Tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dengan kinerja polisi saat ini. Secara formal, memang ada perubahan dalam polisi. Akan tetapi, dalam praktik di lapangan, kegagalan mereka selalu sama. Sudah sepantasnya bagi kita untuk memunculkan alternatif baru, yakni pembubaran polisi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegak hukum memiliki citra yang buruk. Banyak anggota polisi melakukan hal-hal yang berlawanan dengan visi dan misi mereka, mulai dari lambatnya layanan pengaduan, kekerasan, korupsi, pemerasan hingga penyalahgunaan jabatan. Lembaga yang berumur selisih satu tahun dengan negara ini masih memiliki banyak kekurangan. Setelah rentetan kasus yang melibatkan polisi dalam beberapa waktu, apakah masih relevan diskursus tentang reformasi polisi? Jika memang reformasi sudah usang dan tidak relevan, maka sudah saatnya memunculkan alternatif baru, yaitu pembubaran polisi.
Dari Bhayangkara Menjadi Polri
Secara historis, kepolisian Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam buku Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru (1994) karya Harsja Bachtiar, jauh sebelum masa kolonial, sudah ada satuan keamanan dalam kerajaan Majapahit. Satuan keamanan itu bernama Bhayangkara ‘Yang Menakutkan’. Tugas mereka adalah mengawal raja dan sebagai informan kerajaan mengenai kasus-kasus yang dapat merugikan kerajaan. Pembentukan kepolisian modern terjadi pada masa kolonial Belanda. Marieke Bloembergen (2012) menyebutkan bahwa kepolisian dibentuk Belanda untuk menertibkan pribumi agar kekuasaan tidak diganggu dan tetap berada di atas.
Pada masa penjajahan Jepang, kepolisian menjadi departemen sendiri dengan nama Keimubu ‘Departemen Kepolisian’. Departemen ini mempunyai polisi militer yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Pada masa Kemerdekaan, tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membentuk Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bertugas di bawah Kementerian Dalam Negeri. Kemudian pada masa revolusi, tepatnya 1 Juli 1946, Polri dialihkan langsung di bawah Perdana Menteri untuk melawan militer Belanda. Di samping membantu mempertahankan kemerdekaan, Polri juga tetap menjalankan tugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Hal ini dilakukan sebagai pembuktian bahwa Indonesia bisa menjalankan roda pemerintahan sendiri (Bachtiar, 1994).
Menurut catatan International Crisis Group (2001), Polri mulai berkembang pesat di tahun 1950-an. Adanya bantuan pihak asing untuk pendidikan dan pelatihan serta keberhasilan Polri menjaga diri dari campur tangan politik. Namun, memasuki masa Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru, Polri telah kehilangan taringnya: mulai dari konflik internal dan permainan politik sampai penggabungan Polri dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Penggabungan ini berdampak pada pemangkasan anggaran Polri, pendidikan dan pelatihan termiliterisasi, serta Polri harus tunduk pada hukum militer. Ketika Orde Baru runtuh, Polri secara resmi memisahkan diri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini semakin dipertegas dengan Ketetapan MPR No.VII/2000 tentang peran TNI dan Polri bahwa Polri berada di bawah tanggung jawab presiden, sedangkan TNI di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.
Setelah pemisahan Polri dari TNI pada 1999, terdapat perubahan organisasi militer menjadi kepolisian modern. Dengan perubahan ini, Polri harus bisa merespons tiga tantangan dalam pilar reformasi, yaitu tantangan instrumental, struktural, dan kultural. Tantangan instrumental meliputi pengembangan filosofi kelembagaan seperti visi, misi, dan tujuan lembaga. Tantangan tersebut pada dasarnya menegaskan tanggung jawab polisi sebagai lembaga keamanan dan kemasyarakatan yang sesuai hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) (Villaveces-Izquierdo, 2010).
Kemudian terdapat juga tantangan struktural. Tantangan ini bersifat dua arah. Satu sisi perubahan sistem organisasi dengan cara lebih banyak memberi wewenang ke tingkat regional, kecamatan atau kabupaten, untuk kemungkinan keputusan yang lebih efektif. Di sisi lain, perubahan tersebut menetapkan posisi polisi sebagai lembaga otonom dalam birokrasi pemerintahan. Terakhir, untuk merespon tantangan kultural, polisi harus merubah sikap mereka dalam berinteraksi kepada masyarakat. Polisi juga harus merubah budaya lembaga yang sentralistik dan birokratis menjadi lembaga yang lebih transparan dan akuntabel (Villaveces-Izquierdo, 2010).
Dalam menjalankan reformasi kepolisian, Andrew Goldsmith (2005) mengatakan ada tiga hal penting yang harus dilakukan polisi untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pertama, bertindak secara adil dan transparan. Polisi harus lebih tanggap terhadap permintaan-permintaan masyarakat. Selain itu, kepolisian juga harus berfungsi dengan baik dalam internal. Kedua, polisi harus membatasi penggunaan kekerasan. Mereka harus mengutamakan penyelesaian masalah dengan kesepakatan dan kedamaian daripada kekerasan. Ketiga, masyarakat atau kepolisian memunculkan pihak ketiga yang dipercayai oleh keduanya. Tatkala ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi sudah sangat mendalam, maka memunculkan pihak ketiga sangat mungkin dilakukan. Jika tidak ada, maka pihak itu harus diciptakan.
Polri dan Kegagalannya
Sampai saat ini, reformasi dalam Polri berjalan buruk. Ia tidak sesuai dengan pilar reformasi kepolisian. Memang kebijakan terkait reformasi instrumental telah dilakukan Polri, dari visi, misi, doktrin hingga penataan ulang terkait kewenangan dan kompetensi Polri. Berbagai kebijakan sudah dikeluarkan seperti regulasi tentang penghormatan HAM dan demokrasi, penegakan supremasi hukum, serta pelayanan publik (Siregar, 2013). Namun, kebijakan-kebijakan Polri berbanding terbalik dengan praktik di lapangan. Dalam masalah keadilan, kepolisian sering tebang pilih dalam menegakkan hukum. Kasus tebang pilih ini dapat terlihat ketika polisi merespon dua kasus yang berbeda, tapi serupa. Pada tahun 2021, kepolisian melakukan pembubaran paksa massa aksi Papua yang mempersoalkan Otonomi Khusus Papua Jilid II di Semarang. Kepolisian Resor Kota Besar Semarang berdalih bahwa aksi itu melanggar aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat pada saat itu. Padahal, sebulan sebelum aksi tersebut, kepolisian tidak menggubris acara kunjungan Jokowi di Maumere, NTT yang menyebabkan kerumunan dan minimnya protokol kesehatan.
Penggunaan kekerasan yang dilakukan kepolisian juga masih tinggi. Aparat negara masih sering mengambil jalan represi untuk menyelesaikan masalah. Menurut laporan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada rentang waktu Mei 2020–Juni 2021, ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan polisi, mulai dari Kepolisian Daerah, Kepolisian Resor, hingga Kepolisian Sektor. Bentuk kekerasan yang sering terjadi adalah penembakan, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, pembubaran paksa, dan penyiksaan. Tahun ini, laporan terbaru KontraS tentang kekerasan seksual mengungkapkan bahwa setidaknya ada 18 kasus yang melibatkan polisi dan 4 pengabaian kasus kekerasan seksual.
Usaha Pemerintah dengan memunculkan pihak ketiga, yaitu Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), sama sekali tidak membantu. Jacqui Baker (2022) mengatakan bahwa awalnya Kompolnas dibentuk sebagai badan pengawas untuk pengaduan tentang polisi. Kemudian, Kompolnas dikooptasi oleh Polri dan sekarang hanya melayani kebutuhan hubungan antara masyarakat dan Polri saja. Padahal menurut Goldsmith (2005), pihak ketiga seharusnya memastikan polisi melakukan kinerja dengan baik. Pihak ketiga juga sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara polisi dan masyarakat. Berbagai masalah yang sudah dipaparkan masih dalam aspek instrumental, belum termasuk aspek struktural dan kultural.
Salah satu hasil dari reformasi struktural Polri adalah perluasan struktur kepolisian ke pelbagai daerah. Alasan perluasan tersebut agar kinerja Polri menjadi efektif dan efisien. Masalahnya, perluasan struktur kepolisian terlalu sentralistik dan struktur organisasi yang terlalu horizontal. Perluasan struktur kepolisian juga tidak dibarengi dengan penambahan personel dan infrastruktur kepolisian (Haripin dan Siregar, 2016). Contohnya, Kepolisian Daerah NTT mendapati kekurangan personel dan infrastruktur kepolisian yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam reformasi kultural, Polri belum berbenah. Tujuan reformasi kultural adalah menjadikan polisi sebagai lembaga akuntabel di mata masyarakat. Namun, dalam praktiknya, Polri masih menjadi lembaga yang korup. Menurut survei Indikator Politik Indonesia tanggal 18–24 Mei 2022, sektor penyebaran korupsi tertinggi adalah ketika berurusan dengan polisi dengan persentasenya mencapai 44 persen.
Bubarkan Polisi
Lalu, perubahan apa yang harus dilakukan oleh kepolisian? Jika mendengar isu tentang Polri yang akan berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, maka kemungkinan hanya akan mengembalikan dwifungsi Polri pada masa lalu. Dengan adanya wacana tersebut, seakan-akan polisi dikerahkan untuk mendukung otoritas tertentu dan polisi akan digunakan sebagai kedok hukum untuk melawan kelompok politik yang lain (Goldsmith, 2002).
Melihat kondisi kepolisian yang tak jelas arahnya, sudah saatnya untuk menyerukan alternatif kedua, yaitu pembubaran polisi. Wacana tentang pembubaran polisi sudah banyak muncul di belahan dunia lain. Di Amerika Serikat, orang-orang menyuarakan pembubaran karena banyaknya kasus rasial yang melibatkan kepolisian (Mcdowell, 2018). Kita bisa berkaca kepada Hongkong. Masyarakat di sana menyuarakan pembubaran karena kasus pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian Hongkong. Bahkan, warga Hongkong bekerja keras untuk mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran yang terjadi (Wong dan Hon-Sing Wong, 2022). Wacana pembubaran yang terjadi di Hongkong dan Amerika Serikat berasal dari titik tolak yang sama, yaitu ketidakpercayaan terhadap kepolisian.
Menurut Daniel Loick (2021), pembubaran merupakan bagian dari transformasi sosial yang luas tentang mengubah kondisi yang dilatarbelakangi oleh institusi yang menindas. Para aktivis anti polisi mengatakan bahwa proses penghapusan adalah proses penciptaan institusi baru serta penghapusan institusi yang lama. Menurut Sarah Lamble (2021), seorang anggota Abolitionist Futures, penghapusan kepolisian merupakan tugas yang berat karena masyarakat masih berasumsi bahwa polisi dan penjara merupakan solusi bagi keamanan mereka. Bahkan, kelompok yang tidak memercayai polisi justru masih melanggengkan kekerasan dan bahaya. Masih sulit untuk membayangkan hidup tanpa lembaga kepolisian. Oleh karena itu, bagi Lamble, penghapusan bukan sekadar menyingkirkan polisi atau sistem pengawasan dan hukuman yang ada, melainkan tentang pembangunan di atas mereka.
Lamble mengharuskan masyarakat untuk terlibat dalam strategi pembongkaran sistem dan struktur yang menopang kepolisian. Pada saat yang sama, masyarakat juga harus membangun sistem perawatan, kesejahteraan, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hal inilah yang dilakukan oleh para abolisionis Amerika (Lamble, 2021). Abolisionis bertujuan untuk menghapus sistem penjara dan polisi dengan membangun sistem keadilan yang restoratif dan transformatif. Para abolisionis melakukan strategi dengan mengurangi kekuatan sistem peradilan pidana dan mengurangi ketergantungan terhadap sistem tersebut. Sekaligus, membangun keterampilan dan kapasitas untuk sistem yang bisa mencegah, menangani, dan merespon bahaya (Berger, Kaba, dan Stein, 2017).
Memang tidak mudah untuk merealisasikan wacana tentang pembubaran Polri, tetapi wacana ini bisa saja tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Proses awal yang mungkin bisa dilakukan ialah menantang sistem peradilan pidana. Mengutip dari Vincent Wong dan Edward Hon-Sing Wong (2022), sistem peradilan sering gagal memenuhi penyintas bahaya. Sebaliknya, sistem peradilan hanya fokus pada hukuman untuk terdakwa sambil menekan korban dengan proses pidana yang kompleks dan berpotensi trauma ulang oleh korban.
Seperti yang sudah dikatakan Lamble (2021), pembubaran polisi tidaklah cukup. Kita juga harus membangun alternatif baru yang menggambarkan situasi kondisi masyarakat yang setara dan saling berhubungan timbal balik. Hal ini bisa dilakukan dengan meniru komunitas Chicago Torture Justice Memorials. Mereka memusatkan keadilan untuk para penyintas kekerasan polisi dan berupaya meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan dengan cara berintegrasi kembali sambil memahami akar permasalahan dan berupaya mengatasinya. Mereka juga berhasil menciptakan layanan medis, kesehatan mental, dan dukungan lainnya untuk para penyintas trauma terhadap polisi (Wong dan Hon-Sing Wong, 2022). Salah satu keberhasilan mereka ialah mendorong Dewan Kota Chicago untuk memberikan ganti rugi kepada para penyintas kasus penyiksaan yang dilakukan Komandan Polisi Chicago, Jon Burger, dan para anggotanya.
Keadilan yang ditawarkan oleh para abolisionis merupakan cara alternatif untuk mencegah dan mengatasi kekerasan di luar polisi. Mereka menanggapi kekerasan menggunakan pendekatan berbasis komunitas dengan membangun dukungan dan keamanan bagi siapa pun yang dirugikan. Salah satu contoh abolisionis itu adalah Advance Peace, organisasi yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan senjata di Richmond, California. Mereka memberikan dukungan keuangan dan bimbingan untuk mencegah kaum muda melakukan perselisihan kekerasan (Wong dan Hon-Sing Wong, 2022). Keberhasilan mereka, menurut laporan Institute of Urban and Regional Development (2020), penelitian di Sacramento dari Januari 2018–Desember 2019, adalah mengurangi angka pembunuhan dan penyerangan dengan senjata sebesar 21 persen dari angka tahun sebelumnya.
Hal yang diterapkan abolisionis di Amerika atau Hongkong dapat menjadi gambaran bahwa pengendalian atas keadilan dan kekerasan dapat dilakukan oleh komunitas masyarakat. Keruwetan permasalahan struktural dan kultural di lembaga kepolisian tak pelak lagi merupakan pucuk masalah. Selama di lembaga kepolisian masih ada penyelewengan dan pelanggaran HAM, wacana pembubaran tidak akan mati. Mungkin saja, suatu saat wacana ini bisa tumbuh mengakar di semua penjuru negeri ini. Hal ini bergantung pada sikap masyarakat untuk tidak bergantung kepada Polri. Di sisi lain, masyarakat juga harus membuat komunitas alternatif yang bisa menggambarkan situasi masyarakat berdasarkan kesetaraan dan kesejahteraan bersama.
Penulis: Ahmad Arinal Haq, Muhammad Zaki Ramadhan, dan Yohanes Mario Putra Bagus (Magang)
Penyunting: Vigo Joshua
Ilustrator: Muh. Ilham Kholid (Magang)
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsya W. 1994. Ilmu kepolisian: suatu cabang ilmu pengetahuan yang baru. N.p.: Diterbitkan atas kerja sama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Baker, Jacqui. 2022. “The end of police reform – Indonesia at Melbourne.” Indonesia at Melbourne. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-end-of-police-reform/.
Berger, Dan, Mariame Kaba, and David Stein. 2017. “What Abolitionists Do.” Portside.org. https://portside.org/2017-09-13/what-abolitionists-do.
Bloembergen, Marieke. 2012. “Vol, Meurtre et Action Policière Dans Les Villages Javanais. Les Dynamiques Locales de La Sécurité Aux Indes Néerlandaises Orientales Dans Les Années 1930.” Genèses 86:8–36. http://www.jstor.org/stable/26196742.
CNN Indonesia. 2022. “Polri Buka Suara soal Usul Kepolisian di Bawah Kemendagri.” CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220103160447-20-742005/polri-buka-suara-soal-usul-kepolisian-di-bawah-kemendagri.
Duff, Koshka, ed. 2021. ABOLISHING THE POLICE: (an Illustrated Introduction). N.p.: Dog Section Press.
Goldsmith, Andrew. 2002. “Policing Weak States: Citizen Safety And State Responsibility.” Policing and Society 13:3–21. https://doi.org/10.1080/1043946032000050553.
Haripin, Muhammad, and Sarah N. Siregar. n.d. “The Defects of Police Reform in Indonesia.” Journal of Indonesian Social Sciences an Humanities 6 (2): 53–64. 10.14203/jissh.v6i2.40.
Indikator Politik Indonesia. 2022. “Rilis Survei 08 Juni 2022.” Indikator Politik. https://indikator.co.id/rilis-survei-08-juni-2022/.
Institute of Urban and Regional Development. 2020. “Outcome Evaluation of Advance Peace Sacramento, 2018-19. Prof. Jason Corburn & Amanda Fukutome-Lopez UC Berkeley, IURD March.” Advance Peace. https://www.advancepeace.org/wp-content/uploads/2020/04/Corburn-and-F-Lopez-Advance-Peace-Sacramento-2-Year-Evaluation-03-2020.pdf.
International Crisis Group. 2001. “Asia Report, Nr. 13: Indonesia – National Police Reform.” The Web site cannot be found. https://www.files.ethz.ch/isn/28313/013_indonesia_national_police_reform.pdf.
Kompas.com. 2022. “Kontras: Ada 18 Kasus Kekerasan Seksual oleh Oknum Polisi Selama Juli 2021-Juni 2022.” Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2022/06/30/19302701/kontras-ada-18-kasus-kekerasan-seksual-oleh-oknum-polisi-selama-juli-2021.
Kompas.com. 2022. “Kapolda NTT Sebut Polisi yang Bertugas di Labuan Bajo Harus Bersyukur dan Bangga Halaman all – Kompas.com.” Regional – KOMPAS.com. https://regional.kompas.com/read/2022/11/02/203633178/kapolda-ntt-sebut-polisi-yang-bertugas-di-labuan-bajo-harus-bersyukur-dan?page=all.
KontraS. 2021. “Laporan Hari Bhayangkara ke-75 Tahun 2020 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan – KontraS.” KontraS. https://kontras.org/2021/06/30/ringkasan-eksekutif-laporan-hari-bhayangkara-ke-75-tahun-2020-komisi-untuk-orang-hilang-dan-korban-tindak-kekerasan/.
McDowell, Meghan, and Luis Fernandez. 2018. “‘Disband, Disempower, and Disarm’: Amplifying the Theory and Practice of Police Abolition.” Critical Criminology. 26. 10.1007/s10612-018-9400-4.
Siregar, S. N. 2016. “Pencapaian Reformasi Instrumental Polri 1999–2011.” Jurnal Penelitian Politik 10 (2).
Tyler, Tom R. 2004. “Enhancing Police Legitimacy.” The Annals of The American Academy of Political and Social Science 593. https://www.jstor.org/stable/4127668#metadata_info_tab_contents.
Villaveces-Izquierdo, Santiago. 2010. “Building Internal and External Constituencies for Police Reform: An Indonesian Case Study.” International Journal of Police Science & Management 12. https://doi.org/10.1350/ijps.2010.12.2.184.
Vysotsky, S. 2015. “The Anarchy Police: Militant Anti-Fascism as Alternative Policing Practice.” Crit Crim 23.
Wong, Vincent, and Edward Hon-Sing Wong. 2022. “How to Abolish the Hong Kong Police.” Reorienting Hong Kong’s Resistance. 10.1007/978-981-16-4659-1_3.