Penerbit Independen mengadakan diskusi bertajuk “Mengapa Buku Rantai Nilai Penting untuk Dibaca?” pada Rabu (02-11). Diskusi ini bertujuan untuk membedah buku Rantai Nilai karya Intan Suwandi. Adapun, turut hadir Arif Novianto selaku editor dan Alnick Nathan selaku penerjemah. Diskusi yang dilangsungkan melalui twitter space akun Penerbit Independen ini menyoroti berbagai permasalahan bentuk Imperialisme Baru yang telah dianalisis oleh penulis.
Alnick mengawali diskusi dengan realitas imperialisme yang sering dikaitkan dengan pendudukan berbasis kekuatan militer. Menurutnya, banyak orang justru terpaku pada definisi ini dan mengabaikan aspek lain yang juga menjadi titik kunci, terutama ekonomi. Titik kunci yang dimaksud Alnick berhubungan dengan proses ekonomi dan politik yang melibatkan monopoli raksasa. “Upaya perusahaan kapital untuk mengatur suatu wilayah ekonomi tidak selalu menggunakan cara militer, tetapi juga bisa dengan mendikte hasil produksi melalui kontrak dagang,” tegasnya.
Alnick memaparkan gaya imperialisme yang lebih menitikberatkan aspek ekonomi ini dampaknya dapat dilihat di negara-negara berkembang. Ia turut menambahkan contoh nyata dari alur produksi perusahaan-perusahaan multinasional dalam memperoleh keuntungan. Perusahaan seperti ini memiliki satu kantor pusat di negara asal, dan pabrik produksi yang mengambil lahan dan suplai bahan dari negara berkembang. “Namun, hasilnya tetap dipasarkan pertama kali di negara mereka,” tegasnya.
Masyarakat pertama yang merasakan dampak dari pola mengakar ini adalah kaum buruh. Menurut Alnick, hal ini disebabkan oleh perusahaan multinasional yang cenderung mencari buruh murah dengan produktivitas yang setara dengan buruh di negara maju yang upahnya jauh lebih tinggi. Hal ini juga diperparah oleh ketergantungan perusahaan eksportir dengan permintaan pasar yang di kontrol penuh perusahaan multinasional. “Yang seharusnya kekayaan kita bisa dinikmati oleh masyarakat, justru malah diboyong ke negara asal mereka,”ujarnya.
Alnick menjelaskan bahwa dalam proses ekonomi tersebut terdapat elemen besar, yaitu value commodity chain. Istilah ini merujuk pada rantai nilai kerja yang menjadi mekanisme perpanjangan kontrol dan kekuasaan perusahaan multinasional. Dengan kata lain, proses industri dari suatu negara dapat dikuasai oleh negara lain. “Melalui rantai nilai kerja ini, mereka mampu mendeteksi kegiatan produksi, teknik produksi, dan kegiatan ekonomi di suatu negara tanpa sekalipun harus hadir secara langsung atau menguasai secara langsung, ” ucap Alnick.
Selain itu, upah buruh juga menjadi perkara sentral. Menurut Alnick, ada perbedaan upah antara negara maju yang berperan sebagai imperial dengan negara berkembang yang menjadi tawanan. Kondisi ini menyiratkan struktur ekonomi yang dianggap tidak adil. Para buruh tidak mendapatkan kesetaraan dan kekayaan yang diborong oleh perusahaan luar.
Jika suatu negara berpartisipasi dalam rantai ini, maka negara tersebut juga akan maju. Namun, hal ini akan membuat negara tersebut bergantung terhadap perusahaan multinasional maupun global north. Mereka tidak mampu menciptakan perekonomian yang otonom dan memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. “Seharusnya kekayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri, bukan diborong oleh oknum luar,” ujar Alnick.
Alnick menegaskan bahwa sudah banyak literatur kebijakan negara ini untuk menangani isu tersebut, penulis memperdalami proses bukan dari perspektif penjajah, melainkan dari perspektif perusahaan pemasok. Di proses penulisan buku ini, Intan telah mewawancarai manajer dan eksekutif perusahan-perusahaan pemasok. “Mereka mengeluh bahwa transfer pengetahuan yang terjadi itu hanya untuk mendukung produksi, dan bukan untuk memajukan pengetahuan Indonesia,” jawab Alnick.
Sebagai penutup diskusi, Arif menegaskan kembali ide yang digagas oleh Intan dalam buku Rantai Nilai. Jika diteropong dengan ajaran Marx, sejatinya upaya meningkatkan perekonomian di suatu negara tanpa melibatkan militer tidak dapat dipandang sebagai praktik imperialisme. Dalam teorinya, Marx mendefinisikan imperialisme sebagai upaya pendudukan melalui proses militer. “Intan Suwandi berupaya mengkritik pandangan itu dengan menjelaskan mengapa dan seperti apa imperialisme yang hadir dengan wajah baru,” tandas Arif.
Penulis: Muhammad Ilyan, Muhammad Wildan, dan Titik Nurmalasari (Magang)
Penyunting: Sidney Alvionita
Fotografer: Akhmad Azza Luthfika (Magang)