Polri memang telah melakukan reformasi. Alih-alih membaik, Polri masih sama saja seperti dulu. Reformasi yang ada seakan hanya bualan tanpa hadirnya badan pengawas eksternal.
Sisa-Sisa Militer di Tubuh Polri
Belum habis dengan drama pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, publik kembali dikagetkan dengan tragedi Kanjuruhan. Ratusan nyawa suporter harus hilang karena kesalahan prosedur penanganan massa. Polisi, yang semestinya melindungi, justru menjadi aktor utama dalam peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola dunia tersebut.
Peristiwa tersebut menunjukkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selama ini tidak banyak berubah. Mereka masih saja menganggap diri mereka superior dengan senjata di tangan mereka. Reformasi Polri seakan hanya menjadi bualan. Alih-alih membaik, Polri masih sama seperti dulu.Ā
Muradi (2009) menyebutkan bahwa polisi Indonesia memiliki sejarah unik yang membedakannya dengan polisi di negara lain. Keunikan tersebut terletak dalam sejarah polisi Indonesia yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Peran tersebut melahirkan kecenderungan Polri mengadopsi pendekatan militer.
Pengadopsian nilai militer dalam tubuh Polri tidak berhenti pada masa mempertahankan kemerdekaan. Pada masa rezim Orde Baru (orba), polisi dan tentara digabung menjadi satu wadah dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dampaknya, budaya ala militer begitu mempengaruhi struktur, pola pikir, dan budaya kerja polisi. Bahkan, Sarah Siregar (2008) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan budaya antara polisi dengan ABRI. Keduanya sama-sama menganggap masyarakat sebagai musuh yang harus dilawan dengan kekerasan ala militer. Bahkan, dalam internal Polri sekalipun, budaya militer ini juga terlihat dari seringnya kekerasan senior terhadap junior dalam sekolah kepolisian.
Celakanya, meskipun setelah berakhirnya rezim orba telah dilakukan pemisahan antara Polri dengan Tentara Nasional Indonesia: alih-alih menghilang, bentuk-bentuk pendekatan militeristik yang dilakukan anggota Polri masih saja terus terjadi (Muradi, 2009). Kuatnya budaya militer dalam tubuh Polri jelas menunjukkan suatu kesalahan yang sudah terlanjur mengakar kuat pada tubuh Polri. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep polisi dalam negara demokrasi yang semestinya menjadi polisi sipil, yakni jauh dari unsur-unsur militer.
Meskipun sama-sama memiliki kewenangan memegang senjata, polisi bukanlah militer (Muradi, 2009). Polisi, apapun keadaannya, merupakan bagian dari masyarakat sipil yang menanggung peran dalam ketertiban masyarakat. Konsep dasar tersebutlah yang seringkali dilupakan polisi Indonesia yang sudah terlanjur dininabobokan oleh budaya militer yang jauh dari masyarakat.
Kegagalan Reformasi Sebelumnya
Polri sejatinya telah mengupayakan adanya reformasi dalam tubuhnya. Setidaknya, semangat reformasi tersebut muncul pasca-disahkannya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menjadikan Polri sebagai lembaga tersendiri di luar ABRI. Reformasi tersebut dilakukan dengan meredefinisi jati diri Polri melalui demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi, defeodalisme, dekorporatisasi, debirokratisasi, serta dengan membangun kepercayaan masyarakat. Selain itu, reformasi dalam tubuh Polri juga meliputi aspek instrumental, yakni dengan terbitnya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebutĀ menjadi cetak biru bagi anggota Polri dalam melayani masyarakat dengan mengedepankan prinsip-prinsip HAM.
Reformasi Polri juga terejawantahkan dengan berdirinya lembaga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga ini memiliki fungsi sebagai lembaga independen dengan tupoksi pengawasan terhadap kinerja Polri. Upaya-upaya tersebut jelas menunjukkan komitmen Polri dalam mengubah wajahnya menjadi polisi sipil. Jacqui Baker (2022), dalam sebuah wawancara bersama Pares.id, mengatakan bahwa terlalu naif apabila upaya-upaya yang dilakukan Polri dalam mereformasi dirinya tidak menunjukkan perbaikan sama sekali.
Polri memang telah melakukan upaya reformasi dan menjadi lebih baik. Namun, dalam kenyataannya, reformasi yang sudah dilakukan selama ini belumlah cukup. Pendekatan militeristik yang sudah terlalu mendarah daging menyulitkan lembaga ini mereformasi dirinya secara keseluruhan. Gofrid Hutapea (2016) menyoroti pendeknya jarak antara TAP MPR/VI/2000, yang merupakan landasan awal pemisahan ABRI, dengan terbitnya UU No. 2 Tahun 2002. Artinya, Polri hanya memiliki waktu kurang dari dua tahun untuk menyiapkan dirinya sebagai lembaga yang bebas dari militer.Ā
Dalam kehidupan sehari-hari, rasanya berita kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi kerap ditemui. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep polisi sipil yang semestinya melindungi masyarakat, bukan menjadikannya sebagai musuh. Keadaan ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam tubuh Polri yang sekaligus menunjukkan kegagalan Polri dalam mereformasi dirinya. Kompolnas yang semestinya menjadi lembaga yang mengawasi kinerja Polri juga tidak mampu banyak bekerja. Bukannya mengawasi, Kompolnas justru hanya menjadi pembela Polri dari kritikan publik (Muradi 2019).
Sebuah analisis dari Fogelson (dalam Muradi, 2009) menyebutkan bahwa paria kompleks menjadi akar penyebab bejatnya tindakan polisi. Paria kompleks merupakan perasaan berada dalam kasta terendah di masyarakat. Perasaan tersebut muncul pada anggota polisi karena tuntutan pekerjaan sehari-hari mereka yang harus membersihkan hal-hal yang kotor.Ā Akibatnya, polisi yang tidak puas terhadap kondisi tersebut memilih untuk bertindak menyimpang sebagai bentuk pelampiasan terhadap beban pekerjaan mereka yang kotor.
Padahal, sebagaimana ditulis oleh Mercedes Hinton dan Tim Newburn (2009), polisi merupakan representasi paling konkret dari hubungan antara warga dengan negara karena tingginya interaksi antara polisi dengan masyarakat. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya apabila polisi yang selalu berinteraksi dengan masyarakat justru bertindak brutal dengan menjadikan masyarakat sebagai musuh. Selama Polri masih menjadikan masyarakat sebagai musuh, maka selama itu pula reformasi Polri dianggap gagal.
Rujukan untuk Reformasi
Sejak runtuhnya orba hingga sekarang, segala daya reformasi Polri hanya berasal dari dalam badan institusi itu sendiri. Jacqui Baker (2022) menyatakan bahwa reformasi yang hanya bersifat internal ini dapat menjadi titik perbaikan ke depannya. Agar terlaksana reformasi yang sungguh berbuah, diperlukan badan pengawas independen yang turut mengawal upaya reformasi Polri.
Ide ini tidak begitu baru. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono memiliki gagasan yang sama dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melalui Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005. Komisi ini sebenarnya memiliki prinsip utama yang mendekati asas teori democratic policing milik Otwin Marenin (2005), yaitu untuk menciptakan akuntabilitas. Salah satu misi Kompolnas adalah untuk membangun saluran keluhan dan saran dari masyarakat atau, dengan kata lain, menciptakan rasa akuntabilitas di tengah masyarakat. Marenin (2005) juga menyebutkan dua asas lain untuk terciptanya kepolisian yang demokratis, yakni legitimasi dan profesionalisme. Dua asas ini juga hampir sehaluan dengan visi Kompolnas untuk āmewujudkan Polri yang profesional dan mandiri.ā
Kompolnas, sejauh ini, merupakan lembaga reformasi kepolisian paling progresif di Indonesia. Namun, hal ini bukan berarti Kompolnas telah mencapai bentuk yang ideal, jauh dari itu. Kompolnas sebenarnya lebih cocok untuk disebut sebagai badan pengawasan polisi yang semu karena ia tidak memiliki wewenang untuk memberikan penilaian ataupun melangsungkan investigasi atas kinerja kepolisian. Hal ini terjadi lantaran, secara yuridis, Kompolnas memang dirancang sebagai lembaga penasehat (advisory) dan bukan lembaga pengawasan (oversight). Pada praksisnya, Kompolnas hanya bertugas sebagai badan yang mengumpulkan keluhan-keluhan masyarakat mengenai kepolisian. Tugas tersebut sebenarnya bisa dilakukan oleh kepolisian sendiri (Wibowo 2012; Siregar 2016).Ā
Dengan terbentuknya Kompolnas, sudah terlihat adanya iktikad untuk dilakukannya reformasi polisi di Indonesia. Iktikad tersebut perlu dibersamai dengan upaya membentuk kekuatan polisi dengan badan pengawasan eksternal yang demokratis. David H. Bayley (2006) berargumentasi bahwa terdapat beberapa praktik penting yang perlu dilakukan demi terciptanya kekuatan polisi yang demokratis secara aktual. Dua dari praktik-praktik tersebut adalah akuntabilitas eksternal dan respon terhadap publik. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, akan tercipta efektivitas dalam keamanan publik dan juga keadilan dalam operasional. Akuntabilitas yang dimaksud berarti tugas tanggung jawab yang harus menjadi kebiasaan, budaya, dan etos kepolisian; bukan semata-mata sebagai reaksi akan mekanisme pengawasan institusional.
Dalam implementasinya, hal ini berarti mendorong polisi Indonesia untuk melahirkan tata kelola kepolisian yang baik (good police governance). Villaveces-Izquierdo (2010) mengajukan beberapa prinsip yang dapat menjadi pedoman. Hampir semua prinsip tersebut berbasis pada konsep akuntabilitas oleh masyarakat sipil. Maka, dalam tahap reformasi polisi selanjutnya ini, perlu pembentukan ikatan fungsional yang kuat antara Polri, Civil Society Organization (CSO), peneliti, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) demi menciptakan pondasi kerangka reformasi yang kokoh.
Satu ikhtiar yang dapat digenggam oleh masyarakat sipil Indonesia adalah konsep kontrol publik terhadap institusi kepolisian. Rizal Sukma dan Edy Prasetyono (2003) menuliskan bahwa konsep tersebut menuntut adanya pengawasan sipil (civil oversight) dan kontrol politik (political control) yang efektif. Dalam kasus Indonesia, dua aktor menjadi sangat penting dalam mewujudkan kontrol publik terhadap polisi: pemerintah sipil (termasuk parlemen dan partai politik) dan masyarakat sipil. Di dalam masyarakat sipil sendiri, perlu digaris bawahi pentingnya elemen-elemen esensial untuk turut mengambil bagian, terutama media massa, CSO, dan cendekiawan.
Selanjutnya, perlu dibentuk badan pengawasan Polri yang bersifat eksternal dan independen, tidak seperti Kompolnas yang sebenarnya hanya kotak saran akbar tanpa wewenang untuk membawa perubahan. Badan pengawasan ini secara konstitusional harus dirancang sebagai badan oversight, bukan hanya advisory. Badan tersebut juga perlu diberikan wewenang penuh untuk menjalankan investigasi independen terhadap kinerja Polri secara keseluruhan. Dalam melaksanakan tugasnya, badan ini juga harus berakar dari masyarakat sipil dan memiliki alur pertanggungjawaban yang jelas. Dengan demikian, seluruh elemen masyarakat, seperti CSO, media massa, dan LBH dapat menjalankan haknya sebagai kontrol publik yang efektif.
Toh, Polri pasca reformasi telah memiliki kerangka legal berupa pedoman-pedoman reformasi dan Undang-Undang yang mumpuni untuk terciptanya badan pengawasan polisi yang demokratis (Villaveces-Izquierdo, 2010). Permasalahannya terletak pada implementasi dari kerangka tersebut yang belum terwujud hingga sekarang. Akan tetapi, mungkin, badan ini tidak jauh dari mata. Masyarakat yang semakin sadar akan tindakan represif Polri memicu terpantiknya semangat untuk melanjutkan reformasi. Hal ini menciptakan tekanan bagi legislator untuk membentuk dan melibatkan masyarakat sipil dalam upaya reformasi Polri.
Bukan berarti badan penasehat seperti Kompolnas tidak penting. Namun, absennya badan pengawasanlah yang membuat reformasi Polri selama ini tidak efektif. Tanpa adanya badan pengawasan eksternal, kontrol publik akan tetap berada dalam ranah teori saja. Kepolisian akan tetap berkutat dalam ceruknya sendiri, mengerjakan tugas-tugas rutin tanpa mengindahkan kontrol publik. Inilah alasan mengapa badan pengawasan eksternal, independen, dan demokratis perlu dibentuk sebagai bagian dari reformasi Polri.
Penulis: Irvan Fadhil dan Gabriel Jovan (Magang)
Penyunting: Rafi Akmal Raharjo
Ilustrator: Muhammad Ilham Kholid (Magang)
Daftar Pustaka
Bayley, David H. 2006. Changing the Guard: Developing Democratic Police Abroad. Oxford University Press.
Hinton, Mercedes S, and Tim Newburn. Policing Developing Democracies. London: Routledge, 2008
Hutapea, Gofrid. “Hoegeng, Patron Metamorfosis Perilaku Polisi di Indonesia.” Jurnal Ilmu Kepolisian (2016): 224-235.
Marenin, Otwin. āBuilding a Global Police Studies Community.ā Police Quarterly 8 (2005): 99ā136.
Muradi. Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Nuraini, Sarah. Pencapaian Reformasi Instrumental Polri Tahun 1999-2011. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2017.
Siregar, Sarah Nuraini. 2016. āEvaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri.ā Jurnal Penelitian Politik 5 (1): 47ā58.
Sukma, Rizal, and Edy Prasetyono. Security Sector Reform in Indonesia: The Military and the Police. The Hague: Netherland Institute of International Relations, 2003.Ā
Villaveces-Izquierdo, Santiago. āBuilding Internal and External Constituencies for Police Reform: An Indonesian Case Study.ā International Journal of Police Science & Management 12 (2010): 183ā94. https://doi.org/10.1350/ijps.2010.12.2.184.
Ā Komisi Kepolisian Nasional. āVisi, Misi Dan Tujuan Kompolnas.ā diakses 25 November 2022, https://web.archive.org/web/20140528024055/http://www.kompolnas.go.id/kompolnas/visi-misi-dan-tujuan-kompolnas/.
Wibowo, Catur Cahyono. āKebijakan Strategis Guna Mengoptimalkan Peran KOMPOLNAS Dalam Mempercepat Reformasi POLRI.ā M.H Tesis, Universitas Diponegoro, 2012.