Tahun 2022 adalah bencana untuk banyak orang, tak terkecuali seorang tua sepertinya.
Kawannya bernama Sobirin, seorang kusir dokar di kawasan andong, Banjarnegara. Dekat sekali dengan Toko Emas Semar yang legendaris dan banyak orang tukar tambah emas. Baunya pesing dari kuda-kuda kurang ajar yang pipis sembarangan, terutama kuda milik Sobirin yang sudah lumayan uzur. Selain pesing, juga banyak sekali kotoran kuda yang berceceran dan kadang kali dibersihkan berkala oleh para kusir dengan sapu lidi, serok, dan kandi yang mereka bawa.
Hari ini cerah sekali, seperti biasa pasar penuh dengan orang yang lalu lalang tak tentu arah dan tidak tahu aturan. Orang-orang berjalan sembarangan, andong, kolkota (Colt + kota) atau angkot, pick up pemuat sayur dan daging; semuanya ada di sebuah pasar. Kasim terus saja memperhatikan jalannya orang-orang, bergumam bahwa beberapa dari para bakul itu benar-benar menyimpan jin untuk membuat dagangan mereka lebih laris dari konter sebelahnya.
“Suratnya lantas kau apakan?” sayup-sayup pertanyaan dari Sobirin itu keluar untuk kedua kalinya, membuat Kasim akhirnya tersadar dari lamunan panjang tak berisi.
“Tidak aku apa-apakan, aku simpan saja.”
“Kau betul hendak menghadiri persidangan itu?”
“Kemungkinan besar, Gus. Aku sebenarnya sudah pasrah.”
Hanya percakapan pendek-pendek seolah tak ada artinya, tapi beberapa kusir dokar yang merupakan kawan karib mereka seumur hidup pun hanya bisa memandang sendu. Itulah Kasim, derita seorang laki-laki tua uzur yang miskin. Padahal, dulu di tahun 70-an Kasim bisa sekolah sampai SMA, sedangkan Sobirin tak pernah mengenyam bangku sekolah dasar. Kasim, yang dulunya PNS dan paham jejeran orang-orang penting, kini menyisakan Kasim yang sungguh tidak punya apa-apa. Jangankan rumah, sendok makan saja ia tak punya. Yang ia punya di tangannya hanyalah seonggok surat dari pengadilan yang rela dilayangkan sang istri secara sepihak.
Surat perceraian di usia 65 tahun bukanlah impian nyaris semua orang di muka bumi.
Waktu itu, Kasim pernah jadi PNS. Kalau dikira di masa kecilnya ia tidak bersekolah, itu kebohongan besar. SMAN 1 Banjarnegara di zaman itu mungkin hanya bisa dimasuki oleh anak pejabat atau ningrat para tuan tanah di Pagentan sampai Dieng. Contoh saja Sobirin, kawannya itu tak pernah mengenyam bangku pendidikan makanya ia hanya bisa jadi kusir dokar. Dikasih rumah sama mertuanya dahulu dan ia pakai dengan istrinya yang suka mengaji, tapi sebenarnya merupakan seorang lintah darat di pasar induk. Seperti layaknya pasangan yang dijodohkan, mereka beda ranjang dan kamar. Sang istri tak suka suara ngorok suaminya dan Sobirin pun enggan mendengar istrinya mengomel tentang uang terus-menerus. Mereka sudah tua, Sobirin yang berkali-kali dokarnya tersuruk ke selokan sudah mendapat ancaman dari anak-anaknya untuk pensiun saja. Namun, istrinya yang pathil itu mana mau dengar. Yang akan ia keluarkan dari mulutnya pastinya adalah bagaimana seorang suami tidak bisa menafkahi istrinya. Sobirin mengeluh, uang istrinya ratusan juta di tiga bank yang berbeda. Tiap hari raya selalu ada parsel tiba untuk nasabah seperti mereka. Yah, lagi-lagi ia tak berhak bicara apa pun, apalagi ia naik haji juga dari uang istrinya (duit haram atau bukan yang penting sering ngaji tiap subuh dan naik haji adalah perkara duniawi yang penting).
Itulah yang selalu Kasim dengar, perihal istri kawan-kawannya yang terkadang lebih seperti pengisap jiwa dan membuat para suaminya mati di masa tua dengan mengenaskan.
Saat menjadi PNS, Kasim hanyalah seorang sopir bupati. Itu bukan perkara “hanyalah” sebenarnya, digadang-gadang Kasim sering dimintai wawancara oleh beberapa pihak. Orang-orang mengira ia mendengar banyak hal dari bupati saat mengantarnya ke mana-mana, mulai dari suasana politik, musuh-musuhnya, bahkan sampai warna tahi bupati juga dipertanyakan. Satu hal yang ia tidak mengerti adalah orang-orang ini serakah bukan kepalang. Namun, yang ada di benak sopir adalah harta karun bagi mereka, sejatinya begitu.
“Andi bikin rusuh lagi?”
“Tidak cuma bikin rusuh, dia ditahan di kepolisian lagi,” ucap istrinya cuek. Sang istri juga lambat laun terasa menjauh, seolah senyumnya makin pudar dan tertarik ke bawah sampai dagu, dan suara lembutnya berubah menjadi sungut-sungut kejengkelan. Mungkin memang gajinya tidak seberapa, tapi yang jelas ia sudah mengorbankan banyak untuk keluarganya.
Kasim memotong gajinya banyak-banyak untuk mengurus anak-anaknya, yang terkadang seperti duri dalam daging. Sulungnya, Esih, seorang perempuan yang baik hati nan cerewet. Sebenarnya tangkas, tapi ia terlanjur nikah muda. Jatuh cinta dengan seorang berandal di kampungnya bukanlah keinginan banyak orang tua. Merelakan sulung cantiknya kepada laki-laki yang tidak jelas masa depannya? Hanya orang gila yang melakukannya. Banyak orang bilang dia mblondrokna (menjerumuskan) anaknya sendiri, padahal Esih hanya mengikuti cintanya. Membuang masa depannya untuk mengenyam sarjana di UNS agar bisa menjadi guru, kabur dengan laki-laki tukang kelahi yang belum tentu akan segera tobat.
Esih menjalani hidup yang sebenarnya tenteram dan bahagia. Ia dan suaminya dikarunia dua anak, laki-laki dan perempuan, dengan jarak yang tidak begitu jauh. Sampai keolengan itu terjadi dan dampaknya berkepanjangan. Suaminya terlibat aksi kerusuhan, dituding entah sebagai apa sampai dikeroyok. Banyak konspirasi di omongan publik, bahkan terkait izin bank besar dari daerah tersebut. Kabarnya suaminya yang memang nggarangan ini mengajukan banyak syarat agar warga di sini tetap terlibat dan tidak dirugikan sebagai ganti didirikannya perusahaan. Ia menuntut penduduk di desa ini untuk bisa bekerja di situ, masuk dan menikmati fasilitasnya secara gratis, dan masih banyak persyaratan darinya. Sebenarnya, semua hanya suaminya yang tahu, pun hanya orang-orang yang mengira satu dua hal yang menutup mulut dan bergunjing lewat pantat mereka. Suami Esih dipenjara beberapa bulan dan itu cukup untuk membuat keadaan ekonomi keluarga itu terguncang. Ipras sebagai anak mbarep (sulung) bersekolah di SD swasta, masuk SMP negeri yang unggulan, tapi sadar bahwa ia harus mulai memeras diri. Belum lagi adik perempuannya yang masih lugu dan tanpa sadar ikut memeras diri juga melihat derita kakak dan ibunya. Esih sebagai perempuan yang berhati lemah pun sempat menenggak racun, disaksikan Ipras, membekas dalam dirinya ketika ibunya nyaris mati dan bapaknya hanya bisa diam di penjara.
Sekeluarnya bapak Ipras dari penjara, semua tak lagi sama. Bisnis angkringan ibunya selalu ngadat, bapaknya hanya kuli lepas, dan adiknya juga butuh berkuliah. Beruntung Ipras dan adiknya mendapat bidik misi di universitas negeri di Semarang, tapi meski begitu masalah keluarga tak pernah berhenti. Ipras bahkan sering mengirimkan uang semesteran dari pemerintah untuk ibunya yang sering sekali terikat utang dengan bunga yang menggunung, yang semuanya itu harus mereka cicil sampai berdarah-darah. Begitu melilit sampai sekarang dan Ipras hanya bisa menelan ludah untuk menekan masa depannya yang buram.
Kasim menunduk. Teringat itu semua, ia memandang cucunya dengan iba. Ia teringat anak-anaknya yang kurang ajar. Andi sebagai anak keduanya seorang pengedar narkoba di Banjarnegara. Ia nyaris dipenjara berkali-kali andai bapaknya tidak dekat dengan bupati. Mungkin memang begitulah Andi mengisap jiwa bapaknya sampai begitu menderita.
Yayuk sebagai anak ketiga membuat hidup Kasim tetap tidak berwarna. Menikah pertama dan beranak kembar yang entah bagaimana terpisah karena ia dan suaminya bercerai sehingga si kembar tersebut pun beda rumah dan kehidupan. Yang bersama bapaknya bisa hidup nyaman, yang bersama Yayuk harus menelan pahit kehidupan. Dengan banyak kekurangan yang menyebabkan mereka bodoh, tetap Yayuk dan Andi-lah yang menghasut sang ibu untuk menceraikan Kasim, di umur pernikahan yang sudah 40 tahun lebih.
Sekarang, Kasim hanya menelan ludah. Surat pengadilan di tangannya adalah hal terakhir yang tersisa. Baju-bajunya dibawa sang istri, tabung gas apalagi, bahkan sendok makan juga dibawanya pergi. Kasim hanya tersenyum kecil membaca dakwaan terhadap dirinya. Di situ disebutkan bahwa ia didakwa karena tidak pernah menafkahi keluarganya. Lalu, rumah mana yang ia jual untuk membiayai keluarganya yang sebiadab iblis ini? Di mana potongan uang gaji dan pensiunnya pergi tiap bulannya selama berpuluh-puluh tahun? Ipras selaku cucu sulungnya pun hanya bisa mafhum, situasi makin rumit dan mungkin pacarnya yang dari keluarga kaya itu tak akan punya masa depan bersamanya. Keluarga Esih yang tak punya apa-apa bersedia merawat Kasim, setelah kakek malang tersebut dibuang istrinya dan tinggal seonggok daging yang melarat.
Cinta tak pernah berakhir bahagia untuk Kasim, minimal rasa komitmen itu akan lenyap jika nyatanya cinta menjadi bodoh dan luar biasa semrawut. Mungkin memang sudah takdirnya. Kalaupun ia mau, ia sanggup memanggil temannya yang merupakan pengacara untuk membuktikan dengan gampang bahwa semua tuduhan itu palsu. Namun, sekarang dunia terlalu berisik baginya. Uang sudah tak ada, anak pun hilang, satu-satunya yang ia punya hanya surat pengadilan di tangan yang bersifat sepihak dan telah mematahkan hatinya sampai berkeping-keping.
Nyatanya, semua orang menderita, seperti Sobirin, seperti Esih dan suaminya, seperti Ipras si cucu sulung yang menelan kesedihan terlalu awal; jadi Kasim merasa bahwa ia tak berhak mengeluh. Semua berawal darinya, dari entah sembrononya, entah dosa-dosanya kepada Tuhan sampai Ia mengambil nyaris semuanya. Yang sekarang bisa ia lakukan hanya bersujud, meminta lapang dada. Dari seonggok surat pengadilan yang mengantarnya menuju kematian di Jumat itu dengan senyum, dengan seikhlas-ikhlasnya.
***
Teruntuk “Kasim” yang pernah saya temui, saya berdoa yang terbaik untuk Anda dan keluarga yang masih senantiasa setia.
Penulis: Sofiana Martha
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi