“Kami para PKL merasa bahwa kami memang wong cilik dan sudah mengikuti apa saja yang diinstruksikan oleh pemerintah, tapi mbok ya kami juga dimanusiakan,” ucap Supriyati, salah satu Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro. Pernyataan tersebut diucapkan olehnya dalam acara diskusi bertajuk “Bahagia di Tanah Istimewa? Potret Kemiskinan dan Penyingkiran Rakyat di Yogyakarta”.
Berlangsung pada (07-02), diskusi tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Selain Supriyati, diskusi yang bertempat di kantor LBH Yogyakarta tersebut juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Rakha Ramadhan dari LBH Yogyakarta; dan Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economic and Law Studies.
Dalam pemaparannya, Supriyati menjelaskan dampak yang dirasakan oleh para PKL Malioboro setelah dilakukan penggusuran pada awal Februari tahun lalu. Ia menyebut bahwa omzet yang didapat oleh para PKL Malioboro menurun drastis setelah direlokasi ke Teras Malioboro. Berdasarkan keterangan Supriyati, hal ini terbukti setelah dilakukan jajak petisi kepada para PKL Malioboro, sebanyak 711 pedagang mengalami penurunan omzet. Ia juga mengungkap bahwa banyak PKL yang beralih profesi menjadi pedagang asongan dan tukang pijat di sepanjang jalan Malioboro. “Kami sebenarnya mau dipindahkan di mana saja tempatnya, tetapi asalkan omzetnya sama atau setidaknya mendekati. Namun, kenyataannya sekarang benar-benar anjlok,” ujar Supriyati.
Supriyati menambahkan, penurunan omzet banyak dikeluhkan oleh PKL di Teras Malioboro 2. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena pengunjung hanya terpusat di sekitar Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Bahkan, lanjut Supriyati, beberapa PKL mengaku bahwa dagangannya tidak laku sama sekali sampai 14 hari. “Pengunjung malas berkunjung ke Teras Malioboro 2 karena tempatnya dirasa sangat panas dan banyak kebocoran hingga banjir apabila hujan,” terangnya.
Supriyati mengatakan bahwa pihaknya telah melaporkan permasalahan yang dialami para PKL kepada Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta selaku pengampu dan pengelola Malioboro. Akan tetapi, ia berujar bahwa mereka seakan tutup mata dan tutup telinga terkait permasalahan yang dirasakan oleh para PKL Malioboro. “Kami berharap pemerintah sedikit saja mendengar keluh kesah kami, jangan hanya melihat apa yang ada di permukaan saja,” tegas Supriyati.
Menanggapi permasalahan ini, Rakha berpendapat bahwa selain pemberitahuannya sangat mendadak, relokasi PKL Malioboro juga tidak memiliki landasan hukum yang kuat sejak awal. Penggusuran yang hanya menggunakan surat edaran yang diberikan pada Februari tahun lalu, menurutnya, tidak mempunyai payung hukum yang kuat di atasnya. “Surat edaran haruslah mengacu pada Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota, ini tidak ada, ini yang membuat teman-teman PKL bingung,” ujarnya.
Rakha juga menyayangkan pemerintah daerah yang enggan berdialog dengan para PKL untuk menemukan solusi bersama. Menurutnya, tindakan tergesa-gesa dari pemerintah melanggar hak atas informasi masyarakat. “Jika ini menyangkut kebijakan publik, haruslah ada tindakan mitigasinya terlebih dahulu,” tegas Rakha. Ia menyayangkan kebijakan publik seperti relokasi PKL malah tidak menyejahterakan rakyat karena tidak diiringi tindakan mitigasi yang baik.
Menurut Bhima, kejadian yang dialami para PKL Malioboro akan menambah angka kemiskinan dan ketimpangan di Yogyakarta. Ia menambahkan bahwa perputaran uang pariwisata di Yogyakarta dikuasai hanya oleh segelintir orang seperti pemilik hotel dan mall. Inilah yang membuat ketimpangan semakin tajam. “Kita harus gugat semua rencana pembangunan dan tata kota di Jogja,” ujarnya.
Penulis: Cahya Saputra dan M. Fahrul Muharman
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Ilustrator: Maximillian Caesaro Parama Bisatya