Kondisi perang menyebabkan beberapa orang harus mengungsi ke negara yang tidak ia kenali. Di Indonesia, para pengungsi belum memperoleh hak mendasar, yakni akses pendidikan dan kesehatan.
Pendahuluan
Somaya merupakan salah satu gadis dan imigran dari Afganistan yang transit di Indonesia. Ia tinggal di Cisarua, Jawa Barat selama masa transit. Kehidupannya tidak bisa dikatakan menyenangkan di Indonesia. Ia harus hidup tanpa bantuan finansial dari organisasi mana pun. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia mengikuti beberapa kegiatan volunteering. Selama di Indonesia, Somaya tidak dapat meneruskan pendidikannya karena permasalahan administrasi (Masardi 2021). Ia pun berada dalam kondisi yang tidak pasti, apakah masih bisa bersatu kembali bersama keluarganya yang telah berada di Australia?
Pertengahan Juni 2014, harapan bagi para imigran yang melarikan diri dari negara asalnya; seperti Afghanistan, Ethiopia, dan Yaman; untuk transit di Indonesia mulai redup. Transit, dalam hal ini, bukan berarti liburan. Mereka adalah orang-orang yang sedang berada di suatu negara untuk sementara. Imigran yang masih di Indonesia kini dalam keadaan yang semakin sulit dan tidak pasti (Masardi 2021). Apabila imigran tidak dapat sampai pada negara penerima, mereka tidak akan mendapatkan akses ekonomi, hukum, dan pendidikan. Hal itulah yang sedang dialami oleh Somaya dan para imigran lainnya di Indonesia.
Imigran sendiri ada dua jenis, yakni pengungsi dan pencari suaka. Pencari suaka merupakan orang yang tersingkir dari negara asalnya dan sedang mencari suaka atau tempat berlindung di negara lain. Sementara, pengungsi adalah orang-orang yang merasakan bahaya di daerah asalnya dan memilih untuk berpindah tempat (Wagiman, 2012). Selain definisi, perbedaan lain antara keduanya adalah persoalan status. Pengungsi memiliki status yang diakui hukum internasional dan hukum domestik, sedangkan pencari suaka tidak (Hamid, 2002). Keduanya, baik pencari suaka maupun pengungsi, merupakan hasil dari globalisasi yang memampatkan ruang dan waktu (Mudzakir, 2013).
Realita Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia
Sejauh ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tempat transit para pengungsi. Pengungsi yang datang ke Indonesia, di antaranya, berasal dari Afganistan (57%), Somalia (10%), Irak (5%), dan lain-lain (UNHCR, 2022). Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 mengenai pengungsi, Indonesia masih tetap membuka kesempatan bagi para pengungsi untuk singgah. Penghargaan terhadap nilai-nilai akan hak asasi manusia menjadi alasan tersendiri bagi Indonesia untuk tetap menerima kedatangan pengungsi meskipun belum meratifikasi Konvensi Jenewa 1951. Konsep tersebut memberikan makna bagi seluruh negara, yang telah maupun belum meratifikasi konvensi pengungsi, agar tidak mendeportasi, secara paksa dan sepihak, para pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke dalam negaranya. Memulangkan pengungsi secara sepihak sama saja dengan memberikan bahaya dan ancaman kemanusiaan. Sebab, bisa saja, wilayah asal pengungsi tersebut merupakan area perang yang tidak aman (Nicholson dan Kumin, 2017). Di sisi lain, keterbukaan Indonesia terhadap para pengungsi tidak selalu berdampak positif bagi kemanusiaan. Banyaknya pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia dapat menimbulkan masalah baru yang dapat menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat.
Umumnya, pengungsi dan pencari suaka di Indonesia terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena eskalasi konflik yang sudah mencapai tahap perang. Akan tetapi, pemenuhan hak asasi fundamental pengungsi dan pencari suaka belum terpenuhi. Pengungsi dan pencari suaka di Indonesia masih mengalami eksklusi dan inekuitas. Sebagai contoh, Indonesia belum memberikan hak yang memadai atas pendidikan sesuai dengan hukum internasional yang telah diratifikasi (Kranrattanasuit, 2020). Sekitar 91 persen anak secara global mampu mengenyam pendidikan dasar, sementara hanya 50 persen anak-anak pengungsi yang mampu mengakses sekolah (Denton dkk., 2016). Anak-anak pengungsi dan pencari suaka di Indonesia telah mengalami pengalaman tidak inklusif dan tidak adil sebab kurang terbukanya akses pendidikan. Akses terbatas tersebut secara negatif akan memengaruhi kondisi ekonomi dan perkembangan sosial individu juga komunitas (Bircan dan Sunata, 2015).
Para pengungsi dan pencari suaka juga mengalami penderitaan secara fisik dan psikologis. Berbagai penderitaan ini, kemudian, memunculkan perasaan sedih, cemas, dan depresi. Namun hal ini, menurut Lustig dkk. (2004), dapat diatasi dengan pendidikan. Pendidikan melalui sekolah memiliki korelasi dengan penurunan tingkat stress. Melalui pendidikan, rasa trauma dan depresi yang dialami anak-anak pengungsi dapat menurun. Setiap anak; terlepas ras, warna kulit, bangsa, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, dan latar belakang politik-ekonomi, serta sosial-budaya tertentu; berhak atas sumber daya pendidikan yang mencakup moneter (anggaran) dan non-moneter (instruktur profesional dan alat serta perlengkapan pembelajaran). Akan tetapi, kurikulum pendidikan Indonesia mewajibkan anak-anak pengungsi untuk mahir berbahasa Indonesia yang mengakibatkan eksklusi terhadap pengungsi dan pencari suaka karena keterbatasan mereka dalam berbahasa Indonesia. Selain itu, anak-anak pengungsi dan pencari suaka menghadiri pendidikan non-formal seperti Refuge Learn Center yang justru belum memperoleh dukungan finansial dari pemerintah.
Konflik dan Upaya Pemenuhan Hak Fundamental
Pada tahun 2019, pemerintah telah secara resmi memberikan pendidikan formal bagi pengungsi, tetapi kendala lainnya adalah kurangnya dana dan jumlah SMP dan SMA/K di Indonesia. Para pengungsi masih harus bersaing dengan masyarakat Indonesia dalam memperoleh pendidikan akibat terbatasnya fasilitas. Selain itu, distribusi surat edaran dan sosialisasi mengenai hak yang telah diberikan pemerintah atas pendidikan formal bagi pengungsi masih minim. Akibatnya, banyak sekolah yang justru enggan menerima peserta didik berstatus pengungsi (Aurelia, 2022).
Status Indonesia sebagai negara transit yang belum meratifikasi Konvensi 1951 mengakibatkan para pengungsi dan pencari suaka tidak dapat menetap secara permanen dan menjadi warga negara Indonesia. Akan tetapi, tidak ada kejelasan kapan para pengungsi tersebut akan dipindahkan ke permukiman permanen atau ditempatkan ke negara pelabuhan selanjutnya. Pada beberapa kasus, bahkan, ada pengungsi yang telah tinggal di negara transit selama bertahun-tahun. Mirisnya, pengungsi dilarang bekerja di Indonesia sehingga mereka sulit memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara, pemerintah Indonesia sepakat pihak yang bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup para pengungsi tersebut adalah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM). Isu pemenuhan kebutuhan dasar ini dianggap bukan merupakan tanggung jawab Indonesia sebagai negara transit.
Berdasarkan data tahun 2017, terdapat 5.700 pengungsi dan pencari suaka tanpa jaminan pemenuhan penghasilan yang harus mengurus diri sendiri (Jayadi, 2018). Padahal, pada Peraturan Presiden tahun 2016, pengungsi dan pencari suaka telah ditetapkan sebagai pihak yang harus dilindungi Namun, peraturan tersebut masih belum membahas isu keterasingan pengungsi dari kehidupan bermasyarakat. Dari perspektif pengungsi, tidak adanya rekognisi politis, hukum, dan keterasingan dari masyarakat lokal sendiri telah menempatkan mereka bukan sebagai manusia yang utuh. Hal ini menghasilkan frustrasi. Lebih jauh lagi, perasaan frustrasi ini dapat mengakhiri hidup seorang pengungsi. Pada tahun 2021, salah satu pengungsi di Kota Medan memutuskan membakar diri di depan gedung UNHCR untuk menunjukkan rasa frustasinya.
Penolakan keberadaan para pengungsi terjadi, salah satunya, dengan pemasangan spanduk dan komplain terkait kemungkinan penyebaran virus yang dibawa oleh pengungsi. Tekanan sosial tersebut diperparah dengan realita bahwa para pengungsi tersebut terpaksa menetap di pemukiman tanpa sanitasi. Beberapa malah harus tidur di dalam tenda (Wijaya, 2021). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya, keterbatasan dana dan penolakan adalah isu yang menghambat pemenuhan HAM pengungsi.
Menyikapi Isu Pemenuhan Hak Pengungsi
Pengabaian hak dasar tersebut menjebak kehidupan mereka di bawah kondisi dehumanisasi. Solusi minimum yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia adalah melakukan proyek identifikasi keahlian dan pelatihan bagi pengungsi untuk menyalurkan keahlian tersebut kepada masyarakat. Seluruh manusia pantas mendapatkan jaminan atas keselamatan dirinya dan kehidupan yang layak Langkah terkecil bagi masyarakat adalah meningkatkan perasaan kemanusiaan dengan bersimpati atau mengulurkan bantuan.
Contohnya Malaysia, negara tetangga yang sama-sama tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 mengenai Pengungsi. Akan tetapi, Malaysia memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi kehadiran pengungsi dan pencari suaka. Pada tahun 2017, Malaysia menempatkan 300 pengungsi terdaftar Rohingya di perusahaan-perusahaan manufaktur dan agrikultur untuk bekerja secara legal (CNN, 2019). Pengalaman kerja di atas, dan berbagai kegiatan volunteer, tidak hanya menjadi sarana mengisi waktu luang, tetapi juga memberikan bekal bagi mereka untuk studi dan karir mereka di masa depan (Sampson dkk., 2016).
Soal akses kesehatan, di Malaysia, pengungsi dan pencari suaka telah memperoleh pelayanan yang cukup baik. Parameternya adalah aspek ketersediaan fasilitas kesehatan, aksesibilitas lokasi, penerimaan tanpa diskriminasi, dan kesadaran dari pengungsi terhadap masalah kesehatan. Meskipun demikian, akomodasi dan keterjangkauan biaya pelayanan kesehatan di Malaysia masih rendah. Waktu tunggu di rumah sakit masih lama. Pengobatan berbagai penyakit yang tergolong parah, seperti tumor dan kardiovaskular, masih sulit diakses (Chandran dkk., 2020).
Penulis: Ludvia, Mas Intan Putri A, Martinus Kurnia Yunaiko Putra
Editor: Rania Salsabilla
Ilustrator: Embun Dinihari
Daftar Pustaka
Aurelia, Joan. “Bagi Pemerintah, Hak Pendidikan Pengungsi Anak Tak Jadi Prioritas.” tirto.id, January 22, 2022. https://tirto.id/bagi-pemerintah-hak-pendidikan-pengungsi-anak-tak-jadi-prioritas-gnuj.
Bircan, Tuba, and Ulaş Sunata. “Educational Assessment of Syrian Refugees in Turkey.” MIGRATION LETTERS 12, no. 3 (July 26, 2015): 226–37. https://doi.org/10.33182/ml.v12i3.276.
Chandran, Suseela Devi, Nasiha Sakina, and Norazah Mohd Suki. “Exploring the Accessibility of Health Care Service to Rohingya Refugees in Malaysia.” Bussecon Review of Social Sciences (2687-2285) 3, no. 3 (December 17, 2020): 16–23. https://doi.org/10.36096/brss.v3i3.203.
Denton, Bryan, Silja Ostermann, Haidar Darwish, Frederic Noy, Sylvain Cherkaoui, Sebastian Rich, Agron Dragaj, and Benjamin Loyseau. “MISSING out REFUGEE EDUCATION in CRISIS 2,” 2016. http://uis.unesco.org/sites/default/files/documents/missing-out-refugee-education-in-crisis_unhcr_2016-en.pdf.
Hamid, Sulaiman, and United Nations. Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, Rajagrafindo Persada, 2002.
Indonesia, C. N. N. “Beda Jurus RI, Malaysia, Dan Thailand Urus Para Pencari Suaka.” CNN Internasional, July 16, 2019. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190715210230-106-412408/beda-jurus-ri-malaysia-dan-thailand-urus-para-pencari-suaka.
Kranrattanasuit, Naparat. “Emergency, Exclusion, and Inequity in Education of Refugee and Asylum Seeker Children in Indonesia.” The Social Science Journal, March 6, 2020, 1–16. https://doi.org/10.1080/03623319.2020.1728504.
Lustig, Stuart L., Maryam Kia-Keating, Wanda Grant Knight, Paul Geltman, Heidi Ellis, J David Kinzie, Terence Keane, and Glenn N. Saxe. “Review of Child and Adolescent Refugee Mental Health.” Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry 43, no. 1 (January 2004): 24–36. https://doi.org/10.1097/00004583-200401000-00012.
Masardi, Realisa Darathea. “Independent Refugee Youth in Waiting: Social Navigations While in Transit in Indonesia.” PhD Thesis, 2021.
Mudzakir, Amin. “Imigrasi dan Batas-Batas Globalisasi.” IndoProgress, 11 Maret, 2013. Diakses dari https://indoprogress.com/2013/03/imigrasi-dan-batas-batas-globalisasi/
Nicholson, F, and J Kumin. “A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum Systems Handbook for Parliamentarians N° 27, 2017 Acknowledgements,” 2017. https://www.unhcr.org/3d4aba564.pdf.
Primadasa, Cipta Primadasa, Mahendra Putra Kurnia, and Rika Erawaty. “Problematika Penanganan Pengungsi Di Indonesia Dari Perspektif Hukum Pengungsi Internasional.” Risalah Hukum, June 28, 2021, 44–51. https://doi.org/10.30872/risalah.v17i1.380.
Sampson, Robyn C., Sandra M. Gifford, and Savitri Taylor. “The Myth of Transit: The Making of a Life by Asylum Seekers and Refugees in Indonesia.” Journal of Ethnic and Migration Studies 42, no. 7 (January 14, 2016): 1135–52. https://doi.org/10.1080/1369183x.2015.1130611.
Thontowi, and Jawahir. “Hukum Internasional Indonesia: Dinamika Dan Implementasinya Dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan,” 2002.
Wagiman. Hukum Pengungsi Internasional. Rawamangun, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Wijaya, Callistasia. “Polemik Pengungsi Asing Di Jakarta : ‘Saya Tidak Merasa Seperti Manusia Seutuhnya”.” BBC News Indonesia, July 17, 2019, sec. Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48999946.