Semua bisa dibentuk. Klub sepakbola, grup orkes dangdut, atau negara. Sebutlah mereka organisasi, dibentuk oleh manusia, dipersatukan cita-cita. Lantas ketika manusia-manusia ini berselisih cita-cita, hanya ada dua opsi: reform, atau bubar. Sudah banyak kisah organisasi yang bubar grak sebab ketidaksamaan ide. Blackburn Olympic, klub kelas pekerja pertama yang merengkuh Piala FA (Inggris), bubar hanya enam tahun setelah juara. Rhoma Irama pun sudah mencetuskan bahwa bubarnya Soneta adalah mungkin, kalau bukan harus. Lebih banyak lagi contoh yang reform, baik berubah bentuk maupun merger.
Hop, tapi nanti dulu. Sebelum bubar atau reform, ada perundingan. Dalam perundingan inilah argumen dibentur, sanggahan disanggah. Di sinilah relevansi dan fungsi organisasi diuji oleh anggotanya. Termasuk pada negara, baik yang âbetulanâ maupun yang dibuat-buat oleh mahasiswa. Di UGM, negara itu bernama Keluarga Mahasiswa (KM) UGM.
Sebenarnya, ujian atas KM UGM sudah ada, namanya Kongres Akhir Tahun. Tidak heran, sebab di organisasi mana pun, kongres adalah momen dan wahana betumbuk. Tumbukan ide dan formula, bahkan bisa saling tumbuk kepalan tinju. Contoh kedua tidak patut ditiru, mengingat kebiasaan menuntaskan segala urusan dengan bogem mentah sejalan dengan dangkalnya akal. Simak saja kelahiran gagasan besar suatu organisasi yang dibidani majelis kongres.
Ambil contoh Manifesto Komunis, panduan kaum Komunis sejak abad ke-19, diusulkan dalam Kongres Ke-II Liga Komunis pada Desember 1847. Engels dan Marx yang menggarap. Sementara âEl Patronâ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Nurcholish Madjid, pertama kali mewartakan inti gagasan dari semacam-manifesto untuk himpunannya pada kongres ke-9 di Malang. Sisanya, kita tahu, gagasan itu mengkristal, ditetapkan sebagai manifesto HMI yang berjudul Nilai Dasar Perjuangan (NDP).Â
Bagaimana dengan Kongres KM UGM? Jangankan berharap munculnya gagasan besar, ada upaya untuk bicara selain âAfirmasi Pimsidâ saja sudah harus diapresiasi. Kongres KM UGM kini minim tumbukan ide. Kongres gagal untuk jadi medan ujian KM UGM. Padahal, bila tengok sejarah, Kongres KM UGM beberapa kali jadi ajang betumbuk. Kongres KM UGM 1994 menyepakati keluarnya Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa dari KM UGM. Konsekuensi logisnya, klaim KM UGM sebagai pusat kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa, mestinya sudah runtuh.Â
Lalu Kongres KM UGM 2016, ramai oleh agenda Boikot BEM KM. Tawaran wara-wiri. Ada yang usul bubar total, ada pula yang ingin mempertahankan asal KM UGM dipermak habis. Satu formula yang diperdebatkan: konfederasi. Berkaitan dengan relasi âBEM KM sebagai Negara Pusatâ dengan âLembaga Eksekutif Fakultas sebagai Negara Bagianâ. Hasilnya, nyaris tidak ada, selain upaya membakukan hubungan dengan istilah âfederasi, disesuaikan dengan KM UGMâ. Sebuah pernyataan yang kelewat kabur.
Setelah itu, kosong. Tidak ada tumbukan di (Kongres) KM UGM. Kita hidup, di KM UGM, dari Pemilwa ke Pemilwa. Di tengahnya adalah hampa. Tidak ada apa-apa selain individu dan kelompok yang sibuk dengan program kerja organisasinya masing-masing, dan tidak ada salahnya pula. Namun, akibatnya KM UGM kelewat pendiam. Dan kata seorang nelayan, ikan yang pendiam akan lebih cepat mati.Â
Golput Selalu Menang
Kelewat pendiamnya KM UGM berimbas pada rakyat yang jadi masa bodoh terhadapnya. Selama 4 tahun, tidak ada orang yang lebih sakti di Pemilwa UGM ketimbang golput. Sejak 2018, jumlah golputnya selalu di atas 50%. Paling anjlok tentu tahun kemarin, saat 73% mahasiswa bahkan berat untuk membuka Simaster dan memijit tampang Calon Ketua BEM yang diminati di gawai masing-masing.
Ada yang berkilah, angka golput bukan alat ukur yang absah. Pertanyaannya, lantas mistar apa lagi yang perlu dipakai untuk mengukurnya? Begini, di alam demokrasi liberal yang menganut one man one vote, berduyun ke kotak suara dan mencoblos kandidat adalah selemah-lemahnya iman. Bahkan tidak perlu berduyun, di Pemilwa UGM yang sejak 2020 hanya perlu membuka gawai dan memijit layar, tiga perempat populasinya pun tetap ogah melakukannya. Apalagi para golput itu diminta datang ke kongres untuk betumbuk. Sebagai informasi, Kongres KM UGM 2021 tidak pernah dihadiri oleh lebih dari seratus orang. Semua tidak peduli. Lagi pula, tidak ada salahnya untuk tidak peduli.
Golput makin sakti bukan hanya di UGM. Ini adalah tren yang menguat dan menular. Pemira (Pemilihan Raya) UI menghasilkan 79% golput, meski dilaksanakan daring pula. Bahkan, tahun sebelumnya, dengan jumlah pemilih tetap yang hanya berkurang katakanlah empat ribu, didapat angka 73% yang golput.Â
Contoh lain yang agak rendah, tapi tetap anjlok, adalah ITS. Sejak 2019, golput selalu di atas 61% dan terus naik tiap tahunnya. Rekap lengkap golput pada Pemira di berbagai kampus bisa disimak di sini.
UNILA, lebih tidak karuan. Bahkan hanya 4.000 mahasiswa yang mendaftar jadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan hanya setengahnya yang memilih untuk âmemilihâ. Sebagai bayangan, 4.000 mahasiswa setara dengan setengah (bahkan kurang!) peserta PPSMB UGM 2022. Bayangkan, bila pakai jumlah DPT Pemira UNILA, koreografi bendera Indonesia pada PPSMB UGM hanya akan membentuk warna merah atau putihnya saja.
Alat Uji Bernama Referendum
Bila kongres sebagai wahana uji sudah tidak dilirik. Kanal partisipasi paling sederhana, Pemilwa, sudah ogah ditengok. Maka ada satu opsi yang perlu disusuri untuk menguji relevansi KM UGM: referendum. Riak terjadi, ketidaknyamanan itu pasti. Sebab, itu tujuannya. Ikan perlu dibuat lincah dari tangkapan hingga ke gudang lelang agar tetap segar. Demikian pula KM UGM, perlu dibuat riak agar muncul tumbukan. Wabilakhir, agar tidak âmatiâ.
Sebentar, pasti ada yang protes soal frasa âreferendum sebagai alat ujiâ. Yah, begini lah bila membaca sesuatu kelewat tekstual dan jumud. Kilahnya, referendum bukanlah alat uji, melainkan perangkat pembubaran negara mahasiswa bernama KM UGM. Rujukannya adalah AD/ART KM UGM Pasal 25 ayat 1 dan 2 yang berbunyi demikian:Â
- Pembubaran KM UGM dilakukan dengan Referendum Semesta.
- Referendum Semesta adalah pemungutan suara untuk memutuskan suatu keputusan strategis, dalam hal ini pembubaran organisasi yang melibatkan semua anggota suatu organisasi.
Padahal, perihal ini harusnya tidak perlu menguras energi untuk membahasnya. Energi mereka baiknya disimpan saja untuk meyakinkan massa bahwa negara mahasiswa KM UGM masih perlu dipertahankan. Namun, nanti dulu. Sekarang, biar saya jawab. Begini, referendum sebagai alat uji adalah argumen, tafsir saya atas sifat âalat iniâ. Pertama, referendum diikuti oleh semua mahasiswa atau siapapun yang disepakati sebagai DPT (katakanlah, mahasiswa aktif). Pada poin ini, cakupan referendum bersifat universal di seluruh wilayah kedaulatan negara mahasiswa KM UGM.Â
Kedua, opsi bubar atau bertahan merupakan ujian atas relevansi dan klaim kebermanfaatan dari KM UGM di mata DPT. Bahkan, bagi saya, bila saja yang ikut referendum sudah lebih dari 50% DPT, belum bicara opsi yang mereka pilih, itu sudah satu pencapaian tersendiri. Bila bare minimum ini tercapai, maka setidaknya KM UGM sudah dipedulikan oleh warganya. Entah peduli sehingga mau pertahankan atau peduli sebab tidak berguna sehingga mau bubarkan. Sifat universal dan genting dari referendum inilah yang mengantarkan saya pada tafsiran bahwa dia merupakan âalat ujiâ bagi KM UGM.
Namun pada akhirnya, kelompok âoposanâ ini selalu mengulang argumen tekstual tersebut 1001 kali meskipun sudah ditampik 1000 kali. Ini mungkin adalah sanggahan ke 1001 kalinya dan dalam bentuk tulisan padu. Bukan di kolom komentar, apalagi pesan-pesan anonim di grup anonim.
Kalau KM UGM selalu mengedepankan identitas mahasiswa yang akrab dengan produksi ilmu pengetahuan (ketimbang identitas lainnya seperti pekerja atau masyarakat adat atau sekalian saja: pemodal-pemodal kecil), maka mestinya sepakat dengan argumen saya. Bahwa, bila referendum disepakati sebagai alat uji, tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Ilmu pengetahuan yang jadi intisari kehidupan mahasiswa sebagai insan akademia tidak akan berkembang bila tidak terus-menerus diuji.Â
Tidak ada ceritanya menolak untuk menguji gagasan, termasuk konsep KM UGM sebagai teori sekaligus kenyataan, hanya karena khawatir dengan hasilnya. Sama tidak masuk akalnya dengan Copernicus menggagalkan sederet eksperimennya hanya karena takut hasil risetnya berbunyi bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Kemudian sejarah bersaksi, yang berupaya melabrak Copernicus bukanlah ketakutannya. Adalah kekuasan yang takut sehingga mengerem pengujian Copernicus, betapapun, seperti yang dikisahkan sejarah: sia-sia.
Kekuasaan, dalam hal Copernicus, adalah gereja Katolik. Pada kasus referendum KM UGM, kekuasaan menubuh pada aktor-aktor yang terus berupaya mempertahankan ide dan struktur bernama negara mahasiswa. Baik yang ada di dalam BEM maupun MPM, atau yang ada di luar keduanya. Siapa saja mereka, perlu analisis ekonomi politik âSiapa Mendapatkan Apaâ untuk menjawabnya. Namun sayang tempatnya bukan di tulisan ini.Â
Referendum Now!
Kenyataannya, Referendum KM UGM mandek. Sejak disepakati untuk digulirkan pada 11 Mei 2022 oleh Kongres Istimewa, nyaris tidak ada progres. Pun ada, sangat lambat. Pada AD KM UGM Pasal 26 ayat 2, usul referendum ditindaklanjuti selama maksimal dua minggu sebagai Amanah Kongres dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Referendum oleh MPM KM UGM. Kemudian, oleh MPM, âditindaklanjutiâ di sini disitir jadi âupaya membentuk Panjaâ.Â
Konsekuensinya, tidak ada tenggat waktu untuk merampungkan formasi Panja. Tidak masalah mau Panja dibentuk 1000 tahun lagi, asal MPM sudah âmulai berupaya membentuknyaâ maksimal dua minggu setelah tanggal 11 Mei. Demikian dalihnya.
Pembentukan Panja oleh MPM pun kacau. Simsalabim, tidak ada rilis atau apapun, tiba-tiba muncul grup âPanja Referendumâ di LINE pada akhir Mei. Saya masuk ke grup tersebut sebagai Pengusul Referendum. Terbentang jarak sekitar dua minggu hingga akhirnya Panja ini rapat perdana, yakni pada 10 Juni. Di sana, terpilihlah Feri (Filsafat 18) sebagai Ketua Panja.Â
Esok harinya, rapat menyepakati bahwa Panja melalui akun Instagram akan merilis informasi seputar Panja dan referendum pada pertengahan Juni. Kebetulan, saya yang menyanggupi untuk membuat teks kontennya. Namun, hingga tenggat tiba dan teks rampung, hilal konten tak kunjung terlihat dari MPM.Â
Saat itu, kondisi Panja awut-awutan. Saya dan Feri meragukan kapasitas dan komitmen MPM. Sementara, Gielbran (Fapet 19) dan Kevin (FH 19) meragukan keabsahan Panja yang memang terbentuk secara simsalabim. Wabilkhusus, Kevin menekankan, soal anggota unsur individu. Sudah direkrut secara tertutup, jumlahnya juga hanya satu: Feri. Untuk itu, rapat pada pertengahan Juni memutuskan agar Panja dikembalikan kepada MPM untuk ditinjau ulang. Edan, sudah lelet dibentuknya, masih ditinjau ulang pula.
Hilal baru nampak nyaris sebulan setelahnya. Baru pada 15 Juli, MPM merilis informasi tentang referendum serta rekrutmen anggota Panja unsur individu. Lalu, seminggu setelahnya, pada 24 Juli, tetiba secara simsalabim pula dibentuk grup âPanja Referendum Baruâ. Sejak hari dibentuknya hingga jam ini, tidak ada obrolan apapun di sana.
Pada akhirnya, upaya menolak ataupun menghalangi referendum adalah sebentuk lupa. Bahwa, di kolong langit tempat manusia beranak pinak lalu mati, tidak ada yang abadi selain hukum-hukum alam. Klub sepakbola, orkes dangdut, atau negara (mahasiswa). Semua bisa dibentuk, semua bisa dibubarkan. Tapi tenang, saya bukan mau bubarkan, hanya mau menguji: perlu dipertahankan atau dibubarkan KM UGM ini. Lewat referendum tentunya. Agaknya, soal ini, saya terpaksa menyitir kutipan Kurt Cobain untuk mereka yang menahan referendum. âMereka bukan takut referendum, tapi takut dengan hasilnyaâ.
Penulis: Ardhias Nauvaly
Penyunting: Alfi Sakti
Ilustrator: Rona Iffah