Jika Tuhan ada dan mengeluarkan perintah yang diketahui tentang moral, mengapa manusia secara moral dituntut untuk mematuhinya? Klaim Tuhan sebagai pemberi moral terpeyorasi menjadi justifikasi atas tindakan berlandaskan “kehendak” Tuhan.
Pendahuluan
Pembunuhan dilanggengkan, kekerasan dinormalkan; atas nama Tuhan. Socrates dibunuh karena diskusinya dengan kaum muda dianggap mengancam ajaran teis pada masa itu. Beralih ke Timur Tengah, Al-hallaj dibunuh atas pembelaannya terhadap kaum non-muslim (Morgan, 2013). Kedua pembunuhan itu terlegitimasi benar secara moral karena sama-sama mengancam kepercayaan teis pada masa itu. Ah, sial. Berarti, diperbolehkan bila atas nama Tuhan?
Sepanjang sejarah, telah ditemukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan atau keyakinan dalam beragama sebagai pandangan hidup rentan dipolitisasi dan menjadi masalah besar kehidupan bernegara. Politisasi agama hadir dengan melegitimasi agama sebagai sumber yang paling benar dalam mengatur kehidupan moral manusia. Politisasi agama menghasilkan bentuk legislasi agama, yang nantinya, berimplikasi pada diskriminasi dan konflik (Fox, 2018: 118).
Kepercayaan kepada Tuhan atau keyakinan beragama sebagai pandangan hidup memiliki masalah sendiri dalam praktiknya. Masalah tersebut ditemukan melalui temuan studi historis konflik berbasis identitas agama. Dalam sebuah studi tentang perang saudara antara tahun 1990 dan 2014 (Fox, 2018: 117–119), ditemukan bahwa dalam 44 perang saudara; perbedaan kepercayaan/keyakinan kepada Tuhan menjadi alasan konflik terus berjalan. Keyakinan agama menjadi klaim yang lebih tinggi daripada klaim oleh kelompok yang diatur di sepanjang garis etnis, linguistik, atau budaya. Perintah Tuhan menjadi superior dibandingkan dengan norma-norma perilaku kewarganegaraan.
Lantas, apakah agama dan keyakinan kepada Tuhan menjadi hal penting untuk memperoleh nilai moral baik? Melalui penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2019, ditemukan bahwa penduduk Indonesia memercayai bahwa keyakinan terhadap Tuhan diperlukan untuk menghasilkan nilai yang baik. Penelitian ini bertolak pada pernyataan, “Perlu percaya pada Tuhan untuk bermoral dan memiliki nilai yang baik.” Hasilnya menunjukkan bahwa penduduk Indonesia, dibanding 34 negara dari 6 benua, menduduki peringkat tertinggi dalam menyetujui pernyataan tersebut. Namun, data ini bertolak belakang dengan penelitian lainnya dalam tahun yang sama. Penelitian lain dari Nathanael Gratias Sumaktoyo yang mengutip riset Religion and State Project oleh Jonathan Fox, menunjukkan bahwa tingkat diskriminasi oleh negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Kejatuhan Soeharto juga memperburuk legislasi agama, seperti pembentukan produk hukum yang mengatur kehidupan beragama, dan memperparah diskriminasi sosial terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas.
Moralitas religius menjadi pelik dan sering kali gagal menghadirkan perdamaian serta keadilan. Selalu ada konflik di balik konflik (Fox, 2018: 118). Oleh karena itu, apakah sebenarnya Tuhan yang terlegitimasi dalam agama menjadi sumber penting atau signifikan untuk mengatur moralitas manusia? Atau sebenarnya, anggapan terhadap moralitas religius justru tidak logis atau insignifikan terhadap keseharian manusia?
Dilema dalam Moralitas Religius
Moralitas merupakan elemen penting yang ada di dalam etika. Topik pembahasan etika mengalami perkembangan terus-menerus karena manusia, sebagai subjek yang mengafirmasi etika, terus memodifikasi etika. Moral dapat didefinisikan sebagai suatu objek atau standar penting dalam teori-teori etika (Gert dan Gert, 2002). Hasil utama dari etika adalah standardisasi moral yang saling beririsan antarteori, walaupun berbeda target agen atau permasalahan moralitasnya. Misalnya, utilitarianisme dan deontologi memiliki pendekatan yang berbeda untuk memandang etika, tetapi keduanya memiliki tujuan untuk mencapai standar moral menurut pandangannya masing-masing.
Secara historis, argumentasi tentang moral mengalami perdebatan panjang dan berkesinambungan. Salah satu topik penting yang mencakup perdebatan tersebut adalah perdebatan etika religiositas. Pertanyaan yang paling umum muncul adalah apakah moralitas berasal dari Tuhan? Atau moralitas hadir pada dirinya sendiri dan terlepas dari eksistensi Tuhan?
Pemikiran ini sudah hadir sejak masa Yunani Antik, saat Socrates hendak dijatuhi hukuman mati, ia melakukan percakapan dengan Euthyphro sebelum kematiannya. Keduanya dijatuhi hukuman mati karena kebenaran yang mereka bela. Socrates menyebarkan pemikiran ke pemuda Yunani. Euthyphro memperjuangkan keadilan dari kasus pembunuhan.
Percakapan mereka menjadi dialog terkenal yang disebut the Euthyphro dilemma ‘dilema Euthyphro’. Dilema ini muncul seiring pertanyaan Socrates kepada Euthyphro, yakni, “Apakah sesuatu yang dicintai Tuhan, dicintai karena ia suci atau sesuatu itu menjadi suci karena dicintai Tuhan?” Secara lugas, bisakah seseorang menjadi benar pada dirinya sendiri? Atau, perlukah ada Tuhan sebagai pemberi dan penilai dari kebenaran itu sendiri? Dilema Euthyphro ini melahirkan beberapa pertanyaan dalam diskursus moralitas religius, seperti bisakah Tuhan membuat yang benar menjadi salah, atau yang baik menjadi buruk? Lalu, apakah moralitas itu seperti apa yang Tuhan kehendaki atau apakah moralitas adalah sesuatu yang terlepas dari Tuhan? (Austin, 2022; Lacewing, 2014).
Dilema Euthyphro merujuk kepada suatu konsepsi yang bercabang dalam ranah etika. Manusia modern banyak yang menyangkal Tuhan, tetapi sangatlah sulit untuk menegasikan eksistensi Tuhan apabila manusia masih ingin menemukan suatu kesebangunan kehidupan (Forrest 1989: 1–2). Perdebatan tentang pentingnya eksistensi Tuhan dalam ranah etika berimplikasi adanya dua kutub pandangan. Pandangan pertama menganggap eksistensi moral hanya muncul dengan kehendak Tuhan. Jika kebenaran moral Tuhan berpangkal pada eksistensi Tuhan, maka jika Tuhan menghendaki apa yang salah secara moral, hal itu bisa menjadi benar. Misalnya, jika Tuhan memerintahkan kita untuk membunuh bayi, maka membunuh bayi akan menjadi benar secara moral. Pandangan kedua menganggap eksistensi moral muncul terlepas dari kehendak Tuhan. Jika eksistensi moralitas terlepas kehendak Tuhan, maka Tuhan tidak dapat membuat yang salah menjadi benar. Pandangan ini berpusat pada anggapan bahwa sesuatu tidaklah perlu menjadi baik atau buruk hanya melalui kehendak Tuhan. Berdasarkan catatan dialog antara Euthyphro dan Socrates, diskursus mengenai moralitas religius terus mengalami perkembangan yang sering disebut divine command theory (DCT) (Lacewing, 2014).
Paradigma Divine Command Theory yang Melandasi Moralitas Religius
DCT mengklaim bahwa yang membuat tindakan tidak bermoral menjadi tidak bermoral adalah bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk tidak melakukannya. Klaim tersebut hadir karena ada asumsi bahwa hukum moral mengandaikan adanya pemberi hukum moral. DCT mengasumsikan bahwa hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum moral dan meminta pertanggungjawaban moral manusia (Austin, 2022). Maka, Tuhan diperlukan agar hukum moral ada. Jika Tuhan diperlukan untuk hukum moral, maka Dia juga diperlukan untuk kewajiban dan kesalahan moral. Masalahnya di sini adalah bahwa “hukum moral” hanyalah sebuah metafora. Hukum moral di sini diasumsikan sama seperti hukum negara yang positivistik, seperti undang-undang, by-laws, dan lain sebagainya. Hukum moral di sini adalah generalisasi normatif yang membatasi tindakan orang berdasarkan hubungan mereka dengan orang lain. Hal itu tidak berarti bahwa “hukum” moral harus berbagi setiap ciri dengan hukum negara. Hukum positivistik seperti itu memang membutuhkan pemberi hukum. Namun, seharusnya, hukum moral tidak harus membutuhkan pemberi hukum seperti yang dilakukan oleh undang-undang pemerintah. DCT mengklaim bahwa tidak bermoral berarti tidak mematuhi perintah Tuhan. Hal ini menghasilkan polemik. Jika Tuhan memerintahkan secara positif untuk membunuh, maka perintah itu akan menciptakan tuntutan moral untuk membunuh (Sinnott-Armstrong 2009, 86–88).
Tanpa Tuhan, Moral Tetap Ada
Kai Nielsen (1973); seorang filsuf AS yang berfokus pada problem moralitas, agama, dan ketuhanan; menyatakan bahwa sebenarnya Tuhan tidak diperlukan untuk ada agar manusia bisa berbuat baik. Menurutnya, banyak orang berpegang teguh pada agama dan menekankan perlunya orientasi keagamaan karena merasa dengan hilangnya keyakinan agama akan terjadi kemerosotan moral. Orientasi dan tujuan hidup juga bisa hilang. Hidup, dalam keadaan seperti itu, tidak memiliki alasan atau tujuan rasional (Nielsen, 1973: 100). Manusia tidak perlu untuk mengikuti kehendak Tuhan agar bisa menjadi baik. Nielsen mengawali argumentasinya dengan mengajukan tiga pertanyaan. Pertama, apakah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan berarti menjadi sesuatu yang harus dilakukan? Kedua, apakah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan adalah satu-satunya kriteria untuk kebaikan moral? Ketiga, apakah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan adalah satu-satunya kriteria yang memadai untuk kebaikan moral yang diinginkan atau untuk menjadi sesuatu yang harus dilakukan? (Nielsen, 1997: 13–14)
Dalam karya Nielsen yang berjudul Ethics Without God, moralitas tidak bisa bergantung dengan perintah dari Tuhan itu sendiri. Nielsen berargumen bahwa eksistensi moralitas yang berlandaskan pada eksistensi Tuhan itu harus berbasis pada asumsi bahwa Tuhan itu baik. Selanjutnya, Nielsen menjelaskan bahwa seorang penganut kepercayaan membasiskan kepercayaannya terhadap “Tuhan yang baik” itu berdasarkan kitab-kitab yang menceritakan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa, sebenarnya, kriteria baik atau buruk bisa dimunculkan sebelum masuk terhadap asumsi kepercayaan terhadap Tuhan itu sendiri (Nielsen, 1990).
Nielsen mengafirmasi bahwa moralitas akan tetap ada, bahkan memang inheren dalam kehidupan manusia, tanpa eksistensi Tuhan. Hal ini yang mendorong argumentasi Nielsen lebih mumpuni lagi karena Nielsen tidak mengeksklusi penganut kepercayaan yang mengasumsikan moralitas menurut ajarannya merupakan standar moralitas terbaik. Sebaliknya, Nielsen mengafirmasi keterbatasan manusia yang pada akhirnya tidak akan pernah bisa mengakses eksistensi Tuhan secara utuh, tetapi masih memiliki suatu kualitas moral tersendiri yang inheren pada dirinya. Bagi Nielsen, telos (tujuan atau sasaran utama) seorang individu bukanlah Tuhan, melainkan penggerak dari moralitas manusia yang sudah ada dan secara lahiriah dalam diri manusia (Austin, 2022).
Selain itu, keterberian keyakinan juga menguatkan alasan bahwa moralitas dapat hadir tanpa Tuhan. Menurut Nielsen, keyakinan telah terkondisikan bagi individu untuk menerimanya. Namun, validitas atau kebenaran suatu keyakinan tidak tergantung pada asalnya. Ketika satu orang bertanya kepada orang lain tentang asal keyakinan moralnya, pertanyaan besarnya bukanlah tentang bagaimana cara keyakinan moral bisa sampai pada mereka; melainkan tentang dua hal: (1) apa otoritas yang mendasarinya untuk memegang kepercayaan ini? dan (2) apa alasan atau pembenaran baik yang dimilikinya untuk keyakinan moral ini? (Nielsen, 1997: 14-15). Argumentasi Nielsen membuka jalan bagi manusia untuk berbuat baik tanpa ketergantungan dengan Tuhan. Dengan terlebih dahulu melepaskan seragam keagamaan yang dianut oleh masing-masing individu. Semestinya, ada atau tidaknya Tuhan, bermoral baik adalah keharusan.
Kesimpulan
Dilema Euthyphro, pada akhirnya, merupakan suatu argumen yang mencoba memaparkan secara lebih jauh eksistensi dari tujuan kebaikan itu sendiri. Socrates memunculkan pertanyaan tersebut sebagai suatu bentuk penelusuran metafisis-filosofis terhadap perbuatan etis. Dilema Euthyphro yang terdiskursuskan menjadi DCT mendapat banyak tentangan karena standar moralitas tersentralisasi ke dalam paham teis.
Nielsen menunjukkan bahwa keberfungsian Tuhan hanya ada sampai ke ranah individu yang berkaitan dengan keterbatasannya dalam mencerap pemahaman dunia. Nielsen membuktikan bahwa eksistensi moralitas akan tetap ada dan harus ada selama manusia masih ada, bukan hanya tergantung dengan adanya Tuhan. Ketiadaan Tuhan yang sulit untuk dibayangkan, tidak akan mengubah fakta bahwa manusia mampu menilai sendiri moralitas tertentu. Pada akhirnya, ranah yang paling tepat untuk mengkaji suatu anggapan moralitas religius adalah dengan terlebih dahulu meninggalkan argumen DCT. Hal ini bukan berarti seseorang harus menjadi nihilis, melainkan harus melihat terlebih dahulu kondisi fundamental manusia yang ada di depan mata. Atau setidaknya, menganalisis standar moralitas pada dirinya sendiri. Ada atau tidak adanya Tuhan tidak menegasikan fakta bahwa menjadi bermoral adalah suatu kepastian, setidaknya dengan keterbatasan manusia untuk memahami kehidupan masa kini. Moralitas harus diukur dengan melepaskan makna terberi oleh kondisi sosiokultural masa kini.
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: Elsya Dewi Arifah
Sumber gambar: pixabay.com
Daftar Pustaka
Austin, Michael. “Divine Command Theory.” Internet Encyclopedia of Philosophy, 2022. https://iep.utm.edu/divine-command-theory/.
Britannica. “Why did Athens condemn Socrates to death?” Encyclopedia Britannica, 2022. https://www.britannica.com/question/Why-did-Athens-condemn-Socrates-to-death.
Forrest, Peter. “An argument for the Divine Command Theory of Right Action.” Sophia 28 (1989): 2-19 .
Fox, Jonathan. An Introduction to Religion and Politics: Theory and Practice. N.p.: Taylor & Francis Group, 2018.
Gert, Bernard, and Joshua Gert. “The Definition of Morality (Stanford Encyclopedia of Philosophy).” Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2022. https://plato.stanford.edu/entries/morality-definition/.
Lacewing, Michael. “The Euthyphro dilemma.” A Level Philosophy, 2014. http://www.alevelphilosophy.co.uk/wp-content/uploads/2014/06/Euthyphro-dilemma.pdf.
Morgan, Pierpont. “Execution of Ḥusain Ibn Manṣūr Al-ḥallāj Outside the Gates of Baghdad in 922 | Execution of Husain Ibn
Mansur Al-hallaj | The Morgan Library & Museum.” Morgan Library, 2013. https://www.themorgan.org/collection/treasures-of-islamic-manuscript-painting/45.
Nielsen, Kai. Scepticism. N.p.: Palgrave Macmillan UK, 1973.
Nielsen, Kai. Ethics Without God. N.p.: Prometheus Books, 1990.
Nielsen, Kai. God and the Grounding of Morality. N.p.: University of Ottawa Press, 1997.
Sinnott-Armstrong, Walter. Morality Without God? N.p.: Oxford University Press, USA, 2009.
The Conversation. “Riset: diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam.” The Conversation, 2020. https://theconversation.com/riset-diskriminasi-dalam-beragama-di-indonesia-salah-satu-yang-tertinggi-di-dunia-islam-139218.