Ruang pertemuan virtual itu relatif senyap. Profil-profil yang terpampang di layar hanya menampilkan nama tanpa suara. Dari ratusan orang, tidak lebih dari lima orang saling lempar gagasan. Padahal, pertemuan tersebut mempunyai wewenang untuk mengatur keberlangsungan Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (KM UGM). Sebelum pertemuan itu, KM UGM diakui sebagai representasi dari seluruh mahasiswa, sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KM UGM. Setelah pertemuan itu, klaim representasi tersebut runtuh. KM UGM tidak lagi merepresentasikan seluruh mahasiswa.
Pertemuan tersebut merupakan Kongres Akhir Periode KM UGM 2021 yang diinisiasi oleh berbagai elemen mahasiswa UGM. Kongres yang rutin dilaksanakan di akhir periode kepengurusan KM UGM ini diadakan pada Selasa, 21 Desember 2021. Salah satu pembahasan pokok adalah tentang AD/ART. Pasal 6 AD KM UGM yang berbunyi, “KM UGM tidak dapat dibekukan atau dibubarkan” mendapat sorotan dari peserta kongres. Beberapa peserta kongres, mengacu pada Bab III AD KM UGM, menganggap pasal tersebut bertentangan dengan sifat demokratis KM UGM. Oleh sebab itu, berbagai elemen mahasiswa yang menghadiri kongres berupaya menghapus Pasal 6 AD/ART KM UGM pada Kongres Akhir Periode, yang pada akhirnya berhasil dihapuskan.
Menurut Anju, perwakilan Komedi Mahasiswa UGM, pasal tersebut bermasalah karena tertulis bahwa KM UGM tidak dapat dibubarkan. Komedi Mahasiswa UGM merupakan kelompok yang aktif menolak konsep dan praktik “negara mahasiswa”, khususnya di UGM. Anju menyatakan bahwa tidak ada yang spesial dari KM UGM yang membuat ia tidak dapat dibubarkan. “Bahkan, [Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2017] KM UGM ini disebut Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) biasa,” tambah Anju. Ia juga tidak menemukan alasan rasional mengapa KM UGM tidak dapat dibubarkan.
Hal berseberangan disampaikan oleh Adib, Pimpinan Satu Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, di AD/ART terbaru, tepatnya di Pasal 9, disebutkan bahwa KM UGM adalah lembaga nonstruktural. “Lantas, apa yang dibubarkan? Jika ingin membubarkan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa KM UGM adalah organisasi struktural karena yang dibubarkan adalah strukturnya,” tegas Adib.
Pep selaku mantan Wakil Ketua BEM KM UGM Bidang Relasi menyampaikan, mempertahankan Pasal 6 AD/ART KM UGM merupakan kesalahan besar dalam penyelenggaraan negara mahasiswa. Pep menambahkan bahwa fokus terbesar Kongres Akhir Periode terletak pada alasan KM UGM bersifat abadi dan tidak dapat dibubarkan. “Kondisi semacam itu menyebabkan munculnya banyak penyakit turunan dari konsep yang seakan-akan ditetapkan secara mutlak dan tidak bisa diganggu gugat,” sambung Pep. Sebelumnya, Pep sempat menjabat sebagai Wakil Ketua BEM KM UGM Bidang Relasi, meskipun pada akhirnya ia mengundurkan diri.
Alasan lain yang membuat penghapusan Pasal 6 dalam AD/ART menjadi topik utama kongres adalah pelanggaran AD/ART KM UGM oleh Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM). “Pasal 25 ART KM UGM 2020 menyatakan KPUM itu dibentuk dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum Pemilwa,” terang Anju. Namun, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Keluarga Mahasiswa Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Mahasiswa justru menyatakan bahwa KPUM dibentuk selambat-lambatnya 4 bulan sebelum Pemilwa. Menurutnya, pelanggaran tersebut menjadi pemantik yang cukup besar untuk membawa isu penghapusan Pasal 6 AD/ART KM UGM menjadi topik utama kongres. “Konsekuensi hukumnya adalah UKM [KM UGM] ini tidak pernah ada,” lanjut Anju.
Tata Cara Pembubaran KM UGM
Aditya Halimawan, Wakil Ketua BEM KM UGM Bidang Analisis dan Pergerakan, turut mengomentari hal-hal terkait tata cara pembubaran KM UGM pasca-Kongres Akhir Periode. Aditya menyebut bahwa AD/ART setelah Kongres Akhir Periode memang memuat tata cara pembubaran KM UGM melalui jalan referendum dengan panitia kerja khusus. Namun, ia juga menyebut bahwa saat ini belum ada langkah sampai tahap itu, termasuk upaya konkret pengumpulan 300 Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). “Sudah tidak ada lagi yang vokal tentang isu pembubaran,” ucapnya. Berbeda dengan Pep, Aditya lebih memilih perbaikan KM UGM melalui pembentukan tim kajian dan ad hoc ketimbang membubarkan struktur yang sudah ada.
Tata cara pembubaran KM UGM merupakan agenda yang tidak dibahas pada Kongres Akhir Periode. Berangkat dari keterangan Pep, inti dari pembahasan Kongres Akhir Tahun adalah mengenai pengguguran pasal yang menyatakan bahwa KM UGM tidak dapat dibubarkan. “Terkait tata cara pembubaran, baik referendum ataupun nanti ada diskusi lanjutan terkait konsep yang lebih ideal, itu urusan nanti,” ungkap Pep. Meskipun pada sisi kelompok pro pembubaran, Pep menyatakan bahwa KM UGM tidak bisa dibubarkan begitu saja tanpa ada rencana setelahnya. Menurutnya, pembubaran tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat akan banyak sekali yang akan dikorbankan, termasuk pengetahuan, akses, dan juga SDM yang dimiliki KM UGM.
Senada dengan Pep, Adib juga menyatakan bahwa pembahasan pada Kongres Akhir Periode hanya menyoal kemungkinan pembubaran KM UGM. Konteks pembahasan pada kongres tersebut disampaikan oleh pihak-pihak yang pro terhadap pembubaran KM UGM. “Pada akhirnya, informasi yang aku peroleh adalah tetap bisa dibubarkan,” tutur Adib. Untuk persoalan mekanisme pembubaran, Adib mengatakan bahwa hal tersebut akan dapat diusulkan pada Kongres Istimewa. Adib menambahkan, bahwa semua peserta yang turut hadir di Kongres Istimewa KM UGM nantinya akan memiliki kedudukan yang setara dan semua dapat mengutarakan pendapatnya.
Saat Kongres Akhir Periode, akhir dari pembahasan tata cara pembubaran KM UGM adalah dibentuknya “Tim 11” yang merepresentasikan segala elemen dalam KM UGM. Pernyataan tersebut disampaikan oleh salah satu anggota Tim 11, Feri Agung Hermawan. Tahap selanjutnya akan dibahas pada Kongres Istimewa pada tanggal 26 April 2022. Di situ, Tim 11 akan mempublikasikan seluruh hasil keputusan terkait permasalahan KM UGM dan keputusannya bersifat final. “Nantinya Tim 11 akan memberikan rekomendasi tindak lanjut yang bersifat final, forum tidak bisa mengubah akan tetapi hanya sebatas menanggapi,” ujar Feri. Ia juga berharap kehadiran Tim 11 akan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dan membuat KM UGM kembali kukuh serta konsisten.
Namun, setelah Kongres Istimewa dilaksanakan pada 26 April 2022, tidak ada kinerja signifikan yang dilakukan oleh Tim 11. Keterangan tersebut disampaikan oleh salah satu anggota Tim 11, Ardhias Nauvaly. Dhias juga menuturkan bahwa tidak ada laporan pertanggungjawaban oleh Tim 11 ketika diminta pada Kongres Istimewa. “Keberadaan Tim 11 ini tidak jelas, dan pada saat itu, aku merekomendasikan agar Tim 11 ini dibubarkan saja,” lanjut Dhias.
Kenapa KM UGM Harus Dibubarkan?
Berkaitan dengan alasan untuk membubarkan KM UGM, Pep lebih mengarahkan fokus pada konsep negara mahasiswa yang menurutnya tidak benar-benar kuat. Menurutnya, ketika konsep negara mahasiswa tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka tidak layak lagi disebut sebagai suatu konsep negara. Pep juga coba membenturkan dengan pasal yang menyatakan KM UGM tidak dapat dibubarkan yang menurutnya merupakan bentuk pengekangan ekspresi. “Kita tidak bisa terus-terusan memenjarakan diri pada suatu konsep yang mungkin saja sudah usang,” ucapnya. Jika tujuannya bukan pembubaran, Pep berpendapat bahwa harus ada upaya atau opsi untuk meninjau ulang sistem pengelolaan maupun konsep negara mahasiswa.
Feri menyebut bahwa pelanggaran amanah Kongres Akhir Tahun juga turut menjadi faktor pertimbangan pembubaran KM UGM. Ia mengambil contoh pemilihan hakim agung Mahkamah oleh BEM KM yang melampaui batas tenggat waktu 2 bulan setelah kongres, yakni pada tanggal 22 Februari 2022. Berkaca dari kondisi tersebut, Feri menyayangkan pihak BEM KM yang seakan-akan tidak serius dan menganggap remeh dalam menindaklanjuti amanah kongres. Feri menambahkan, keterlambatan pelantikan hakim agung pada rapat paripurna melanggar ART KM UGM Pasal 24 ayat 4 yang berarti hal tersebut juga merupakan pelanggaran konstitusi. “Pelanggaran AD/ART ini tidak bisa dianggap remeh. Kalau tidak menaati mending dibubarkan saja,” tukasnya.
Beranjak dari alasan konstitusional, Feri menyebut suasana politik destruktif di dalam sistem KM UGM juga dapat dijadikan alasan untuk membubarkan. “Ini bukan sistem negara, tapi sistem politik yang jahat,” ucap Feri. Dalam konteks representasi, Feri menganggap terjadi klaim sepihak yang dilakukan oleh KM UGM yang mana berbanding terbalik dengan hasil Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Meskipun pro terhadap pembubaran, Feri tidak sependapat dengan pihak pro pembubaran KM UGM tanpa melalui prosedur. “Saya orang yang setuju membubarkan dengan alasan yang kuat melalui cara-cara dan prosedur yang ada,” tegasnya.
Secuil Soal Kongres Istimewa
Amanah Kongres Akhir Periode menyepakati adanya Kongres Istimewa KM UGM untuk menyelesaikan sengketa kongres yang terjadi. Menurut Hanif Bancin, perwakilan dari Partai Sayang Mama, Kongres Istimewa adalah suatu hal yang terkesan penuh dengan seremonial karena tidak pernah ada di tahun-tahun sebelumnya. “Kongres Istimewa ini tidak melalui mekanisme yang ada di AD/ART ataupun di undang-undang MPM,” tuturnya. Hanif menjelaskan bahwa seharusnya Kongres Istimewa menjadi output dari proses interpelasi, bukan dari usulan amanah kongres.
Sementara itu, Feri menyoroti prakongres yang diadakan sebelum Kongres Istimewa. Padahal, tambahnya, hal tersebut tidak diatur dalam AD/ART. Jadi, imbuhnya, prakongres itu inkonstitusional. Saat Kongres Istimewa berlangsung, Fery menyadari ada pasal dalam AD/ART yang dihapus oleh MPM. Pasal yang dihapus adalah Pasal 28 Ayat 3. Feri mengecek pasal, yang disebutnya sebagai pasal yang dikorup oleh MPM, tersebut saat menjadi pimpinan sidang. “Di Pasal 28 Ayat 3 seharusnya referendum dianggap sah jika setengah warga UGM memilih dan termasuk suara golput dihitung setuju membubarkan, kata itu yang dihapuskan,” tegasnya. Selain itu, menurut Feri, persoalan amanah kongres lain seperti pelantikan Mahkamah KM UGM juga dilanggar oleh MPM.
Seandainya KM UGM Bubar
Ketika berbicara mengenai praktiknya, konsep negara mahasiswa dalam KM UGM dirasa telah memiliki banyak sekali kemudaratan. Menurut Aditya, hal-hal berbahaya seperti doxing, politik praktis, dan kampanye hitam menyebabkan suasana perpolitikan yang kurang sehat di dalam KM UGM. Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut juga menjadi alasan bagi segelintir orang untuk menarasikan pro terhadap pembubaran KM UGM. Namun, Aditya juga menegaskan kepada pihak pro supaya mempersiapkan konsep pengganti KM UGM alih-alih hanya mengusulkan pembubaran yang belum tentu juga merepresentasikan mahasiswa. “Kenapa tidak ada komisi konstitusi atau tim kecil sebagai perumus kebaruan itu ketika memang ingin membubarkan. Itu yang tidak dipersiapkan,” terangnya.
Hingga tulisan ini terbit, belum ada opini yang secara tegas dapat menjawab bagaimana kondisi KM UGM setelah dibubarkan. Pep mengandaikan apabila KM UGM dibubarkan, maka akan banyak sumber daya berupa pengetahuan, akses, dan juga SDM yang dikorbankan. KM UGM sebagai konsep negara mahasiswa juga memiliki nilai sebagai wadah untuk gerakan mahasiswa. Pep khawatir apabila KM UGM dibubarkan, pergerakan yang sering dilakukan oleh aliansi mahasiswa maupun pihak-pihak yang bernaung di bawah payung KM UGM akan terdampak. “Ketika KM UGM dilemahkan atau diruntuhkan, bidang pergerakan mahasiswa mungkin akan redup untuk sementara,” jelas Pep.
Referendum: Perihal Perkembangan Nasib KM UGM
Salah satu kesepakatan dalam Kongres Istimewa adalah Referendum KM UGM. Menurut Dhias, salah satu penggagas ide referendum, fungsi utama referendum ialah sebagai alat uji tingkat kepedulian mahasiswa terhadap KM UGM. Hal yang melatarbelakangi gagasan Dhias tersebut adalah tidak jelasnya partisipan kongres, dinamika kongres, dan tingkat partisipasi Pemilwa. “Karena angka partisipasi tidak memuaskan, aku pikir perlu untuk mengajukan referendum,” tegas Dhias.
Dhias menilai bahwa tingkat kepedulian mahasiswa UGM terhadap eksistensi KM UGM juga dapat dilihat dari jumlah partisipan ketika nantinya referendum dilaksanakan. Kepedulian tersebut akan terbukti ketika suara partisipasi mahasiswa dalam referendum sebesar 50 persen plus 1. Menurut Dhias, jika hasil referendum menyatakan suara yang kurang dari besaran tersebut, maka akan menunjukkan ketidakrelevanan dan ketidakpedulian mahasiswa terhadap KM UGM. “Peduli ini berarti keputusan untuk mempertahankan atau membubarkan melalui partisipasi dalam referendum,” pungkasnya.
Untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Istimewa mengenai Referendum KM UGM, Panitia Kerja (Panja) Referendum pun akhirnya dibentuk. Panja Referendum ini bertugas untuk menangani segala hal yang berkaitan dengan Referendum KM UGM. Namun, kelanjutan progres Panja Referendum masih tidak jelas dan belum ada perkembangan, setidaknya sampai tulisan ini diunggah. Salah satu anomali yang terjadi dalam pelaksanaan referendum adalah dikeluarkannya Feri yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Panja Referendum. “Sampai saat ini memang masih belum ada perkembangan atau tindak lanjut mengenai referendum,” pungkas Dhias.
Adib selaku Pimpinan Satu dari pihak yang berwenang menyelenggarakan referendum, yaitu MPM KM, juga masih belum memberikan pernyataan lanjutan. BALAIRUNG telah mencoba untuk menghubungi kembali untuk meminta konfirmasi. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, Adib tidak merespons sama sekali.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, Cahya Saputra, dan Putri Kusuma
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Ilustrator: Dwi Nanda Renaldy