnya, banyak dari masyarakat yang turut mendukung aksi IWD. “Ada orang-orang naik mobil terus tiba-tiba buka kaca, ‘Ayo, Mbak, semangat ya!’” terang Anggun.
Penulis: Aliensa Zanzibariyadi, Imtiyaz Putri Hanifa, dan Sukma Kanthi Nurani
Penyunting: Ilham Maulana
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara