Sabtu (05-11), Terasmitra mengadakan diskusi daring dengan tema “Urgensi Pengesahan RUU Konservasi (KSDAHE)”. Diskusi ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Yulius Yogi, pemuda adat Dayak Simpang; Nadya Demavina, Koordinator Penelitian Perkumpulan HuMa; Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); dan Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL). Diskusi ini ditujukan untuk membahas signifikansi pengesahan RUU KSDAHE dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Yogi memulai diskusi dengan menyampaikan bahwa selama ini ekosistem dalam wilayah adat Dayak Simpang hanya dilindungi oleh hukum adat. “Dalam praktiknya, masyarakat adatlah yang mengambil peran penting dalam melindungi ekosistem alam dengan hukum adat yang berlaku,” ucap Yogi. Akan tetapi, menurut Yogi, peran masyarakat adat dalam menjaga wilayah adat belum tentu terjamin secara hukum di Pemerintah Pusat. Hal ini nyatanya juga berpengaruh pada investasi negara untuk pengelolaan wilayah adat mereka.
Menanggapi hal tersebut, Yogi pun menyampaikan jika pengelolaan wilayah adat oleh pihak dari luar masyarakat adat, misalnya korporasi, berpotensi mengganggu dan bahkan merusak wilayah adat tersebut. “Hukum adat nyatanya sangat rentan untuk melindungi ekosistem alam di sekitar masyarakat adat itu sendiri,” tandas Yogi. Merujuk permasalahan itu, Yogi menjelaskan bahwa pengakuan penuh dari pemerintah yang berupa undang-undang sangatlah penting. Bagi Yogi, kepastian secara hukum perlu didapatkan agar masyarakat adat terhindar dari kepentingan yang merusak, seperti kepentingan investasi pihak eksternal masyarakat adat.
Menimpali penjelasan Yogi, Demavina menjabarkan bahwa pengesahan undang-undang, seperti RUU KSDAHE diperlukan untuk menanggapi kasus konflik hutan di Indonesia. Dalam pendapatnya, Demavina memaparkan bahwa sejauh ini, di Indonesia, konflik hutan sudah terjadi, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, dan Taman Nasional Lore Lindu. “Sejauh ini, tiga belas orang ditangkap dan ironisnya, mereka mengemban kepentingan yang sama dengan tujuan taman nasional sendiri,” pungkasnya.
Menurut Demavina, terdapat tiga alasan yang mendukung pengesahan RUU KSDAHE berkaitan dengan konflik hutan di Indonesia. Pertama, paradigma hutan ilmiah atas konservasi dalam RUU KSDAHE tidak mengakomodasi masyarakat adat di wilayah adatnya. Dibandingkan paradigma hutan ilmiah yang ditemukan baru-baru ini, masyarakat lebih terbukti mampu menjaga hutan. Kedua, minimnya pengakuan hak dan halangan dari pemerintah untuk menjadikan wilayah di kawasan konservasi sebagai hutan adat. Ketiga, perlindungan pengetahuan tradisional dan lokal masih sangat formalistik di dalam Undang-Undang. “Produk hukum itu ada dan tertulis, tetapi tidak dapat diimplementasikan,” tutur Demavina.
Melanjutkan argumen Yogi dan Demavina, Eryan menjabarkan bahwa permasalahan masyarakat adat dan konflik hutan di Indonesia disebabkan ketiadaan proses penggantian UU Nomor 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Konservasinya dengan RUU KSDAHE. Bagi Eryan, jika sebuah Undang-Undang tidak pernah mengalami perubahan selama puluhan tahun, pasti Undang-Undang tersebut tidak memadai di berbagai aspek. “Meskipun saat itu ditolak, pada tahun 2019, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengajukan RUU tentang perubahan UU Nomor 5 tahun 1990,” ungkapnya.
Menurut Eryan, dari sisi hukum, UU Nomor 5 tahun 1990 belum mengatur terkait pengetahuan tradisional masyarakat adat yang sebenarnya perlu diakui sebagai bentuk konservasi. Eryan pun menambahkan bahwa ada enam hal yang harus diatur dalam penguatan aspek hukum ini. Secara khusus, enam hal tersebut meliputi pengaturan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi, pertanggungjawaban pemulihan dampak konservasi alam, perbaikan regulasi bagi spesies yang dilindungi, perbaikan perumusan delik pidana, penguatan proses pidana dengan hukuman yang berorientasi, dan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.
Ahmadi mengatakan bahwa terdapat lima prinsip terkait kebijakan konservasi lahan sumber daya alam yang berkaitan langsung dengan urgensi pengesahan RUU KSDAHE. Pertama, pengakuan hukum terhadap sistem konservasi lokal atau adat. Prinsip ini menjelaskan urgensi terkait pengakuan hukum atas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Kedua, hak untuk menentukan diri sendiri. “Menyangkut prinsip ini, negara harus memberikan kebebasan dalam penentuan ruang hidup secara mandiri bagi masyarakat adat,” tegas Ahmadi.
Ketiga, perlindungan kawasan ekologi genting. Ahmadi menjabarkan bahwa ekologi genting adalah kawasan yang kondisinya kritis dan sulit untuk dikembalikan seperti keadaan awalnya. “Prinsip ini menekankan bahwa kawasan ekologi genting perlu untuk dilindungi berdasarkan sistem masyarakat adat,” tandas Ahmadi.
Keempat, pengaktifan lembaga perlindungan konservasi alam. Melalui pendapatnya tentang prinsip ini, Ahmadi menuturkan bahwa nyatanya peran Pemerintah Daerah juga perlu diaktifkan sebagaimana kontribusinya yang minim sampai saat ini.
Kelima, penegakkan hukum konservasi. Prinsip ini memaparkan urgensi penegakkan hukum yang berbasis atas hak rakyat dalam pengelolaan kawasan konservasi. “Kalau RUU masih belum menjawab kebutuhan rakyat, maka nuansa kolonial masih ada dan tidak mengalami perubahan dari kebijakan konservasi sebelum-sebelumnya,” jelas Ahmadi di akhir.
Penulis: Yasmin Nabiha Sahda, Zahra Maulidiya Ramadhani, dan Tanaya Raras Anindita (Magang)
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Akhmad Azza Luthfika (Magang)