Sistem sumbangan sukarela digaungkan sebagai jalan tengah untuk mengurai masalah pendanaan UGM. Namun, bagaimana jika sumbangan sukarela hanyalah ilusi permainan kata untuk tetap membebani mahasiswa dengan mahalnya biaya pendidikan?
“Nominal lima juta itu besar banget untukku,” keluh Wira (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi, Sekolah Vokasi, ketika terpaksa membayar Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI). Kendati digaungkan sebagai sumbangan sukarela yang dapat diisi dengan nominal nol rupiah, beberapa calon mahasiswa baru jalur Computer Based Test-Ujian Mandiri nyatanya tidak dapat memilih nominal tersebut, sebagaimana yang dialami oleh Wira.
Menurut Wira, ketika memilih opsi nol rupiah, ia tidak dapat melanjutkan ke halaman berikutnya. Bahkan, walaupun ia sempat mengganti jaringan internet sebanyak tiga kali, opsi tersebut tetap tidak bisa dipilih. Akhirnya, ia terpaksa memilih nominal lima juta rupiah. “Aku sudah dapat nominal UKT (Uang Kuliah Tunggal) besar, jadi aku mau pilih opsi nol rupiah,” ucap Wira.
Meskipun seorang anak Pegawai Negeri Sipil, Wira mengaku biaya pendidikan yang dikeluarkan ketika diterima sebagai mahasiswa baru UGM cukup membebaninya, apalagi dengan adanya SSPI. “Jadi, digabung dengan biaya SSPI, aku harus bayar sebelas juta rupiah,” ungkap Wira. Ia mengaku tidak mendapat informasi apa pun terkait SSPI sewaktu mendaftar. Wira bahkan kaget dengan adanya SSPI. Ia juga mengungkapkan bahwa masalah tersebut dialami oleh beberapa temannya.
Permasalahan yang dialami Wira merupakan buntut dari Surat Keputusan Rektor Nomor 617 Tahun 2022 tentang Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi Universitas Gadjah Mada Tahun Akademik 2022/2023. Kebijakan ini dinilai menimbulkan berbagai masalah dalam pemberlakuannya, sebagaimana yang dialami oleh Wira dan teman-temannya. Selain itu, kebijakan SSPI juga dinilai cacat formil.
Dasar hukum yang digunakan sebagai landasan formil kebijakan SSPI, yakni Peraturan Menteri Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri, sudah tidak berlaku. Menyikapi hal tersebut, Veri Antoni, Kepala Kantor Hukum dan Organisasi (Hukor) UGM, mengatakan bahwa kesalahan tersebut merupakan ketidakcermatannya dalam mempersiapkan landasan hukum SSPI. “Ini murni ketidakcermatan saya saat mempersiapkan SSPI,” jelasnya dalam Hearing Rektorat, Selasa (13-12).
Sebelum diberlakukan, Tugus Trisna Triandana Putra, Majelis Wali Amanat (MWA) Unsur Mahasiswa, menyatakan tidak ada pembahasan menyangkut SSPI di kalangan MWA. Hal tersebut lantaran kebijakan SSPI adalah ranah rektor. Namun, jika merujuk kepada Peraturan MWA No 4 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola UGM Pasal 142 terkait sumber pendanaan dan kekayaan UGM, tertulis dalam ayat (4) bahwa sumber pendapatan yang berasal dari masyarakat, pihak ketiga yang tidak mengikat, dan sumber lain yang sah, perlu mendapat persetujuan MWA. “Setelah diperdebatkan, aturan tersebut dipatahkan karena tidak ada pendelegasian wewenang,” jelas Tugus.
Ruang Menghimpun Dana
Arie Sujito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni, mengatakan bahwa SSPI merupakan sarana untuk memfasilitasi orang tua mahasiswa baru yang ingin memberikan sumbangan kepada UGM. Sumbangan tersebut nantinya akan diperuntukkan guna memfasilitasi kegiatan kemahasiswaan. Selain itu, menurut Arie, SSPI digunakan untuk membantu mahasiswa dengan kondisi ekonomi yang terbatas melalui beasiswa dan subsidi silang. “Dasarnya, SSPI dimaksudkan untuk memberi ruang menghimpun dana bagi yang ingin menyumbang,” jelas Arie ketika diwawancarai oleh BALAIRUNG.
Terkait pernyataan Arie tersebut, UGM sebenarnya telah memiliki platform guna menghimpun dana dari masyarakat, yakni Sahabat UGM. Menurut Sulistyowati, Kepala Subdirektorat Hubungan Alumni, Direktorat Kemitraan, Alumni, dan Urusan Internasional (DKAUI) UGM, Sahabat UGM ditujukan untuk memberikan ruang bagi alumni, mitra, dan masyarakat umum untuk berdonasi ke UGM. “Donasi tersebut diharapkan dapat membantu teman-teman mahasiswa,” ucap Sulistyowati.
Dalam platform Sahabat UGM, masyarakat dapat berdonasi ke UGM dengan nominal minimal Rp25.000. Donasi tersebut dapat berupa Dana Abadi, Dana Non-Abadi, dan Non-Tunai. Menurut Sulistyowati, sejauh ini, dana yang dihimpun dalam Sahabat UGM dialokasikan untuk beasiswa atau sesuai dengan surat perjanjian kerja sama. “Dana yang dihimpun dialokasikan untuk beasiswa atau sesuai dengan kebutuhan UGM,” tuturnya.
Dana tersebut juga dapat dialokasikan untuk pengembangan institusi, seperti penambahan dan pembaruan alat laboratorium. Sulistyowati mengatakan bahwa dalam platform Sahabat UGM telah disediakan pilihan terkait alokasi dana, seperti Dana Non-Tunai yang dapat berupa bantuan alat. “Katakanlah untuk fakultas yang memiliki laboratorium, seperti Fakultas Pertanian, dana tersebut bisa masuk ke Fakultas Pertanian, kemudian dapat diperuntukkan guna membeli alat laboratorium,” ujarnya.
Selain itu, menurut Sulistyowati, platform Sahabat UGM juga pernah difungsikan guna memberi bantuan keringanan UKT, seperti yang terjadi di Sekolah Vokasi. Menurutnya, ketika pandemi Covid-19, banyak mahasiswa Sekolah Vokasi yang mengajukan keringanan UKT. Akhirnya, Sekolah Vokasi menggunakan Sahabat UGM untuk menjaring donasi guna memberikan keringanan UKT. “Banyak alumni atau mitra yang memberi bantuan. Jadi, mahasiswa yang mengalami kesulitan UKT akan terbantu lewat Sahabat UGM,” jelasnya.
Sulistyowati menyatakan bahwa bantuan yang diberikan kepada mahasiswa melalui Sahabat UGM dibingkai dengan model beasiswa pendidikan. “Kalau dari yang kemarin-kemarin, arahnya memang untuk memberi beasiswa atau sesuai permintaan donatur,” ucapnya. Ia menjelaskan bahwa Sahabat UGM harus mengakomodasi permintaan dari donatur dengan fasilitas untuk mengarahkan dana sumbangan tersebut.
Berkenaan dengan mekanisme pengelolaan dana dari Sahabat UGM, Irvan Pengabdian, Kepala Seksi Dana Masyarakat, Direktorat Keuangan UGM, mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis donasi, yakni yang sifatnya kerja sama dan ritel. Ketika sifatnya kerja sama, maka alokasinya akan disesuaikan dengan surat perjanjian kerja sama. “Contohnya, donasi dari Low Tuck Kwong sebesar 50 miliar, berdasarkan perjanjian kerja sama, ditetapkan sebagai dana abadi yang harus menghasilkan 5% tiap tahunnya untuk beasiswa,” jelas Irvan.
Sedangkan untuk jenis donasi yang bersifat ritel, dana akan dianggarkan untuk investasi atau digunakan sesuai dengan permintaan dari DKAUI. Irvan menjelaskan bahwa dana yang sifatnya ritel ini adalah Dana Non-Abadi. Direktorat Keuangan hanya mengelola dana yang bersifat tunai. “Ketika sifatnya hibah [Dana Non-Tunai] akan langsung dikelola oleh DKAUI,” lanjut Irvan.
Kemudian, BALAIRUNG mencoba mempertanyakan urgensi SSPI kepada Sulistyowati dan Irvan karena melihat kesamaan peruntukan dana antara SSPI dengan Sahabat UGM. Menjawab pertanyaan tersebut, Sulistyowati dan Irvan sepakat bahwa, “Kebijakan semacam itu adalah wewenang pimpinan, kami hanya menjalankan tugas.”
Ilusi Kata dalam Narasi Sumbangan Sukarela
Adanya platform Sahabat UGM sebagai ruang menghimpun dana dari masyarakat menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai urgensi pemberlakuan SSPI, salah satunya dari Afif Dzulkarnain, anggota Tim Panitia Kerja SSPI. Afif berargumen bahwa sumbangan yang masuk melalui Sahabat UGM memiliki alokasi yang sama dengan SSPI, yakni beasiswa dan pembangunan. “Lantas, apa gunanya SSPI diadakan?” tanya Afif dalam Hearing Rektorat, Selasa (13-12).
Menjawab pertanyaan tersebut, Arie menjelaskan bahwa SSPI difokuskan untuk orang tua mahasiswa; sedangkan Sahabat UGM menjangkau lebih luas, yakni alumni, mitra, dan masyarakat umum. Meskipun begitu, Arie tidak memungkiri bahwa pengintegrasian antara SSPI dengan Sahabat UGM adalah hal yang memungkinkan karena alokasinya sama. “Jika mungkin diintegrasikan, kenapa tidak?” tanya Arie.
Sementara itu, Endri Heriyanto, Kepala Bagian Hukum, Hukor UGM, menyatakan bahwa pembentukan kebijakan SSPI dilakukan selama dua bulan sebelum penerimaan mahasiswa baru jalur ujian mandiri. Awalnya, menurut Endri, UGM mendorong adanya uang pangkal atau Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang bersifat wajib. Namun, kebijakan tersebut ditolak dalam rapat MWA. “UGM mencoba mencari alternatif penamaan yakni SSPI,” ungkap Endri.
Lebih lanjut, Endri menyebutkan bahwa kebijakan SSPI ini digunakan sebagai “persiapan”, “Kira-kira banyak isu atau tidak ketika kita melempar kebijakan SSPI.” Nyatanya, menurut Endri, banyak mahasiswa yang kontra terhadap hal tersebut, kendati sudah terdapat nominal nol rupiah, ketika UGM menetapkan kebijakan SSPI.
Lebih lanjut, Arie menjelaskan bahwa pemberlakuan SSPI sendiri merupakan buntut dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menetapkan UGM sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Akibat menyandang status PTN-BH, subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini dipangkas sehingga UGM membutuhkan sumber pendanaan lain. “UGM dituntut memiliki agenda-agenda strategis sehingga kita membutuhkan sumber pendanaan lain,” tegas Arie.
Status PTN-BH dinilai sarat akan kepentingan neoliberalisasi pendidikan. Pasalnya, menurut Joko Susilo yang akrab disapa Josu, Knowledge Manager Nalar Institute, secara global konsep PTN-BH disebut dengan universitas korporasi, yakni wujud neoliberalisasi pendidikan. Akibatnya, perguruan tinggi harus mencari uang sendiri. “Pemangkasan subsidi pendidikan oleh negara berdampak pada lonjakan beban biaya kampus,” ungkap Josu dalam Majalah Balairung edisi 57.
Selanjutnya, Josu berargumen bahwa kebijakan SSPI hanyalah kanibalisasi dari SPMA. Baginya, label SSPI hanya ilusi permainan kata saja. Sebab, menurut Josu, logika yang dipakai SSPI dan SPMA adalah sama, yakni, “Kampus butuh uang dan menarik iuran apapun yang dapat diambil dari mahasiswa.”
Pernyataan Josu ini dibuktikan dengan adanya rencana pemberlakuan uang pangkal oleh UGM. “Ke depannya, kita akan seperti universitas lain yang menerapkan uang pangkal,” ucap Ova Emilia, Rektor UGM, dalam Hearing Rektorat pada Selasa (17-01). Bagi Josu, rencana pemberlakuan uang pangkal selayaknya, “Solusi tercepat menaikkan dan membebankan biaya pendidikan kepada mahasiswa.”
Penulis: Michelle Gabriela dan Reyhan Maulana Adityawan (Magang)
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Ilustrator: Aisya Sabili (Magang)
1 komentar
bagus