Di bilik-bilik suara pemilihan umum, kita diberi kesempatan untuk memilih wakil rakyat. Namun, proses pemilihan, sebelum sampai di surat suara, masih banyak meninggalkan catatan.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menganut asas demokrasi. Berkaitan dengan hal itu, pemilihan umum (pemilu) menjadi sebuah instrumen penting dalam rangka memperlancar pemindahan kekuasaan. Dalam sejarah peradaban manusia, pemindahan kekuasaan hampir selalu menimbulkan pertumpahan darah yang dapat berujung pada perpecahan, seperti yang terjadi di Majapahit. Wahyudi (2013) menjelaskan, pertumpahan darah di Majapahit muncul karena persekongkolan dan pertikaian di antara keluarga pewaris takhta kerajaan. Bahkan, dalam kasus ekstrem, pertumpahan darah seperti ini bisa menjadi perang dunia, sebagaimana halnya Perang Dunia I. Ketiga pemimpin yang berpartisipasi dalam perang tersebut, yakni Raja George V dari Inggris, Kaisar Jerman Wilhelm II, dan Tsar Nikolai dari Rusia adalah saudara sepupu.
Isayama (2016) menuturkan bahwa pemilu hadir sebagai solusi atas pertumpahan darah tersebut. Kelompok-kelompok yang pada awalnya berebut kekuasaan dengan mengangkat senjata bertransformasi menjadi partai politik yang berusaha meraup suara. Dengan pemilu, legitimasi seorang politisi dapat diperoleh tanpa berbunuh-bunuhan. Meskipun demikian, pemilu di Indonesia masih menyisakan banyak catatan yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Sistem Pemilu Presidensial
Secara umum, pemilu dalam sistem presidensial memiliki tiga jenis sistem yang paling sering digunakan, yakni sistem proporsional, distrik (plurality dan majority), serta campuran. Indonesia menerapkan sistem pemilihan umum proporsional atau sering disebut juga sebagai sistem perwakilan berimbang (Putri, 2019). Jumlah kursi yang diperebutkan pada sistem proporsional di setiap daerah pemilihan seimbang dengan jumlah penduduk yang ada. Setelah itu, kursi yang tersedia diperebutkan oleh partai/golongan politik sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh.
Sistem pemilihan umum proporsional dapat dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon anggota legislatif yang ia kehendaki untuk duduk sebagai anggota dewan. Keputusan tentang siapa yang menjadi anggota dewan berada di tangan pemilih. Meskipun demikian, sistem ini berpotensi menimbulkan kontestasi antar kandidat di internal partai sehingga partai politik rawan terpecah-belah. Suara yang diberikan oleh pemilih dengan mencoblos satu nama calon juga memengaruhi kesempatan partai calon tersebut dalam memperoleh kursi (Putri, 2019). Sistem pemilu proporsional terbuka diterapkan di Indonesia pada 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Jenis kedua adalah sistem proporsional tertutup. Sistem ini hanya memberikan kesempatan bagi pemilih untuk mencoblos partai politik saja. Keputusan mengenai siapa anggota partai politik yang akan menjadi anggota dewan ada di tangan partai. Meskipun mengurangi keterlibatan para pemilih dalam penentuan calon anggota dewan, sistem proporsional tertutup memperkuat partai politik sebagai sebuah institusi demokrasi. Hal ini juga mengurangi kemungkinan adanya transaksi jual beli suara antara calon, pemilih, dan penyelenggara pemilu. Sistem ini pernah digunakan di Indonesia pada pemilu tahun 1955 dan masa Orde Baru.
Dengan sistem pemilihan proporsional, partisipasi dari para pemilih menjadi kunci kesuksesan dari pelaksanaan pemilihan. Setiap warga negara, yang telah memenuhi syarat, memberikan suaranya kepada para calon wakil rakyat di daerah pemilihannya masing-masing. Selain menentukan keberhasilan calon wakil rakyat dalam menduduki kursi politik, suara tersebut juga merupakan bentuk legitimasi atas kekuasaan yang diperoleh oleh wakil rakyat terpilih.
Relasi Lemah, Masyarakat Terbelah
Dengan sistem pemilu yang sekarang, setiap partai berlomba-lomba untuk meraup basis pemilih sebanyak-banyaknya. Di Indonesia, partai politik menjadi partai catch all yang berusaha mendapatkan suara sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan siapa yang memberikan suara. Ia tidak lagi menjadi partai massa yang mewakili suatu ideologi beserta para penganutnya. Hal ini menyebabkan hubungan antara politisi dengan konstituennya menjadi lemah karena partai memprioritaskan kuantitas pemilih dibandingkan kualitas pemilih.
Relasi yang lemah ini menyebabkan para pemilih untuk tidak jarang memilih representasi politik mereka bukan atas dasar pengetahuan mengenai rekam jejak, pengalaman, atau pencapaian calon-calon representasi politik tersebut, melainkan sebatas atas dasar sentimen-sentimen semata. Inilah yang menjadi alasan utama bagi fenomena ketidaktahuan pemilih atas kredibilitas representasi politiknya.
Ketidaktahuan pemilih akan siapa yang dia pilih akan membuat pemilih hanya akan terombang-ambing dengan sentimen-sentimen yang diciptakan oleh kalangan tertentu untuk menyingkirkan lawan politiknya. Sentimen yang umum dilontarkan adalah sentimen yang berkaitan dengan etnis, suku, agama, atau ras. Contohnya, pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan pemilihan Presiden 2019. Fenomena merupakan hasil dari dominasi populisme kanan.
Di samping berbagai sentimen yang tercipta, ketidaktahuan ini pun hanya menguntungkan politisi petahana. Politisi petahana dapat memanfaatkan ketidaktahuan pemilih untuk meningkatkan kredibilitasnya supaya mereka dapat terpilih kembali di pemilu selanjutnya. Akses dan sumber daya yang mereka miliki terhadap seluruh sistem birokrasi di bawahnya membuatnya mudah menciptakan citra positif di hadapan para konstituen. Alhasil, representasi politik lain yang tidak memiliki akses birokrasi akan sulit untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan.
Infiltrasi Politik Uang
Fenomena ketidaktahuan dalam memilih representasi politik juga dapat ditarik dalam praktik-praktik politik uang yang marak digunakan dalam “membeli” suara rakyat. Menurut Scott (1972, dalam Tjahjoko, 2020), dalam pelaksanaan pemilihan umum, kandidat akan bertindak sebagai patron yang memberi keuntungan kepada orang-orang (klien) yang biasanya memiliki status ekonomi dan sosial yang lebih rendah daripada si patron. Sebagai gantinya, klien-klien itu akan membayar “kemurahan hati” patronnya dengan dukungan dan hak pilih mereka.
Bentuk dari keuntungan ini dapat berupa barang, uang, atau jasa yang dapat merayu para pemilih untuk menyerahkan suara mereka kepada si patron. Uang dan barang lebih sering dipakai. Tentu, demi efisiensi model patronase di atas, peranan tim sukses atau broker lantas menjadi vital dalam agenda “pembelian suara” tersebut. Merekalah yang nantinya membantu para kandidat untuk mengantarkannya menuju jabatan politik yang dikejar. Dalam persaingan pemilihan representasi politik yang lebih besar, layaknya pemilihan legislatif, kecilnya jumlah kursi yang berbanding terbalik dengan jumlah kandidat yang maju memberi insentif lebih bagi kandidat untuk berkecimpung dalam praktik politik uang ini (Aspinall dan Sukmajati, 2015).
Praktik “beli suara” ini telah menjadi sebuah budaya yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Bukan sebuah keanehan untuk menganggap bahwa banyaknya barang dan uang yang diberikan kandidat terhadap masyarakat berbanding lurus dengan jumlah simpati dan suara yang akan ia terima. Aspinall dan Sukmajati (2015) menekankan adanya faktor-faktor, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kurangnya pengetahuan yang berperan dalam langgengnya budaya ini. Kenyataan ini lantas memberikan keraguan terhadap pelaksanaan demokrasi —spesifiknya dalam pemilihan representasi politik—di Indonesia. Angka partisipasi pemilihan umum memang meningkat, tetapi makna partisipasi rakyat hilang dibeli uang.
Sejatinya, peran rakyat dalam tatanan politik yang menjunjung asas demokrasi sangatlah diperlukan demi keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Peran ekstensif rakyat dalam demokrasi tidak hanya terbatas pada kotak suara saja. Partisipasi politik mereka dapat diterjemahkan sebagai usaha-usaha untuk menyuarakan pendapat tentang tata kelola negara dan komponen-komponennya. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kontrol terhadap pemerintahan. Misalnya, suara rakyat tentang kesenjangan sosial yang kian menajam, praktik birokrasi pengurusan dokumen-dokumen esensial seperti Akta Tanah yang bertele-tele, dan sebagainya. Dengan demikian, rakyat menjadi awas terhadap situasi politik yang dialaminya. Namun, rasa tidak suka dan antipati dari pemerintah dapat timbul karena partisipasi rakyat tersebut. Dengan anggapan bahwa, suara-suara itu akan menghambat kelancaran kinerja pemerintah jika harus didengar dan disetujui satu per satu (Almond dan Verba, 2015). Tidak jarang, tindakan-tindakan represif diambil untuk meredam suara-suara tersebut.
Geliat Masyarakat Sipil
Menanggapi dilema ini, ilmuwan asal Amerika Serikat, Gabriel Almond dan Sidney Verba (1989) mengemukakan konsep berbasis penelitian empiris mengenai budaya partisipatif rakyat tersebut, yang dinamai budaya sipil (civic culture). Dalam budaya ini, partisipasi rakyat tetap ditekankan, tetapi ada kalanya rakyat menerima kebijakan-kebijakan yang mungkin bertentangan dengan kemauan mereka. Menurut Almond dan Verba (2015), hal ini dapat menciptakan sebuah keselarasan antara kontrol publik serta efektivitas pemerintahan, yang akan berbuah pada stabilitas demokrasi. Perlu dicatat bahwa, rakyat bukan berarti dapat abai terhadap peristiwa-peristiwa politik yang ada, apalagi yang menyangkut hal-hal krusial seperti permainan “beli suara” yang telah dibahas di atas.
Berkaca kepada masalah pemilihan representasi politik yang tak dikenal, langgengnya praktik politik uang tersebut menjadi hal yang mengkhawatirkan. Memilih representasi politik merupakan salah satu bentuk konkret paling sederhana dari bentuk penyaluran suara rakyat sekaligus menjadi kesempatan bagi rakyat untuk memilih kandidat-kandidat yang mereka nilai cakap dan becus mengurus negara beserta komponen-komponennya. Biarpun sederhana, tetapi hal ini penting demi memastikan berlangsungnya demokrasi di Indonesia. Maka dari itu, pembiaran terus-menerus terhadap keberadaan praktik “beli suara” dan penjualan SARA dalam meraup suara ini tidak bisa dianggap remeh. Sebab, pembiaran ini merupakan cerminan dari budaya politik yang abai terhadap kondisi politik yang ada. Langgengnya praktik ini nantinya juga akan berdampak pada terpilihnya representasi politik yang patut dipertanyakan integritasnya, jika logika yang digunakan adalah siapa yang berhasil “memikat” hati mayoritas konstituen, dengan uang dan barang, maka merekalah yang akan mendapatkan jabatan pemerintahan lewat pemilihan umum. Hal tersebut memberikan secercah keraguan tentang kinerja mereka nantinya di pemerintahan.
Penulis: Aldi Haydar Mulia, Ardy Mahdi Nugroho
Penyunting: Dimas Aditya Wicaksono
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati
Daftar Pustaka
Aspinall, E. dan Sukmajati, M. “Patronase dan Klientelisme dalam Politik Elektoral di Indonesia,” dalam Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, ed. E. Aspinall & M. Sukmajati (PolGov, 2015), 1-49.
Almond, G. dan Verba, S. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Pennsylvania: Princeton University Press, 2015.
Ishiyama, J. “From bullets to ballots: the transformation of rebel groups into political parties.” Democratization 23, no. 6 (2016): 969–971. https://doi.org/10.1080/13510347.2016.1189905
Masoed, M. dan Savirani, A. “Financing Politics in Indonesia.” PCD Journal 3, no, 1-2, (2011): 63—94. Diakses dari https://pdfs.semanticscholar.org/0e62/03f689823c61bd90abfa8f931c450374be14.pdf
Munjid, Achmad. “Politik Tanpa Ideologi, Politik Tukang Obat,” 6 November 2019. Diakses dari https://tirto.id/politik-tanpa-ideologi-politik-tukang-obat-ek6J
Putri, Arum Sutrisni, “Perbedaan Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional,” Kompas.com, 20 Desember 2019. Diakses dari https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/20/090000069/perbedaan-sistem-pemilu-distrik-dan-proporsional
Supriatma, Made. “Pasang Naik Populisme Kanan?” IndoPROGRESS, 12 Desember 2017. Diakses dari https://indoprogress.com/2017/12/pasang-naik-populisme-kanan/
Tjahjoko, G. T. “Fighting Money Politics and Shamanic Practices in Indonesia.” Jurnal Politik 5, no. 2 (2020): 169–198. https://scholarhub.ui.ac.id/politik/vol5/iss2/7/
Wahyudi, D. Y. “Kerajaan Majapahit: dinamika dalam sejarah Nusantara.” Jurnal Sejarah dan Budaya 7, no. 1 (2015): 88-95.
Wirayudha, Randy, “Konflik Keluarga dalam Perang Dunia,” terakhir diperbarui 9 November 2018. https://historia.id/militer/articles/konflik-keluarga-dalam-perang-dunia-v5E73/page/1