Aliansi Mahasiswa UGM menyelenggarakan acara diskusi terbuka berjudul “UGM: Mahal atau Murah?”. Melalui Twitter Space, diskusi ini diselenggarakan di akun Twitter @UGMBergerak pada Rabu (15/02). Diskusi kali ini menghadirkan 4 pembicara, yakni Nagitha, pelajar Sekolah Menengah Atas; Risda, pejuang gapyear ‘tahun jeda’; Fathur, mahasiswa jalur Computer Based Test-Ujian Mandiri UGM 2021; dan Joko Susilo, Knowledge Manager Nalar Institute.
Diskusi diawali dengan pembahasan mengenai biaya kuliah di UGM. Fathur menyebutkan alasan ia memilih UGM sebagai tujuan studinya. Menurutnya, UGM memiliki keterjangkauan biaya pendidikan apabila dibandingkan dengan universitas negeri lainnya. “Cuma memang pada saat itu UGM belum menerapkan SSPI dan uang pangkal,” ungkapnya.
Seleksi jalur CBT-UM UGM, yang awalnya tidak memungut uang pangkal bagi calon mahasiswa, menjadi salah satu daya tarik sendiri bagi para calon mahasiswa. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Nagitha. Ia menuturkan bahwa alasannya mempertimbangkan jalur ujian tulis UGM karena tidak adanya uang pangkal. Namun setelah ada wacana dari Rektor UGM, Ova Emilia, mengenai penerapan uang pangkal, ia akhirnya mempertimbangkan kembali pilihannya tersebut.
Senada dengan Nagitha, Risda mengaku bahwa ia merasa putus asa setelah mengetahui adanya wacana penerapan uang pangkal di UGM. “Semenjak adanya isu uang pangkal, aku jadi berpikir untuk mengincar UGM (melalui) jalur SNMBT dan tidak mengincar (jalur) ujian mandiri (CBT-UM UGM),” tuturnya. Risda juga menyayangkan besaran uang kuliah tunggal UGM yang ia rasa cukup mahal.
Menanggapi Fathur, Joko Susilo menjelaskan mengenai alasan UGM menerapkan uang pangkal dan korelasi pemerintah dengan hak otonomi universitas. Menurut analisis pria yang akrab disapa Josu itu, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seringkali dicap sebagai universitas yang otonom dari pemerintah. Melalui mekanisme PTN-BH, tambah Josu, universitas “diintervensi” pasar sehingga berimplikasi kepada neoliberalisasi pendidikan. “Ini adalah implikasi neoliberalisasi pendidikan, pasar mengintervensi lewat perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang menjadikan universitas sebagai komoditas perdagangan,” ujar Josu.
Bagi Josu, klaim “otonomi” dalam konteks ekonomi menjadi bias yang berimplikasi kepada pemerintah untuk melepas tanggung jawabnya. Ia menyebut bahwa ketika universitas berstatus PTN-BH, angka alokasi dana dari negara turun sekitar 35% dan menuntut universitas mencari dana secara mandiri. Melalui analisisnya, Josu juga mendapatkan temuan berupa biaya pendidikan dari tahun ke tahun semakin naik ketika UGM berstatus PTN-BH. “Pada tahun 2000, sebelum UGM berstatus PTN-BH, pengeluaran untuk lulus jenjang sarjana hanya butuh 2,5 juta rupiah. Sedangkan, ketika statusnya berubah menjadi PTN-BH, membutuhkan 75 juta rupiah,” jelas Josu.
Lebih lanjut, Josu juga menyebut terdapat segregasi kelas sosial di kampus. Ia menemukan bahwa mayoritas mahasiswa di Indonesia berada di kelas sosial kaya. Menurut Josu, hal ini mengisyaratkan universitas hanya dapat dimasuki oleh kelas-kelas sosial atas. Maka dari itu, Josu merekomendasikan orientasi perdebatan bukan hanya dalam ranah administratif belaka. “Seharusnya, orientasi perdebatan kita bukan hanya ranah administratif lagi, melainkan di ranah struktural kebijakan,” tegas Josu.
Seakan mengaminkan pernyataan Josu mengenai implikasi neoliberalisasi pendidikan, akun twitter @eaxxdr, yang memperkenalkan diri sebagai Derry, mengatakan bahwa persyaratan masuk kerja saat ini mengharuskan minimal memiliki ijazah S1. Akan tetapi, lanjut Derry, semakin tingginya biaya kuliah membuat kalangan ekonomi bawah kesulitan memasuki perkuliahan. “Orang miskin itu bukan tidak boleh kuliah, tapi dipaksa kuliah,” ucapnya. Padahal, menurut Derry, kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja kebanyakan tidak didapat melalui kelas di perkuliahan melainkan dari pelatihan di luar kegiatan akademik.
Pada penghujung diskusi, Josu menjelaskan langkah yang harus dilakukan guna menanggapi neoliberalisasi pendidikan. Ia merefleksikan pergerakan revolusi pendidikan di beberapa negara, salah satunya Revolusi Penguin di Chile. Josu menyebut keberhasilan gerakan tersebut karena wali murid memiliki koalisi yang luas untuk menekan pemerintah merevisi undang-undang tentang pendidikan. Ia juga berharap agar pendidikan Indonesia lebih emansipatoris dengan melibatkan lebih banyak simpul dari serikat pelajar, wali murid, mahasiswa, dan akademisi. “Pendidikan adalah hak semua orang dan hanya dapat dicapai melalui perubahan struktural,” tegas Josu.
Penulis: Dias Nashrul Fatha, Fachriza Anugerah, dan Reyhan Maulana Adityawan
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Allief Sony Ramadhan Aktriadi