Senin (01-11), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Indonesia mengadakan diskusi daring yang bertajuk “Jejak Langkah 3 Tahun Jokowi: Membaca Situasi Demokrasi Diambang Jurang Resesi”. Diskusi ini merupakan bentuk kritik terhadap hasil kinerja Jokowi selama periode kedua terkait deselerasi ekonomi domestik. Empat narasumber hadir dalam diskusi, yakni Rivanlee Anandar, Wakil Koordinator KontraS; Faisal Basri, ekonom; Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera; dan Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies. Renie Aryandani, Ketua BEM STH Indonesia Jentera, turut hadir sebagai moderator.
Membuka sesi diskusi, Renie mengungkapkan bahwa keadaan ekonomi Indonesia tiga tahun terakhir mengalami kerusakan. Dia mengatakan bahwa tahun 2023 akan menjadi masa gelap sektor ekonomi dalam negeri. “Bentuk carut marut ekonomi itu adalah resesi,” ujar Renie.
Rivanlee menambahkan bahwa Indonesia telah mengalami resesi ekonomi sejak tahun 2020, yang kemudian dibarengi dengan melemahnya praktik demokrasi. Dia mengatakan bahwa Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 menimbulkan kejanggalan selama proses pelaksanaannya. Kejanggalan ini menyebabkan munculnya pertentangan dari masyarakat. Menurut Rivanlee, bukti kronologis tersebut menjadikan resesi ekonomi dalam negeri berlanjut saat ini hingga tahun 2023.
Sejalan dengan itu, Faisal menegaskan kemunduran ekonomi dalam negeri tak hanya soal resesi, tetapi juga adanya deselerasi. Ia meninjau deselerasi ekonomi dalam negeri ini dibuktikan dengan kasus penerimaan pajak negara yang menurun, suku bunga pinjaman naik, dan anjloknya nilai tukar rupiah. Faisal menilai bahwa pemerintah ingkar janji dalam menguatkan sektor investasi negara. Menurutnya, kondisi investasi negara juga mengalami kemunduran. Ia menjelaskan bahwa upaya Jokowi menghindari middle-income trap seharusnya mengalami kenaikan, tetapi sekarang justru tanpa kepastian. “Jokowi tidak dapat menghindar dari middle-income trap ini sehingga terjadi tren penurunan dalam perekonomian,” ujar Faisal.
Menyambung Faisal, Bhima menyatakan bahwa deselerasi ekonomi yang terjadi sekarang tidak direspon pemerintah. Ia berpendapat bahwa pemerintahan era Jokowi belum menghasilkan kebijakan yang antisipatif untuk melindungi rakyat. Bhima menilai bahwa kabar resesi ekonomi ini meresahkan masyarakat. “Pemerintah harusnya tanggap dan membuat kebijakan pemulihan ekonomi,” tuturnya.
Bivitri mengutarakan pendapatnya bahwa realisasi anggaran yang dilakukan Jokowi periode kedua ini tak sesuai dengan tujuan awalnya. Ia menambahkan bahwa kekuatan ekonomi negara harus dipulihkan. “Pemulihan kekuatan ekonomi harus disikapi dengan menciptakan pemerintahan antikorupsi,” tuturnya.
Bhima mengatakan bahwa jatuhnya perekonomian sepanjang kepemimpinan Jokowi periode kedua perlu menjadi refleksi. Masyarakat harus turut serta menyikapi dengan terus mengawasi jalannya perekonomian. Jika masyarakat diam dan tidak mewaspadai, menurut Bhima, maka deselerasi ekonomi akan berlanjut menuju krisis. “Resesi ekonomi harus dikawal bersama agar kerusakan perekonomian negara tidak makin parah,” pungkas Bhima.
Penulis: Farida Ratnawati, Ferdinan Dwi Kurnia Putra, dan Sofia Natalia Zebua (Magang)
Penyunting: Estha Gusmalia Kustika
Fotografer: Ruly Andriansah (Magang)