Sabtu (29-10), Solidaritas Yogyakarta untuk Iran mengadakan aksi solidaritas bertajuk “Solidaritas untuk Iran”. Aksi tersebut merupakan tanggapan atas tewasnya Mahsa Amini, perempuan yang kehilangan nyawa akibat dipukul polisi beberapa waktu lalu. Ia dipukul karena melanggar aturan pemakaian hijab di Iran. Beberapa elemen masyarakat, seperti aktivis, pekerja rumah tangga, akademisi, hingga mahasiswa mengikuti aksi solidaritas ini. Aksi yang terselenggara di kantor Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta tersebut diawali dengan penaburan bunga sebagai simbol duka cita, pemotongan rambut, dan diakhiri dengan pembacaan tuntutan.
Damairia, aktivis perempuan Yogyakarta, menerangkan bahwa aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi yang berlangsung di depan Kedutaan Besar Iran di Jakarta tanggal 3 dan 18 Oktober silam. Selain itu, ia menambahkan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendesak pemerintah Republik Iran agar menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan demonstran yang berada di Iran. “Aksi ini adalah bentuk solidaritas untuk perempuan, bukan semata masalah hijab, melainkan menentang segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia.” ujar Damairia.
Perundungan terhadap perempuan belum lama ini terjadi di Indonesia. Ernawati, Koordinator Solidaritas Yogyakarta untuk Iran, menyatakan bahwa perundungan dan pemaksaan penggunaan hijab terjadi di salah satu sekolah di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta pada Agustus lalu. Menurutnya, kasus tersebut menunjukkan otoritas sekolah digunakan untuk mengontrol tubuh perempuan yang seharusnya dihormati. “Ini bukan soal antihijab, melainkan antipemaksaan,” ujar Ernawati.
Berdasarkan laporan Human Right Watch, pelanggaran atas kedaulatan tubuh perempuan di Indonesia masih terjadi. Pelanggaran tersebut terjadi di bidang pendidikan dan pekerjaan. Vera (nama samaran), salah satu peserta aksi, mengaitkan kejadian di Iran dengan kejadian pemaksaan hijab yang dialaminya. Saat itu, Vera yang menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah di Yogyakarta dipanggil oleh petinggi sekolah ke sebuah ruangan. Awalnya, ia mengira pemanggilan tersebut berkaitan dengan ketidaksesuaian metode pengajarannya. “Saat di dalam ruangan ternyata saya malah dipaksa menggunakan hijab,” keluh Vera.
Terkait pemaksaan berhijab, Vera menganggap bahwa sekarang masyarakat memandang rendah perempuan yang tak berhijab. Menyikapi hal tersebut, Vera kini memilih menggunakan pakaian kebaya sehari-hari sebagai simbolisasi perlawanan terhadap segala bentuk diskriminasi perempuan tidak berhijab. “Saya harap dengan adanya aksi ini membuat orang-orang yang takut atau malu jadi berani bersuara,” ujarnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Damairia juga memberikan harapan yang serupa. Ia berharap di Indonesia tidak terjadi lagi pemaksaan untuk berhijab. Selain itu, Damairia berpesan untuk membiarkan perempuan menggunakan apa pun yang mereka inginkan. “Biarkan perempuan memilih untuk tubuhnya sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Ibnu Rasyid, Muhammad Fachriza Anugerah, dan Rais Aulia (Magang)
Penyunting: Ananda Ridho Sulistya
Fotografer: Surya Intan Safitri (Magang)