“Mungkin nanti akan dibentuk unit besar langsung di bawah rektor bernama Crisis Center yang merupakan gabungan dari unit-unit sebelumnya,” ujar Sindung Tjahyadi, Direktur Kemahasiswaan UGM, ketika ditanya tentang tindak lanjut dari persoalan penanganan kekerasan seksual dari hearing sebelumnya dalam Hearing Rektorat pada Selasa (17-01).
Diselenggarakan di Kantor Pusat UGM, puluhan mahasiswa dari berbagai elemen duduk berdialog menemui Ova Emilia, Rektor UGM, beserta jajarannya untuk menindaklanjuti poin-poin tuntutan mahasiswa dalam hearing Desember lalu. Beberapa poin tuntutan tersebut diantaranya mendesak rektorat untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap isu-isu unit pelaporan kekerasan seksual dan layanan kesehatan mental. Selain itu, dalam hearing kali ini juga muncul desakan kepada rektorat mengenai layanan disabilitas yang dinilai masih belum optimal.
Sigit Bagas Prabowo, perwakilan unsur mahasiswa, pertama-tama menyampaikan kondisi layanan konsultasi psikologi yang berada di tiap fakultas. Ia mengungkapkan, berdasarkan data Forum Advokasi UGM, 10 dari 18 fakultas di UGM belum memiliki layanan tersebut. Sigit menerangkan bahwa perlu adanya aturan yang menaungi pengadaan layanan tersebut sehingga tiap fakultas memiliki kesadaran untuk mengadakannya. “Perlu adanya aturan yang menaungi semuanya,” tegasnya.
Setelah berbicara tentang masalah kesehatan mental, Sigit lantas meneruskan pemaparannya tentang kondisi Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Menurutnya, satgas tersebut masih bekerja menggunakan SOP lama sehingga segala tindakan dan pelayanannya masih mengacu pada cara kerja lama. “Selain itu, implementasi dari Permendikbud baru (sebagai landasan kerja Satgas PPKS) juga belum ada petunjuk teknisnya,” ungkap Sigit. Padahal, menurutnya, mahasiwa menginginkan pembaruan sistem yang lebih efisien atas layanan PPKS ini.
Menanggapi Sigit, Ova mengungkapkan bahwa memang ada beberapa fakultas yang tidak mampu untuk mengadakan layanan konsultasi psikologi. Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah tersebut, Ova memberikan wacana Crisis Center sebagai solusi. “Mahasiswa (juga) dilibatkan dalam Crisis Center tersebut untuk menangkap masalah yang ada di lapangan,” tambah Ova.
Adapun perihal Satgas PPKS, Ova menyatakan akan melakukan koordinasi ulang terhadap satgas untuk melibatkan mahasiswa. Ia mengatakan telah meminta bantuan dari Wening Udasmoro, Wakil Rektor UGM, untuk melakukan evaluasi dan konsolidasi ulang terkait Satgas PPKS. “Sebenarnya bukan hanya Satgas, tetapi juga (mengenai kebijakan) Crisis Center,” ujar Ova.
Setelah pemaparan Sigit, Bhram Kusuma Setya Hadi, selaku perwakilan unsur mahasiswa, pun turut menyampaikan kritiknya terhadap peran Unit Layanan Terpadu (ULT) UGM yang dirasa belum optimal, terutama dalam penanganan isu disabilitas. Ia menemukan bahwa saat penyelanggaraan Ujian Tulis Berbasis Komputer 2022 lalu, Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM malah meminta daftar calon mahasiswa penyandang disabilitas kepada UKM Peduli Difabel, bukan ke ULT. “Belum ada peraturan rektor yang mengatur secara khusus terkait layanan mahasiswa penyandang disabilitas di UGM,” ungkap Bhram.
Merespons pemaparan Bhram, Ova mengakui belum ada koordinasi yang baik ketika melaksanakan survei mahasiswa penyandang disabilitas sehingga permasalahan tersebut muncul. Lagi-lagi, Ova kembali menyebutkan Crisis Center adalah usaha penyelesaian untuk menangani masalah mahasiswa, termasuk bagi penyandang disabilitas. “Semua akan diarahkan ke Crisis Center, ini adalah hal yang harus kita rundingkan bersama,” ucap Ova.
Menggali Crisis Center Lebih Dalam
Setelah audiensi, BALAIRUNG mewawancarai Sindung dan Utiyati, Kepala Subdirektorat Kesejahteraan Mahasiswa, demi menemukan penjelasan lebih lanjut tentang wacana Crisis Center. Dalam wawancaranya, Sindung menjelaskan Crisis Center merupakan suatu lembaga yang didirikan untuk menangani masalah-masalah genting yang dihadapi mahasiswa, termasuk kekerasan seksual dan kesehatan mental. Supaya dapat bekerja lebih efisien, jelasnya, Crisis Center akan diletakkan di bawah kewenangan universitas secara langsung. “Kelak Crisis Center akan mengintegrasikan unit-unit yang berada di bawah fakultas,” terang Sindung.
Adapun, menurut Sindung, alur kerja dalam Crisis Center ini kelak akan sangat melibatkan mahasiswa. Untuk mendukung keterlibatan tersebut, ia menyatakan bahwa nantinya akan ada pelatihan-pelatihan bagi mahasiswa untuk menjadi pendamping bagi temannya yang melapor ke Crisis Center. “Mahasiswa harus terlibat karena peer group atau kelompok teman sebaya terbukti lebih efektif menangani beragam masalah,” klaim Sindung.
Lebih lanjut, berdasarkan penuturan Sindung, Crisis Center digadang-gadang juga akan memiliki beragam divisi yang kelak mampu menjadi jalan keluar atas beragam masalah bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Bahkan, ia menyebutkan akan ada divisi khusus yang merespons permasalahan pinjaman online. “Crisis Center kelak akan menangani dan mendampingi mahasiswa yang mempunyai masalah tersebut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Utiyati mengaku bahwa pada kasus-kasus yang sudah terjadi, universitas bergerak setelah menerima laporan dari teman dekat mahasiswa yang bermasalah. Sejalan dengan Sindung, ia menekankan bahwa keterlibatan mahasiswa yang dimaksud adalah kepedulian terhadap sesama mahasiswa. “Peran yang seperti itu sangat besar dalam berjalannya Crisis Center ini,” tegas Utiyati.
Namun, dari segala penjelasan tersebut, Sindung mengakui perencanaan dari Crisis Center sejauh ini masih belum matang. “Bentuk pastinya masih belum pasti,” ungkap Sindung.
Tanggapan dari Mahasiswa
Berangkat dari informasi tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Robertus Abdi Dharma Gani, Ketua Forum Komunikasi (FORKOM) Unit Kegiatan Mahasiswa UGM; dan Sabilla Rahma Rosida dari UKM Peduli Difabel. Dalam wawancaranya, Gani mengingatkan bahwa meskipun masih berada di tahap perencanaan, Crisis Center harus tetap dipantau dan dikawal oleh mahasiswa. “Jangan sampai Crisis Center ini justru menjadi masalah baru karena ULT kemarin pun masih kurang efektif. Sekarang kok malah justru ada pintu baru lagi?” ujarnya.
Adapun dalam isu disabilitas, Salsabilla khawatir pengadaan Crisis Center ini akan sama kondisinya dengan ULT. Ia menilai ULT selama ini masih belum bekerja secara efektif terhadap isu tersebut. Selain itu, ia juga menyayangkan pihak universitas yang hingga saat ini masih belum mengadakan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Padahal, menurutnya, “Undang-Undang secara eksplisit menyebutkan bahwa ULD bersifat wajib (di universitas).”
Diwawancarai pada waktu yang berbeda, Sigit pun turut berpendapat tentang Crisis Center ini. Menurutnya, pembentukan Crisis Center hanya akan memperpanjang birokrasi dan tidak menyelesaikan masalah yang ada. Ditambah, adanya fakta bahwa masih banyak fakultas yang belum menyediakan unit layanan penanganan kekerasan seksual dan kesehatan mental. “Seharusnya UGM memperbaiki layanan-layanan yang sudah ada dengan optimal serta benar-benar melibatkan mahasiswa untuk menjadi satgas di dalamnya,” ujar Sigit.
Dari segala polemik dan kekhawatiran tersebut, Gani berharap mahasiswa bisa benar-benar ikut andil dalam proses perencanaan Crisis Center dan tidak hanya sebatas mengerjakan hal-hal teknis. Selain itu, ia juga berharap agar UGM tidak lagi melempar tanggung jawabnya terkait isu disabilitas kepada UKM Peduli Difabel semata. “Mereka seharusnya hanya sebagai mitra dan fasilitator, bukan malah menjadi sosok utama dalam penanganan disabilitas di Crisis Center (nanti),” tegasnya.
Reporter: Sidney Alvionita Saputra
Penulis: Catharina Maida M, Elvira Sundari, dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Noor Risa Isnanto