![](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2023/03/Aksi-IWD-Real-Framing-Compressed.jpeg)
©Damar/Bal
“Ternyata, perjuangannya memang belum selesai. Ada banyak misi, ada banyak ketidakadilan yang masih harus diperjuangkan (untuk dilawan),” ungkap Regina, salah seorang partisipan dalam aksi Hari Perempuan Internasional, yang diselenggarakan pada Rabu (08-03). Aksi yang diinisiasi oleh International Women’s Day (IWD) Yogyakarta 2023 ini melibatkan sejumlah komunitas, diantaranya Srikandi UII, Srikandi UGM, Girl Up UGM, Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre), Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan), Asrama Kamasan, serta komunitas LGBTQ+. Firda Ainun selaku Komite IWD 2023 menganggap bahwa aksi ini perlu dimaknai sebagai refleksi dan momentum perjuangan bersama agar gerakannya tidak tersegmentasi pada kelompok tertentu saja.
Pada tahun ini, IWD mengangkat 14 tuntutan yang tercatat dalam Manifesto Hari Perempuan Internasional 2023. Tuntutan tersebut diantaranya menolak Rancangan Peraturan Daerah yang dinilai dapat mempersekusi hak-hak LGBTQ+; mendesak adanya peningkatan kesejahteraan dan ruang aman bagi buruh perempuan, legalisasi praktek aborsi yang aman, revisi UU TPKS, serta pembentukan kurikulum pendidikan gender. Selain itu, massa aksi juga mendesak pemerintah untuk menghadirkan ruang aman di instansi pendidikan dan keagamaan serta keadilan bagi perempuan untuk berpartisipasi di dalam jabatan publik.
Pukul 12.05 WIB, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan, massa aksi memulai longmars dari Kampung Ketandan menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Sesampainya di Titik Nol, panggung orasi digelar dengan menyuarakan sejumlah tuntutan. Menurut Firda, aksi kali ini dianggap sebagai aksi yang relatif lebih banyak menghimpun partisipan. “Sebetulnya aksi tahun ini adalah aksi yang paling ramai karena aksi IWD tahun kemarin, di Tugu, sepi banget. Kalau tidak salah, hanya dihadiri 30 orang,” terangnya.
Radi, Koordinator Lapangan yang tergabung dalam Girl Up UGM, menjelaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap patriarki. Ia juga menegaskan bahwa tuntutan yang diangkat telah bersesuaian dengan apa yang dialami perempuan saat ini. “Ini tuntutan kolektif, kami juga mendengar opini dan pengalaman orang-orang serta merefleksikan kondisi di seluruh Indonesia,” ujar Radi.
Sejalan dengan Radi, Bambang Muryanto, salah seorang peserta aksi, juga mengakui bahwa tuntutan yang disuarakan dalam aksi ini relevan dengan perjuangan kaum perempuan. Bambang juga berpendapat bahwa dilibatkannya isu masyarakat adat dalam aksi ini sangat menarik. “Disuarakannya isu masyarakat adat dalam tuntutan aksi sangat menarik. Mereka mengalami penindasan dari relasi patriarkis dan tekanan dari pemerintah,” tegas Bambang.
Setelah menyuarakan sejumlah tuntutan dalam orasi, aksi kemudian dilanjutkan dengan menggelar sebuah acara bertajuk “Panggung Rakyat”. Firda mengungkapkan, Panggung Rakyat ditujukan sebagai media bagi semua orang untuk bersuara dan menuangkan kreativitasnya. “Panggung Rakyat merupakan cara alternatif bagi teman-teman untuk mengekspresikan perasaannya,” terang Firda.
Sejumlah partisipan mengaku bahwa sifat aksi yang terbuka membuat masyarakat umum lebih leluasa untuk bergabung dan memberi tanggapan. Tidak sedikit dari mereka yang bukan bagian dari komunitas tertentu ikut menaruh harapan pada semangat aksi ini. “Walaupun ini adalah agenda tahunan, kami tetap mengikuti aksi ini untuk menuntut kesetaraan gender dan melawan ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan,” ungkap seorang mahasiswa peserta aksi yang tak ingin disebut namanya.
Penulis: Dias Nashrul Fatha, Fais Adnan Hidayat, dan Reyhan Maulana Adityawan
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Fotografer: Zidane Damar