Pada tahun 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Kurawal Foundation menggelar proyek liputan investigasi kolaboratif mengenai konflik agraria yang bersinggungan dengan Keraton Yogyakarta. Dalam proyek tersebut, AJI Yogyakarta menggandeng sejumlah media massa baik nasional maupun lokal dari Yogyakarta untuk berkolaborasi. Akan tetapi, dalam perjalanannya, ternyata ditemukan bahwa tidak ada satupun media massa lokal Yogyakarta yang bergabung dalam proyek kolaborasi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar atas kondisi media massa lokal Yogyakarta, khususnya mengenai independensi dan keberpihakan mereka.
Munculnya anomali ini menjadikan Gilang Jiwana Adikara, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, tertarik untuk melakukan riset mengenai independensi dan keberpihakan media lokal di Yogyakarta. Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan dalam artikel jurnal yang berjudul “Framing of local media in the management issues of Sultan Ground and Pakualaman Ground in Yogyakarta”.
Dalam risetnya tersebut, Gilang menemukan bahwasanya terdapat kecenderungan media massa lokal di Yogyakarta yang berusaha menghindari isu atas kekuasaan Keraton—seperti konflik agraria yang dibahas dalam proyek kolaborasi tadi. Kemudian, berangkat dari fenomena tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Gilang Jiwana Adikara pada Senin (28-11). Melalui wawancara ini, Gilang secara lebih lanjut mengungkapkan fenomena anomali independensi media massa lokal di Yogyakarta terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Keraton.
Bagaimana Anda melihat independensi media-media massa lokal Yogyakarta?
Dalam beberapa hal, saya rasa sejauh ini mereka masih relatif layak dianggap independen. Mereka juga tidak memiliki intervensi dari pihak luar sehingga dapat dengan bebas menentukan nasibnya masing-masing. Selain itu, terkait pemberitaan untuk beberapa hal, mereka juga mempunyai nilai idealisme yang bagus, contohnya Tribun Jogja, Harian Jogja, dan Harian Rakyat.
Meskipun begitu, untuk beberapa topik, mereka tidak berani terlalu frontal. Semua kembali kepada topik pembahasannya. Mereka dapat dengan aman bekerja jika topiknya bersifat umum seperti kemanusiaan, politik, dan nasional. Namun, jika berkaitan dengan kekuasaan Keraton, mereka harus menegosiasikan banyak hal. Hal ini disebabkan karena beberapa dari mereka ternyata memiliki afiliasi yang sangat dekat dengan Keraton, salah satunya Harian Jogja.
Lantas, jika kita melihat hal itu, maka akan ada peluang munculnya konflik kepentingan. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor mengapa mereka tidak benar-benar bisa bergerak secara independen.
Apa saja faktor yang memengaruhi dan menyebabkan media-media lokal ini tidak bisa bergerak secara bebas dan independen?
Pada saat melakukan riset di Yogyakarta, saya melihat banyak sekali faktor yang membuat media massa lokal tidak bisa bergerak dengan benar-benar independen. Salah satunya adalah faktor di mana mereka berada. Misalnya, di Yogyakarta, masyarakatnya masih memiliki rasa hormat dan loyalitas yang sangat tinggi terhadap pemerintahan Keraton. Realitas kultur dan sosial ini lantas memengaruhi media massa lokal di sana. Sebab, agar dapat diterima oleh tempat mereka berada, mereka harus datang dengan mengikuti selera pasarnya, yakni masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Ini yang menjadi perhatian.
Selain itu, mereka juga harus berhati-hati agar tidak menimbulkan kontra dari pihak-pihak tertentu. Sebab, selain Keraton, permasalahan independensi yang dialami oleh media massa lokal Yogyakarta ini juga bisa datang dari pemilik bisnis media mereka. Media-media ini cenderung mengambil topik yang tidak merugikan grup bisnis pemilik media supaya tidak mencederai bisnis yang dijalankan.
Bagaimana Anda menjelaskan lebih lanjut terkait hubungan antara realitas kultur dan sosial masyarakat terhadap media massa agar dapat tetap independen?
Sebagai konsumen, masyarakat punya selera dan saya rasa kita tidak bisa memaksakan masyarakat untuk mengikuti apa yang disajikan oleh media massa. Jadi, apabila masyarakat melihat dari garis supply dan demand, media massa merupakan sebuah transaksi jual beli informasi. Layaknya hukum ekonomi, di mana ada penawaran di situ ada permintaan, permintaan datang dari audiens. Audiens mintanya apa, dari situlah media yang memberikan. Jadi, bukan hanya menyediakan supply-nya saja.
Namun, ketika masyarakat mintanya itu untuk disajikan oleh media, media massa bisa bertahan lebih lama. Jadi, untuk mengedukasi masyarakat memerlukan proses yang sangat lama, panjang, dan rumit. Banyak yang bilang masyarakat Indonesia itu buruk dalam mencerna informasi karena medianya memberikan hal-hal yang buruk. Padahal tidak, justru sebaliknya, media kita pernah memberikan yang bagus tetapi tidak laku. Sebab, selera masyarakat kita semacam itu. Itu bukan cuma di Indonesia saja, tetapi kita juga masyarakat dunia.
Media pada akhirnya digunakan untuk hiburan. Maka dari itu, informasi yang serius menjadi tidak laku dibanding informasi yang biasa-biasa saja. Apakah masyarakat harus banyak menerima beberapa macam fakta? Iya. Apakah itu tugas media massa untuk mengedukasi? Tidak. Media massa itu tugasnya melayani kebutuhan informasi masyarakat, bukan mengedukasi selera masyarakat. Namun, apakah kondisi tersebut akan berubah? Saya tidak tahu apakah akan berubah atau tidak.
Lantas, apa yang melatarbelakangi Anda untuk mengangkat isu terkait independensi jurnalistik?
Pada tahun 2021, AJI Yogyakarta bersama Kurawal Foundation melakukan proyek investigasi kolaboratif, yakni mengangkat topik mengenai agraria pertanahan di Yogyakarta. Akan tetapi, pada saat membuka pendaftaran sukarelawan, hanya satu jurnalis media massa lokal Yogyakarta yang berani bergabung meski pada akhirnya memutuskan mengundurkan diri. Dari sinilah menimbulkan rumusan masalah mengenai ketidakikutsertaan jurnalistik jika mengkaji isu intervensi kebijakan Keraton. Timbul analisis jawaban, yakni kuasa Keraton yang begitu besar dan media massa diharuskan tidak frontal dalam mengambil keputusan.
Kemudian, saya mengangkat isu tersebut ke dalam penelitian yang dikerjakan selama 2021 hingga awal 2022. Melalui penelitian ini, timbul dua pertanyaan. Pertama, apakah wartawan di Yogyakarta bersifat tidak independen terhadap Keraton? Kedua, bagaimana kebijakan redaksi berjalan terkait pemberitaan seputar Keraton Yogyakarta?
Apa yang sebenarnya ingin Anda sampaikan kepada masyarakat melalui penelitian ini?
Dari penelitian ini, saya ingin menyampaikan bahwa dugaan ketidakindependensian jurnalisme oleh media massa lokal di Yogyakarta memang terbukti dan tidak hanya terefleksikan dalam pemberitaan mereka. Oleh karena itu, di riset paruh pertama, saya ingin melihat ke mana condongnya mereka bila kita berbicara mengenai isu agraria di Yogyakarta.
Ternyata, yang aman-aman saja yang diberitakan, yang jelek-jelek tidak ada yang masuk atau diberitakan sehingga dari sini terlihat sisi condongnya ke arah mana. Selanjutnya, untuk mengonfirmasi pembacaan dari framing itu, yang saya katakan masih dalam proses review, mungkin tahun depan terbitnya, mengenai konfirmasi jawaban atas temuan yang pertama tadi.
Hasilnya bisa teman-teman cari tahu sendiri di media sosial karena sejatinya sudah terbuka semua sehingga mudah untuk dilihat. Saya ingin bilang kepada masyarakat yang pada akhirnya media kita (Yogyakarta) itu tidak benar-benar bisa independen terkait topik ini secara spesifik.
Apa harapan dan saran Anda untuk media lokal di Yogyakarta ke depannya?
Harapan saya, pertama, media-media massa lokal tetap menjaga integritas dan idealisme mereka supaya tetap memberikan informasi yang layak kepada masyarakat. Kedua, mereka tetap bisa memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Itu harapan saya, arahnya ke sana. Kembalilah kepada yang tertuang pada Undang-Undang Pers. Hal itu yang seharusnya dipertahankan oleh media-media massa lokal di Yogyakarta.
Penulis: Ayu Mela Kurniasari, Muhammad Wildan, dan Rais Aulia (Magang)
Penyunting: Muhammad Fathur
Ilustrator: Salvinia Amabilis Aryufa (Magang)