Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat menjadi segelintir poin yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, hal itu seakan mengaburkan aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu kesejahteraan dan ruang aman bagi dosen sebagai pengajar sekaligus peneliti. Selain itu, terbatasnya ruang kebebasan dalam universitas menjadi faktor penting bagi para dosen serta akademisi membentuk serikat, sebagai ruang dalam menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja.
“Yang menjadi susah, tugas dosen itu tidak hanya mengajar, tetapi juga harus meneliti,” keluh Suci Lestari Yuana. Tak hanya Suci seorang, konflik peran tersebut menjadi masalah umum yang sering dihadapi para dosen lainnya. Hal itu menyebabkan para dosen harus menyelesaikan tumpukan tugasnya sebagai pengajar sekaligus sebagai peneliti. Suci, yang sehari-hari mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), menilai hal ini akan berimbas terhadap menurunnya kinerja dosen.
Kerja dosen sebagai pengajar tersebut sangat memakan waktu sehingga proyek riset harus Suci kerjakan di luar jadwal mengajar. “Boleh dibilang, saya mengorbankan waktu di luar jam kerja untuk melakukan riset. Biasanya saat malam, setelah jam 10 sampai jam 2 dini hari,” keluh Suci. Menurutnya, kondisi ini terpaksa terjadi karena pengaturan waktu riset di UGM masih belum diatur secara spesifik.
Selain konflik peran, pendapatan yang rendah sering kali membuat dosen harus menjalankan berbagai pekerjaan lain. Hal itu diungkapkan Randy Nandyatama berdasarkan pengalamannya sebagai dosen Fisipol UGM. Pada kenyataannya, menurut Randy, gaji pokok dosen itu rendah, apalagi dosen-dosen baru. “Kurangnya penghasilan sering kali menjadi sebab dosen mengerjakan proyek apa saja yang sering kali tidak ada kesinambungan dengan profesinya sebagai dosen,” jelas Randy.
Fakta tersebut menjadi salah satu kekhawatiran Randy, “Hal ini dapat menjadi destruktif dan akan memberi efek kepada mahasiswa karena dosen hanya berorientasi pada proyek riset.” Menurutnya, apabila proyek riset tidak berkorelasi dengan pembelajaran di kelas, kinerja dosen sebagai tenaga pendidik akan berdampak buruk. Bahkan, Randy mengkhawatirkan dosen-dosen yang hanya melakukan proyek riset demi keuntungan pribadi.
Status kepegawaian juga kerap menjadi masalah bagi dosen. “Saya merasa banyak ketidakpastian mengenai hak yang seharusnya didapat sebagai dosen,” ungkap Suci. Ia sendiri menyadari status kepegawaiannya masih dalam masa transisi sehingga tidak dapat disamakan dengan dosen yang berstatus tetap. Namun, menurutnya, sistem perekrutan dosen di UGM belum cukup efektif dengan berdasarkan pada aspek senioritas yang mendahulukan dosen terkemuka untuk mendapat gelar PNS. Apalagi, proses pengangkatan dosen PNS di lingkungan jurusannya terakhir terjadi pada 2015 sehingga menimbulkan wacana ketidakpastian baru.
Keresahan terkait status dosen tetap UGM turut dirasakan oleh Randy. Berdasarkan pengalamannya sejak 2012, UGM berjanji untuk menyamakan posisi dosen tetap kampus dengan dosen PNS yang memiliki status pensiun. Namun, Randy belum mendapat pembuktian atas pernyataan tersebut hingga program dana pensiun sudah berlangsung pada dua tahun terakhir. Statusnya pun masih sebagai dosen tetap UGM tanpa status pensiun. Ia merasa jawaban atas keresahan-keresahan seperti ini adalah membentuk serikat agar transparansi dan klarifikasi dapat didorong.
Menanggapi keluhan dosen di atas, menurut Suadi, selaku Direktur Sumber Daya Manusia UGM, mekanisme terkait penyampaian keluhan dosen sudah diatur tergantung pada tingkat persoalannya. Artinya, proses penyelesaian dapat diatasi melalui prodi, departemen, fakultas, atau universitas berdasar kesesuaian permasalahan. Ia juga menambahkan bahwa permasalahan formal mengenai kegiatan belajar mengajar sudah ada istilah audit untuk internal. “Mekanisme tersebut dilakukan melalui pengevaluasian seluruh proses pengajaran khususnya dalam lingkup prodi oleh para ansesor untuk menilik berbagai permasalahan pembelajaran,” lanjut Suadi.
Namun, Suadi sendiri masih belum dapat memastikan terkait keefektifannya, “Apakah hal tersebut digunakan atau tidak, saya tidak dapat memberikan jawaban kuantitatifnya,” ujarnya. Ia juga belum dapat menjamin keberfungsiannya untuk mewadahi semua keluhan yang ada disebabkan permasalahannya bersifat variatif. Selain itu, Suadi juga menjelaskan bahwa tidak semua permasalahan dapat ditempuh dengan mekanisme penyelesaian tersebut.
Dalam Bayang-Bayang Egosentris
Berangkat pada kondisi di atas, menurut Jimmy Irwansyah, dosen Universitas Indonesia (UI), serikat dosen mesti dibentuk untuk menggalang kekuatan guna memperjuangkan hak-hak dosen sebagai pekerja. Sebab, menurutnya, kerja-kerja dosen tidak hanya terbatas pada individu sehingga masalah yang dihadapi harus ada upaya kolektif. “Saya bisa mengajar di depan kelas juga berkat didukung oleh kolega lain. Itu sangat jelas ada masalah kolektif, ada kepentingan kolektif,” ujar Jimmy yang aktif di komunitas Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik.
Melalui serikat dosen, menurut Dhiah Al-Uyyun, dosen Hukum Universitas Brawijaya, permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan secara kolektif sehingga akan menambah kekuatan dibandingkan dengan penyelesaian secara individu. Untuk itu, serikat dosen menurutnya adalah salah satu jalan dalam membebaskan hak-hak dosen yang direnggut.
Masalahnya, dosen memiliki kecenderungan untuk menutup mulut dan memilih untuk tidak menyampaikan keluhan serta aspirasi mereka. “Sejak awal, dosen dibekali perasaan takut, predikat pahlawan tanpa tanda jasa, dipaksa untuk menerima apa pun, akibatnya mereka enggan melakukan perlawanan,” ungkap. Menurutnya, kecenderungan dosen untuk menutup mulut juga dipengaruhi oleh adanya pandangan bahwa dosen merupakan profesi yang berstatus sosial lebih tinggi dengan pekerjaan lain.
Padahal, pembentukan serikat dosen di luar negeri sudah menjadi hal yang biasa. Di Belanda, dalam menghadapi permasalahan, para dosen bergerak secara kolektif. Menurut penuturan Herlambang, dosen Fakultas Hukum UGM, tidak tanggung-tanggung sekitar ribuan profesor dan ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Diungkapkan olehnya, massa dengan jumlah tersebut cukup efektif dalam menggagalkan suatu rancangan dan mengubah sebuah keputusan.
Sayangnya, kondisi seperti itu tidak terjadi di iklim akademik Indonesia. “Di sini, dosen masih bersifat egosentris sehingga mereka tidak mampu membentuk suatu kesadaran kolektif,” ujar Uyyun. Solidaritas itu, menurutnya, saat ini belum terbentuk karena di antara mereka masih bergerak secara individu dan menyampaikan gagasan secara sporadis. Selain itu, Uyyun menambahkan bahwa tidak adanya keinginan dari para dosen dalam mengungkapkan suatu gagasan atau permasalahan melalui sebuah forum.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Jimmy, “Dosen menjadi salah satu profesi paling individualis.” Lebih lanjut, menurutnya, dosen acapkali merasa bahwa mereka bukanlah pekerja. Padahal, setiap tahun dosen menerima bukti pajak keluar yang menandakan bahwa mereka adalah seorang pekerja yang diupah. “Hal tersebut dapat dilihat ketika protes penetapan Undang-Undang Cipta Kerja, dalam hal ini kampus menempatkan dirinya sebagai sampel alih-alih bertindak sebagai pengkritik,” ujar Jimmy.
Tentu bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, termasuk dosen. Menurut Herlambang, hal itu terjadi karena tidak semua masyarakat sadar akan pentingnya berorganisasi. Dalam upaya menumbuhkan kesadaran kolektif, ia menyampaikan bahwa hal tersebut bisa dimulai dari hal terkecil, “Kita bisa mulai dengan mempraktekkan tradisi kebebasan akademik di sekitar kita, seperti halnya menyampaikan apa yang perlu disampaikan,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Uyyun, banyak dosen yang berkeinginan untuk membentuk serikat, tetapi beberapa dari mereka merasa hal ini sulit untuk direalisasikan. “Serikat dosen ini masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu dalam beberapa lingkungan universitas,” jelasnya. Faktor lainnya, menurut Uyyun, adalah keengganan para dosen untuk menyelesaikan suatu persoalan yang menyangkut hak-hak dosen dengan melakukan perlawanan melalui organisasi. Lebih lanjut, ia menilai hal ini terjadi akibat pembatasan ruang kebebasan akademik di dalam universitas.
Berserikat Lawan Yayasan
Pada tahun 2020 lalu, pihak yayasan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (UP45) melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap empat dosen dan skorsing terhadap satu orang dosen mereka. Sikap kritis dosen terhadap pihak yayasan serta tata kelola keuangan dan manajemen kampus yang buruk menjadi awal mula terjadinya konflik yang berujung pada perampasan hak-hak dosen. Berpijak dari itu, Serikat Dosen UP45 pun terbentuk sebagai basis perlawanan terhadap yayasan selaku pengelola kampus.
“Sering kali kebebasan dosen dalam menyampaikan aspirasi terkait permasalah yang ada dalam tubuh universitas mendapat respons represif oleh pihak yayasan,” ujar Habib selaku Ketua Serikat Dosen UP45. Respons tersebut dalam bentuk pemberian skorsing sampai pemutusan kerja secara sepihak. Ia sangat menyayangkan sikap pihak yayasan membungkam suara kritis para dosen.
Pembentukan serikat dosen di UP45 pun disambut baik oleh para dosen. “Pada awalnya, serikat ini hanya berupa paguyuban yang dimaksudkan untuk meringankan beban dosen dalam penyampaian keluhan serta opini mengenai pekerjaan yang mereka jalani. Setelah itu, pihak paguyuban akan menyampaikan opini serta aspirasi mereka kepada pihak yayasan swasta,” ujar Habib. Ia juga menambahkan bahwa sejauh ini terbukti cukup efektif dalam lingkup internal untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di lingkungan kampus.
Sejak awal mula terbentuk hingga sekarang, Serikat Dosen UP45 terbukti efektif dalam melindungi hak-hak dosen. “Sejauh ini, dalam lingkup internal sendiri saya rasa, sudah cukup efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di lingkungan kampus,” jelas Habib. Dalam hal ini, ia menambahkan bahwa ada permasalahan yang kompleks dalam lingkungan dosen sehingga diperlukan pembentukan serikat dosen dalam lingkup yang jauh lebih luas.
Berangkat dari konflik yang terjadi di UP45, Habib selaku ketua menilai bahwa pembentukan serikat dosen ini memiliki tingkat urgensi yang tinggi di Indonesia. “Secara keseluruhan, masih kurang dalam pemenuhan hak-hak kepada dosen dan karyawan di kampus. Pada masa pandemi, begitu banyak PHK dilakukan di lingkungan kampus dan hal tersebut dilakukan secara sepihak oleh kampus.” tutur Habib.
Pembentukan serikat dosen di beberapa kampus memiliki latar belakang yang serupa. Berdasarkan penjelasan Jimmy, serikat dosen di UI dipicu oleh pembatalan Undang-undang Pendidikan yang dinilai berpotensi menimbulkan permasalahan. Semenjak dibentuk 2009 lalu, Serikat Dosen UI beberapa kali terlibat dalam pembuatan regulasi, salah satunya adalah pembentukan Statuta UI. “Hal ini menjadi indikasi bahwa kalau saja serikat-serikat berdiri kuat di kampus, kondisi demokrasi di kampus akan lebih baik karena melibatkan para akademisi,” tambah Jimmy.
Namun, Jimmy menilai Serikat Dosen UI kini seolah jalan di tempat. “Dahulu, ketika masih ada kasus, mereka jadi bersemangat. Namun, seiring berjalannya waktu, solidaritas jadi berkurang,” ujarnya. Menurut Jimmy, ini imbas dari banyaknya manuver negara sejak diberlakukannya PTN-BH. Secara formal Serikat Dosen UI masih ada, tetapi anggota serikat mulai terpecah belah.
Tindakan pelemahan juga turut dialami oleh Serikat Dosen UP45. “Pihak yayasan melakukan pelemahan dengan membuat lembaga serupa namun dalam pengawasan langsung oleh pihak yayasan,” ungkap Habib. Hal ini memudahkan pihak yayasan dalam mengontrol serikat bahkan memecah satu serikat dengan serikat lain. Habib menyadari ini adalah tantangan yang harus dihadapi bila membentuk serikat dalam lingkup kampus.
Menurut Uyyun, kasus-kasus yang dialami dosen UP45 tinggi kemungkinan terjadi di universitas lain. “Seperti pemecatan secara sepihak, upah yang tidak layak, kekerasan terhadap dosen, serta cukup banyak terjadi pelanggaran akademis yang dilakukan oleh otoritas kampus,” jelas Uyyun. Serikat dosen, menurutnya, dapat menjadi jalan keluar dari permasalahan ini.
Herlambang sendiri menyadari proses-proses perjuangan hak-hak ini tidak akan mudah. Akan tetapi, kebebasan demokrasi di kampus menurutnya harus selalu diupayakan. “Saya yakin, jika besok tidak berhasil, bisa saja lusa atau minggu depan berhasilnya. Memang tidak mudah, tetapi tidak akan ada yang sia-sia,” pungkasnya.
Penulis: Cikal Pasee Uria Timur, Siti Fatria Pelu, dan Takhfa Rayhan Fadhillah (Magang)
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Fotografer: Surya Intan Safitri (Magang)
Erata: Sebelumnya, tertulis “Serikat Dosen UI” diganti dengan “Paguyuban Pekerja UI”.