Tangis Andayani pecah di tengah-tengah diskusi peluncuran buku karyanya yang berjudul Memburu Keadilan pada Rabu (11-01). Di sela-sela tangisnya, ia menarik napas panjang, lalu mengucapkan sebuah janji yang ditujukan kepada Andi Muhammad, anaknya yang menjadi korban salah tangkap klitih Gedongkuning. “Saya berjanji akan berjuang, tetapi saya tidak pernah menjanjikan dia akan bebas dengan praktik-praktik (penyogokan) seperti itu,” ujarnya dengan terisak kepada peserta diskusi.
Bertempat di Bjong Ngopi Janti, Yogyakarta, acara bertajuk “Memburu Keadilan: Anakku Korban Rekayasa Kasus Aparat” ini digelar sebagai lanjutan dari gerakan menuntut keadilan korban salah tangkap klitih Gedongkuning. Selain Andayani, diskusi ini juga menghadirkan Ita Fatia Nadia, Ketua Ruang Arsip Sejarah Perempuan. Adapun Hari Kurniawan selaku anggota Komnas HAM Republik Indonesia dan Herlambang Perdana Wiratman selaku dosen Fakultas Hukum UGM turut hadir di dalam diskusi ini sebagai pembicara.
Di awal acara, Andayani mengungkapkan bahwa rasa sakit atas ketidakadilan aparat merupakan alasan yang melatarbelakanginya untuk menulis buku Memburu Keadilan. Ia juga mengungkapkan alasan lain dirinya menulis buku tersebut, yakni sebagai catatan sejarah agar kejadian serupa tidak terulang lagi ke depannya. “Di buku ini, saya bercerita tentang bagaimana kami berjuang setelah mendengar pengakuan anak kami yang disiksa oleh aparat,” terangnya.Â
Andayani kemudian berbicara tentang situasi berhadapan dengan aparat yang pernah dialami dirinya sewaktu awal perkara. Ia mengatakan, aparat selalu menyulitkan dirinya untuk bertemu Andi dengan berbagai perizinan yang rumit dan tidak jelas asal aturannya. Selain itu, ia juga merasa dipermainkan oleh aparat, “Penyidik bilang, (dalam) delapan hari (saya) bisa bertemu dengan Andi, itu pun jika diizinkan Kapolsek.” Namun, kenyataan yang diterima Andayani tidak demikian.
Menyinggung ketidakadilan dalam proses penyidikan, menurut Hari, keterangan saksi tidak ada yang menjurus kepada semua tersangka, yakni para korban salah tangkap termasuk Andi. Ia malah mendapat temuan bahwa penyidik melanggar Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik. Menurutnya, aturan tersebut mengatur bahwa proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan tidak melanggar hukum. “Adanya penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan penyidik dalam kasus ini jelas melanggar hukum sehingga hak-hak korban harus dipulihkan,” ungkapnya.
Selain berbicara tentang situasi hukum yang dialami, Andayani juga turut bercerita tentang kondisi psikologisnya ke dalam buku yang ia tulis. “Pada satu titik, (saya merasa) jangan-jangan saya sudah depresi,” ungkap Andayani. Ia kemudian juga menjelaskan alasan lain dirinya menulis buku tersebut, yakni sebagai kesadaran terhadap kesehatan mentalnya. Dengan menulis, ia berharap dapat mengetahui tanda-tanda jika terjadi depresi sehingga bisa segera meminta pertolongan.Â
Setelah Andayani berbicara, Ita kemudian berkomentar terhadap buku yang ditulis ibu Andi ini. Menurutnya, buku ini tidak hanya akan menjadi catatan sejarah bagi masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat transformasi gerakan politik. Ita lantas mencontohkan caranya, yaitu dengan menyebarkan pengetahuan yang ada di dalam buku tersebut ke dalam bentuk selebaran. “Ini yang penting dan harus dipelajari, bagaimana mentransformasi pengetahuan untuk membentuk kesadaran publik melalui buku tersebut,” jelasnya.Â
Sejalan dengan Ita, Herlambang berpendapat bahwa buku karya Andayani dapat membawa pesan kecerdasan yang bisa menggerakkan publik. “Buku ini mengusik nurani untuk menggerakkan otak,” ungkapnya. Selain berkomentar terhadap buku, Herlambang juga mengatakan bahwa diskusi buku ini menjadi bagian penting dalam upaya memahami kasus untuk keberlanjutan gerakan.
Menuju akhir diskusi, Andayani menyampaikan niat untuk merevisi atau menambah bukunya dengan alasan masih banyak subtema yang bisa dikuliti lebih dalam. Ia mengaku belum menuliskan bagian seperti perlakuan bias hakim terhadap saksi dengan menyebut mereka seperti anak kecil yang berani berbohong. “Masih banyak sekali fakta yang kami temui (sehingga) kami tetap ingin melawan ketidakadilan ini,” tegasnya.Â
Terakhir, Andayani mengatakan bahwa buku tersebut adalah suara isi hatinya dalam memburu keadilan untuk Andi dan para korban salah tangkap lainnya. “Saya berjanji di hadapan diri dan Tuhan bahwa saya akan memperjuangkan ini sampai dunia berakhir,” pungkasnya.
Penulis: Ilham Maulana
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Ilham Maulana