LUMUT
suatu saat ingin kutemukan
wajahmu menghijau
meski lumut menghitamkan tatapanku
adalah air bening mengalir di pipimu
bagai seonggok rindu
yang menyudahi kegelisahanku
PB, 2022
SELINTAS RAUT WAJAH
ingatanku retak
bingkai aksara menguliti tradisi
bayanganmu samar memanggil
bukankah puisiku tak lagi berdetak
serupa darah mengalir di jantungmu
meski terkadang ada denyut nadimu
di dalam bait-baitku
semua hitam legam
mengendap seperti garis-garis cahaya
aku meraba dan menulis di daun kering
bayangan wajahmu telah pergi
melintasi angin
mungkin menjelma raut bidadari
di penantian baru
kelak kutulis dalam puisi tanpa aksara
PB, 2022
PIGURA HIDUP
secepat hari-hari berlari
tinggalkan musim
membiarkan kata-kata terluka
menuju pedihnya sunyi
seakan bergegas
bergolak dalam tempayan waktu
bahwa rindu tak sesederhana
seperti lisan mengucapkan
dan kita biarkan
cinta itu kian rumit
hanya menjadi catatan
dalam pigura hidup
PB, 2022
TUJUH API
: untuk ibuku
ada yang hilang dari ingatanku
itu, wajahmu ibu
ada yang pergi dari waktuku
itu, senyumanmu ibu
tujuh api tidaklah cukup
untuk membakar kegelisahanku
meski seribu cahaya berkebat di balutan rindu
haruskah kuhimpun
tentang seberapa banyak mimpi
yang menceritakan penatmu, ibu
kupacu urat nadiku dengan segumpal keringat
dari labirin doa
tatkala langit mengeja luka
dan waktu telah menyimpannya
saat matahari tak mampu lagi
menggaris cahaya-cahaya aksara
menuntun mataku di kegelapan
hingga puisiku berkali-kali meraba
bayangan wajahmu di guratan mimpi
PB, 2022
EPITAF DUKA
pagi menggeliat
di retak kaca-kaca mimpi
sepasang cahaya selonjorkan cemas
dari tidur, yang tak pernah diam
menafsirkan ingatan
bahwa sosok samar
telah menyodorkan panasnya matahari
menjemput mata kita di bening pagi
setelah kita menelanjangi malam
seperti paragraf liar
matahari tak pernah ingkar
melintasi orbit timur dan barat
meski kaki kita sempoyongan
memisahkan rindu dan gelisah
sesungguhnya kita hanya pemurka waktu
yang tengah duduk melukis duka
PB, 2022
ARTEFAK LUKA
: untuk Umbu Landu Paranggi
tikamlah aku dengan sajakmu
di sehelai daun berkebat tinta
biarkan sajakku merintih
dengan luka terbakar
karena hanya itu
yang membuat darahku mengalir
membasahi kegelisahan pusaramu
PB, 2022
JEJAKMU
dua larik puisi mengalir deras
di ceruk sungai dangkal menjelma kata
kutulis di sehelai ingatan
sebab ingin kueja namamu
yang mulai luntur dan kusam
lapuk diselimuti hujan dan panas
hingga embun tak lagi sebening air matamu
berserakan menjadi luka di tanah-tanah ini
terpasung di bingkai sudut jalanan
ingin kubuka catatan masa lalu
agar lampu-lampu redup membaca jalan
biarkan catatan itu tetap duduk
meski kata-kata beranjak dan punah
akan kuruncingkan pena
keringatku mengucur deras
seakan itu sebuah perjuangan
dan esok kuceritakan
hari-hari yang menyimpan jarak
kini, matahari makin melangit
dedaunan luruh dan gugur
seakan ucapkan rindu
di selembar kematian
menemani kesunyianmu
dikala satire begitu letih
menjadi ritmis doa di penggalan waktu
haruskah puisiku menguliti diri
memutihkan tulang-tulang tanganku
dan berteriak lantang di antara nyanyian simphoni
atau harus bersembunyi di antara kabut awan
agar hujan nyanyikan rindu
dimana jejakmu menanti
untuk membasuh kemarau yang memanteli pusaramu
dalam penantian panjang
PB, 2022
Vito Prasetyo
Pernah kuliah di IKIP Makassar, bergiat di sastra sejak 1983. Karya sastra telah dimuat di puluhan media cetak, termaktub dalam puluhan Buku Antologi. Beberapa kali jadi juara dan nominasi Lomba Cipta Puisi tingkat nasional.
1 komentar
Terima kasih tim redaktur