Sejak akhir Juni hingga awal November lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta disibukkan dengan serangkaian proses persidangan atas dugaan salah tangkap kasus klitih di Gedongkuning yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta. Pada Jumat (04-11), LBH Yogyakarta mengadakan konferensi pers dan konsolidasi yang bertajuk “Dugaan Salah Tangkap dan Kekerasan Kepolisian dalam Kasus Klitih Gedongkuning” untuk memaparkan bukti temuan pada sidang terakhir, kronologi kasus, serta dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap korban salah tangkap. Konferensi pers ini menghadirkan Yogi Zul Fadhli dan Faiz Nugroho selaku kuasa hukum dari Andi Muhammad Husain Mazhahiri, salah satu korban salah tangkap. Andayani, ibu dari Andi sekaligus perwakilan para orangtua korban salah tangkap, turut hadir dalam konferensi pers ini.
Setelah dibuka oleh moderator, Andayani menjelaskan kecurigaannya terhadap pihak kepolisian yang diduga menutup-nutupi kasus. Kecurigaannya ini diperkuat dengan kesulitan yang dialami dirinya untuk bertemu dengan anaknya sendiri saat awal perkara. Ia mengatakan bahwa ia sempat dilarang menjenguk Andi selama hampir 2 minggu. Kemudian, sewaktu diberi kesempatan untuk bertemu, anaknya tersebut memberikan sebuah pengakuan dengan wajah yang ketakutan.
Setelah mendengar pengakuan tersebut, Andayani mulai mengetahui bahwa Andi mengalami kekerasan fisik, pelecehan secara mental, hingga ancaman dengan senjata api. Padahal, menurutnya, Andi bukanlah pelaku klitih Gedongkuning yang kepolisian cari. “Andi berada 8 km dari tempat kejadian saat perkara terjadi, lalu bagaimana bisa dia melakukan tindakan di tempat yang terpaut jauh dalam waktu yang hampir bersamaan?”, ucap Andayani.
Bersamaan dengan kuasa hukum Andi, Andayani lantas berupaya untuk mencari bukti dan titik terang dari kasus salah tangkap ini. Andayani mengatakan bahwa salah satu barang bukti yang mereka temukan adalah rekaman CCTV yang berada di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Melanjutkan Andayani, Yogi menjelaskan bahwa rekaman CCTV bisa digunakan sebagai alat bukti dalam penanganan kasus ini. Melalui rekaman tersebut, ia mengatakan bahwa para saksi dapat mengidentifikasi siapa saja terduga pelaku yang berada di TKP. Namun, ia mengungkapkan bahwa dalam proses pengadilan, tidak ada satupun saksi baik yang diajukan jaksa penuntut umum maupun dari pihak korban salah tangkap yang mampu mengidentifikasi keberadaan korban salah tangkap, termasuk Andi dalam rekaman tersebut.
Selain rekaman CCTV, Faiz kemudian menambahkan barang-barang bukti yang digunakan selama persidangan, seperti surat hasil visum, keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan dari terdakwa. Ia juga mengatakan bahwa tim kuasa hukum Andi turut mendatangkan saksi ahli yang merupakan ahli forensik Universitas Islam Indonesia. Dari peninjauan terhadap bukti-bukti yang dipaparkan oleh pihak kepolisian, saksi ahli tersebut tidak dapat menemukan keabsahan bukti yang digunakan kepolisian dalam kasus ini. Dengan demikian, mengutip dari keterangan saksi ahli tersebut, Faiz mengatakan bahwa bukti-bukti dari pihak kepolisian tidak dapat dijadikan dasar dan justifikasi tindakan polisi dalam penangkapan korban salah tangkap.
Kendati demikian, Faiz mengatakan kepolisian masih bersikeras bahwa Andi dan para korban salah tangkap lainnya adalah pelaku kasus klitih yang menghilangkan nyawa ini. Menurut Faiz, dugaan ini didasari oleh dua buah bukti yang bersifat rahasia dan tak bisa dibeberkan ke publik. Permasalahan mengenai dua bukti ini diketahui saat Faiz bertanya pada penyidik mengenai bukti yang dijadikan dasar penangkapan para tersangka.
Atas dasar tidak transparansinya kepolisian dalam mengungkapkan bukti penetapan tersangka pelaku, Yogi menduga polisi hanya ingin mencari kambing hitam dalam kasus ini. Motifnya, menurut Yogi, adalah memberikan shock therapy kepada publik mengenai kerasnya perlakuan yang akan diterima oleh para pelaku klitih. “Dengan adanya shock therapy ini, polisi ingin menunjukkan keseriusannya dalam menangani kasus klitih“, ucap Yogi.
Menurut Faiz, shock therapy memang penting untuk meningkatkan kesadaran taat hukum masyarakat. Namun, imbuhnya, penetapan tersangka tanpa bukti yang jelas tetap tak dapat dibenarkan. “Pada akhirnya tersangka terlihat hanya sebagai kambing hitam dibanding pelaku sebenarnya,” pungkasnya.
Penulis: Ester Veny Novelia Situmorang dan Fadhil Muhammad (Magang)
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Bayu Tirta H. (Magang)