“Kenapa itu tidak dipublikasikan? Ya, wong itu anak-anak kita, anak-anak saya sendiri, dipublikasikan untuk apa?” ucap Djarot Heru Santoso, Sekretaris Direktur Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat, ketika menyinggung kasus Agni dalam Hearing Rektorat pada Selasa (13-12).
Bertempat di Kantor Pusat UGM, hearing tersebut dilaksanakan sebagai respons mahasiswa UGM atas beberapa permasalahan yang tidak kunjung diselesaikan oleh rektorat. Salah satunya adalah penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkup universitas.
Sigit Bagas Prabowo, perwakilan unsur mahasiswa, memaparkan pentingnya pengintergasian Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020 dengan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sebab, menurutnya, UGM belum memperbaharui peraturan mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan seksual sesuai dengan Permendikbud tersebut. “Akibatnya, penanganan kekerasan seksual oleh Satgas PPKS masih terpaku pada SOP lama,” jelas Sigit.
Sigit mengungkapkan bahwa hal tersebut berimplikasi terhadap rumitnya birokrasi penanganan kekerasan seksual yang ada. Hal ini lantas berakibat pada kebingungan mahasiswa terhadap proses layanan penanganan kekerasan seksual. “Birokrasi penanganan kekerasan seksual seharusnya dipangkas sehingga efisien dan berpihak pada korban,” ucapnya.
Belum selesai bicara, pemaparan Sigit dipotong oleh Arie Sujito; Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni. “Boleh dispesifikkan tentang (alur) birokrasi yang perlu dipangkas seperti apa?” tanyanya.
Menjawab pertanyaan Arie, Sigit menjelaskan bahwa situasi penanganan kasus kekerasan seksual sekarang masih terpusat pada universitas dan fakultas sehingga harus menunggu rekomendasi dari pihak rektorat. “Padahal, dalam Permendikbud dijelaskan pihak fakultas dapat secara langsung merekomendasikan laporan dari organisasi kemahasiswaan kepada Satgas PPKS,” sambungnya.
Pada sesi tanggapan rektorat, Arie kembali menanggapi pemaparan Sigit mengenai kerumitan birokrasi. Arie menyetujui adanya pemangkasan birokrasi apabila dianggap terlalu rumit. “Nanti kita cek ulang. Kalau memang dianggap terlalu rumit, kita pangkas,” janji Arie.
Kendati demikian, Sigit menyimpulkan bahwa mekanisme penanganan kekerasan seksual yang diterapkan UGM masih dinilai menyulitkan mahasiswa dalam praktiknya. Akan tetapi, Arie lantas menanggapi Sigit dengan mengatakan bahwa pelaksanaan PPKS memerlukan peran aktif mahasiswa sebagai teman sejawat (peer group). “Satgas sudah ada perannya, tetapi dibutuhkan juga kepedulian mahasiswa. Sebab, mahasiswa yang cuek juga problematis,” ucap Arie.
Pernyataan Arie tadi lantas ditanggapi oleh Pandu Wisesa Wisnubroto, salah satu perwakilan unsur mahasiswa. Ia mengatakan bahwa penanganan kekerasan seksual merupakan pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak universitas. Sebab, menurutnya, universitas telah diberikan APBN dari pemerintah sehingga merekalah yang seharusnya menyediakan layanan tersebut. “Kita (mahasiswa) sudah membayar UKT, kenapa tanggung jawab semacam ini dikembalikan lagi ke mahasiswa?” ucap Pandu dengan nada kecewa ketika diwawancarai oleh Balairung.
Di sisi lain, Adit Halimawan, salah satu perwakilan unsur mahasiswa yang lain, turut menanggapi pernyataan Arie menggunakan perspektif yang sedikit berbeda dari Pandu. Menurutnya, pernyataan Arie juga ada benarnya, tetapi dalam hal tersebut mahasiswa sudah cukup menjalankan perannya. “Itu logika yang tidak sepenuhnya salah juga, tapi kita adakan hearing ini kan buktinya kami (mahasiswa) memang mau (berperan),” ucap Adit. Ia menambahkan, saat ini, mahasiswa sudah memiliki regulasi PPKS-nya sendiri di dalam organisasi kemahasiswaan yang menurutnya memerlukan integrasi dari pihak kampus.
Kembali ke Pandu, ia kemudian menyinggung terkait SK Satgas PPKS yang aksesnya tidak dibuka oleh pihak universitas. Dalam hal ini, Veri Antoni, Kepala Kantor Hukum dan Organisasi UGM, menyatakan bahwa dalam SK tersebut terdapat data pribadi sehingga tidak dapat dibuka kepada publik. Padahal, menurut Pandu, merujuk pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, perihal keputusan dan pertimbangan merupakan informasi publik. “Isi SK mengenai pengangkatan dan mekanisme Satgas PPKS tidak termasuk dalam unsur data pribadi,” lanjut Pandu.
Lebih lanjut, Pandu mengungkapkan bahwa beberapa permasalahan yang hadir ini merupakan salah satu bentuk ketidakseriusan UGM dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Menurut Pandu, dalam menangani kasus kekerasan seksual, UGM cenderung tertutup guna menyelamatkan nama baik kampus. Hal tersebut ia ucapkan ketika berkaca dari kasus Agni yang pada akhirnya pelaku dapat lulus dari UGM. “Alasan yang diberikan UGM tidak dapat diterima. Menjadi korban kekerasan seksual bukan hal yang kecil karena dapat menghancurkan hidup seseorang,” pungkas Pandu.
Penulis: Fanni Calista, Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani, Michelle Gabriela Momole (Magang)
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Sidney Alvionita Saputra