
©Fauzi/Bal
Setahun telah berlalu sejak tindakan represif aparat di Desa Wadas. Represifitas aparat terhadap warga yang menolak tambang itu masih terekam jelas dalam ingatan warga Wadas. Hal inilah yang lantas mendorong warga untuk bersolidaritas menggelar aksi bertajuk “Peringatan Represi Negara Kepada Warga #WadasMelawan” pada Rabu (08-02). Aksi ini diawali dengan mujahadah akbar, long march, kemudian dilanjutkan dengan peresmian Tugu Perlawanan dan pasar rakyat.Â
Pukul 10.30, warga mulai berkumpul di Langgar Kaligendol untuk melaksanakan mujahadah akbar dan doa bersama. Berbagai elemen warga mulai dari anak-anak, perempuan hingga orang tua turut serta dalam acara tersebut. Usai mujahadah, warga mulai beranjak dari langgar menuju Tugu Perlawanan sebagai titik kumpul selanjutnya. Sambil menenteng berbagai macam buah dan sayuran hasil bumi Wadas, mereka berjalan beriringan membentuk barisan. Hasil bumi tersebut kemudian dikumpulkan lalu dijual saat pasar rakyat berlangsung, siang hari setelah peresmian Tugu Perlawanan.
Acara dilanjutkan pada pukul 12.30 di depan Tugu Perlawanan. Sebagai tanda peresmian tugu, Budin selaku perwakilan Kawula Muda Desa Wadas (KAMUDEWA), membacakan pernyataan sikap. Ia memaparkan empat poin sikap warga yaitu, cabut Izin Penetapan Lokasi (IPL), batalkan rencana pertambangan, upaya hukum yang terus berjalan sampai warga menang, dan tuntutan penghentian aktivitas pertambangan. “Dengan ini, warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) masih terus konsisten menolak tambang di Desa Wadas,” tegasnya.  Â
Siswanto, warga Wadas, menegaskan acara hari ini juga sebagai pengingat tragedi pengepungan ribuan aparat di Desa Wadas pada tanggal 8 Februari 2022. Ia berpendapat bahwa tidak semestinya warga menerima perlakuan represif dari aparat yang membuat mereka trauma, tertekan, dan merasa terasing sebagai warga negara. “Tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak terkait bahkan membuat beberapa warga menyerahkan tanah mereka,” ujarnya.Â
Pembangunan Tugu Perlawanan juga dikatakan oleh Siswanto dimulai bertepatan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tanggal 31 Januari 2023. Tugu setinggi empat meter dengan susunan puluhan batu ini menurutnya, melambangkan masih banyak warga yang kontra dengan pertambangan. “Masyarakat menjadikan Tugu Perlawanan sebagai tugu pertahanan karena kita masih bertahan dan akan tetap tinggal di Desa Wadas,” tegasnya.
Pendapat serupa datang dari anggota KAMUDEWA, Kadir, yang memaknai Tugu Perlawanan sebagai pengingat warga untuk tetap berjuang mempertahankan lingkungan Wadas. “Pembuatan tugu dilakukan oleh puluhan warga yang terdiri dari pemuda dan beberapa orang tua,” jelasnya. Kadir juga berharap agar warga konsisten menolak pertambangan dan tetap berdiri kokoh seperti Tugu Perlawanan.Â
Hal lain diungkapkan Nana, anggota Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, menyoal surat rekomendasi Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021. Menurut Nana, pemerintah menggunakan surat rekomendasi tersebut sebagai alat legitimasi pembebasan tanah oleh pemerintah di Desa Wadas. “Masyarakat terganggu dengan proses pembebasan tanah dan pembuatan akses (pertambangan),” ujarnya.
Lebih lanjut, Nana menjelaskan hasil gugatan warga Wadas terhadap surat rekomendasi di PTUN Jakarta. Nana mengatakan bahwa surat rekomendasi, menurut majelis hakim, tidak memiliki kekuatan hukum. “Surat rekomendasi tersebut masih belum final dan tidak memiliki kekuatan hukum, jadi pertambangan tanpa izin ini bisa dikatakan ilegal,” terangnya. Nana menuturkan, lemahnya kekuatan hukum itulah yang membuat warga Wadas tidak merasa kalah.
Penulis: Ilham Maulana
Penyunting: Viola Nada Hafilda
Fotografer: Fauzi Ramadhan