Orde Baru menggoreskan catatan hitam dalam sejarah Indonesia. Kemenangan reformis pada tahun 1998 menjadi suatu momentum penting dalam proses panjang demokratisasi Indonesia
Judul Buku: Demokrasi Indonesia Pasca-Orba: Antara Inovasi, Stagnansi, dan Polarisasi
Judul Asli: Indonesia: Twenty Years of Democracy
Penulis: Jamie S. Davidson
Penerjemah: Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit: INSISTPress
Tahun Terbit: 2022
Tebal: iv + 156 halaman
ISBN: 978-623-6179-15-4
Jatuhnya rezim Soeharto menjadi momen besar dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Meski begitu, nasib dari demokrasi Indonesia masih dipertanyakan, bahkan setelah 23 tahun keberhasilan pejuang reformis melucuti kediktatoran Soeharto. Era setelah Orde Baru (pascaorba) telah cukup memberikan fakta dan bukti baru yang memantik diskursus demokratisasi Indonesia. Jamie S. Davidson menjadi salah satu tokoh yang tertarik untuk masuk ke dalam lingkaran diskursus tersebut. Bukunya yang berjudul Indonesia: Twenty Years of Democracy merupakan kajian mendalam mengenai fakta-fakta baru untuk menyelisik nasib demokrasi Indonesia setelah rezim antidemokrasi Soeharto.Â
Davidson mengajukan tiga argumen utama yang ia harap mampu menggambarkan kondisi demokrasi Indonesia pascaorba. Pertama, Davidson menyebut bahwa demokrasi Indonesia pascaorba tampak kuat jika dilihat dari perspektif komparatif, tetapi terlihat lemah apabila ditilik dari dekat. Proses pergantian kekuasaan di Indonesia pascaorba diterima dengan persepsi wajar dan sah oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini jauh berbeda dibanding beberapa negara lain. Thailand sempat mengalami beberapa kali kudeta militer. Liberalisasi politik di Myanmar mengakibatkan pembunuhan ribuan muslim Rohingya. Bahkan, di Filipina, sempat terjadi pembunuhan jurnalis yang berkaitan langsung dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Namun, ketika dilihat lebih dekat, demokrasi Indonesia masih ternodai oleh maraknya politisasi berbasis identitas. Kedua, Davidson berpendapat bahwa ketegangan dan inkonsistensi berperan penting dalam proses demokratisasi Indonesia. Menurutnya, perspektif tersebut merupakan kerangka yang tepat untuk mempelajari Indonesia. Ketiga, Davidson memandang, gagasan komparasi demokrasi selama dan setelah orba bersifat keliru. Kerangka semacam itu, menurutnya, mengaburkan fakta-fakta perubahan pada era pascaorba.Â
Davidson memandang demokrasi Indonesia sebagai sebuah proses yang panjang dan belum selesai. Untuk melihat perubahan dari setiap prosesnya, ia membagi Indonesia pascaorba menjadi tiga babak, yaitu inovasi, stagnansi, dan polarisasi. Dalam setiap babak, Davidson memfokuskan perhatian pada aspek politik, ekonomi, dan mobilisasi masyarakat berbasis identitas. Melalui pembagian fokus tersebut, Davidson bermaksud untuk memberikan cetak biru bagi pembaca dalam memetakan perkembangan demokrasi Indonesia pascaorba.
Dinamika Politik Indonesia Pasca-Soeharto
Davidson mengidentifikasi babak awal Indonesia, setelah lepasnya cengkraman Soeharto, sebagai era inovasi yang sarat akan reformasi. Pada masa pemerintahan B. J. Habibie, sebanyak 48 partai politik diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 1999. Sebelumnya, hanya tiga partai yang diijinkan untuk mendapatkan kesempatan dalam Pemilu rekayasa Soeharto. Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang memainkan peranan penting dalam urusan sosial dan politis di bawah Soeharto juga dihapuskan. Bahkan, kebebasan dan hak demokratis rakyat mendapatkan landasan konstitusional melalui amandemen UUD 1945, salah satunya dengan pendirian Mahkamah Konstitusi. Walaupun demikian, berbagai inovasi tersebut masih dibayang-bayangi oleh partai-partai era orba yang tetap bercokol.
Stagnansi merupakan definisi yang digunakan Davidson untuk menggambarkan demokrasi Indonesia masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Urbanisasi, kepribadian pemimpin partai, dan media massa memainkan peran signifikan dalam melemahkan akar sosial partai politik. Faktor tersebut membuat hati masyarakat terpikat pada partai-partai kecil baru yang dianggap sesuai dengan kehendak rakyat. Akibatnya, suara partai dominan mulai terkikis oleh partai baru. Kondisi tersebut memicu destabilisasi, pelemahan, dan terpecahnya sistem kepartaian yang dikenal sebagai deparpolisasi. Merespons hal tersebut, partai besar mulai mengetatkan prasyarat pengakuan âpartai nasionalâ. Imbasnya, jumlah partai yang diizinkan bersaing pada 2004 berkurang setengahnya dari partai yang berpartisipasi dalam Pileg 1999. Pengetatan juga dilakukan melalui persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres). Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, hanya partai atau koalisi dengan minimal 15% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berhak mengajukan calon Presiden dan Wapres. Selanjutnya, pada Pilpres 2009, pengamanan kursi Presiden dan Wapres dilakukan partai besar melalui pengetatan kembali prasyarat pencalonan menjadi minimal 20% dari jumlah kursi DPR. Stagnansi demokrasi masa kepemimpinan SBY juga diperparah dengan berlanjutnya praktik korupsi dan politik uang.Â
Kemunculan nama Demokrat dalam daftar panjang partai berskandal korupsi pada era SBY mengakibatkan partai tersebut kekurangan suara di parlemen. Demokratâtanpa melalui jalan koalisiâtidak mampu mencalonkan Presiden dan Wapres dalam Pilpres 2014 karena kurangnya suara di parlemen. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Gerindra mendapatkan âberkahâ dari kejatuhan Demokrat. Kala itu, Jokowi dan Prabowo memperoleh margin suara yang tipis. Jokowi, yang menang pada Pilpres 2014, dianggap sebagai produk demokrasi karena ia muncul dari kalangan di luar lingkaran elit. Di lain sisi, Prabowo masih mampu mendapatkan suara yang cukup banyak, terutama dari golongan ultranasionalis yang populis. Dalam bukunya, Davidson mengutip pendapat Mietzner (2014) yang beranggapan bahwa, hal ini menandakan jumlah masyarakat Indonesia yang tidak puas akan demokrasi gaya barat ternyata lebih banyak dari yang diduga. Kuatnya pendukung kedua kubu tersebut diperparah dengan keengganan Prabowo menerima kekalahan di Pilpres 2014. Hal ini diduga menjadi akar dari segregasi politik semasa pemerintahan Jokowi (Triwibowo, 2019). Babak demokrasi pascaorba inilah yang, oleh Davidson, didefinisikan sebagai era polarisasi.
Reformasi Ekonomi-Politik Pascaorba
Sektor ekonomi-politik Indonesia pascaorba terguncang oleh krisis yang melanda. Krisis tersebut mendorong pemerintah untuk menyetujui persyaratan ketat peminjaman dana dari International Monetary Fund (IMF). IMF berusaha untuk melakukan reformasi ekonomi di Indonesia dengan menghapus hak monopoli Badan Urusan Logistik dan privatisasi aset negara. Namun, upaya reformasi tersebut mengakibatkan banjir beras impor. Akibatnya, harga beras lokal naik dan berujung pada kegagalan. Mengatasi hal tersebut, IMF melancarkan praktik reformasi âgenerasi keduaâ dengan membentuk Pengadilan Niaga 1998, Undang-Undang (UU) antimonopoli, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). IMF, bersama World Bank, juga terus mengampanyekan praktik liberalisasi ekonomi dengan menciptakan regulasi-regulasi di sektor penting, seperti telekomunikasi (1999), minyak dan gas bumi (2001), listrik (2002), air (2004), hutan (2004), serta jalan (2004).
Namun, upaya liberalisasi IMF tidak berjalan lancar. Skandal korupsi yang melibatkan Pengadilan Niaga marak terjadi. Kinerja KPPU juga terhambat karena ketidakjelasan aturan yang tercantum dalam UU antimonopoli 1999. Sementara itu, regulasi-regulasi pun tidak berjalan sesuai dengan rencana lembaga-lembaga multilateral. Tercekik oleh inovasi-inovasi IMF menuju liberalisasi ekonomi, Megawati memutuskan untuk memberhentikan keikutsertaan Indonesia dalam program persyaratan pinjaman pada 2003. Selain memutus persyaratan IMF, pemerintahan Megawati juga membatalkan undang-undang yang meliberalisasikan sektor listrik melalui MK. Pelepasan ketergantungan pada IMF ini membuka kelonggaran kebijakan pada sektor ekonomi untuk masa pemerintahan berikutnya.
Keleluasaan sektor ekonomi yang dibuka Megawati tidak dimanfaatkan dengan seksama oleh pemerintahan SBY. Progresivitas pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia lantas membuat SBY dan jajaran pemerintahannya seolah berpuas diri. Kinerja ekonomi makro yang stagnan disebut-sebut sebagai serangkaian peluang yang terlewatkan. Peluang terlewat ini merujuk pada tidak adanya pengoptimalan atribut-atribut vital ekonomi yang meliputi aspek fiskal, pasar domestik, sumber daya alam, dan sebagainya. Kegagalan kinerja ekonomi makro pada era SBY menandakan adanya regresi upaya reformasi tata kelola ekonomi. Ledakan komoditas ekspor Indonesia, seperti minyak dan batu bara pada 2005 hingga 2011, berakibat pada pembukaan lahan besar-besaran di tanah-tanah luar pulau Jawa yang menghasilkan eksternalitas negatif, seperti kabut dan asap. Lebih jauh, kebobrokan infrastrukturâketidakmerataan listrik, inefisiensi fasilitas pelabuhan, dan kemacetan jalan rayaâjuga semakin langgeng.
Untuk membenahi kegagalan SBY pasca-ledakan komoditas, Jokowi melancarkan praktik pemusatan pemanfaatan sumber daya di bawah komando pemerintah pusat. Pemerintahan Jokowi berupaya untuk mengonsolidasikan atribut-atribut ekonomi yang lemah ke dalam enam sektor besar, yakni pertambangan, konstruksi, perbankan, properti, makanan, dan jalan tol. Upaya peremajaan ekonomi Jokowi, salah satunya, tercermin dalam pemenuhan janji perbaikan infrastruktur. Jokowi membangun 5.000 kilometer rel kereta api, 2.600 kilometer jalan raya, 1.000 kilometer jalan tol, 49 bendungan irigasi, 24 pelabuhan, dan pembangkit listrik dengan total kapasitas 35.000 megawatt. Walau demikian, restorasi ekonomi pada era Jokowi mengantongi sejumlah kekurangan. Pembangunan infrastruktur diragukan. Apakah proyek tersebut berorientasi pada masyarakat miskin? Melihat 35 ribu megawatt listrik yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit dibangun di pulau Jawa dan Bali. Pun, pembangkit listrik yang dioperasikan dengan energi batu bara berseberangan dengan janji Jokowi untuk mengurangi efek rumah kaca Indonesia.
Lebih lanjut, sentralisasi pada era Jokowi memupuk polarisasi praktik kapitalisme antara negara dan swasta. Proyek-proyek raksasa sepenuhnya berjalan di bawah kuasa tunggal pemerintah pusat sehingga Kamar Dagang dan Industri Indonesiaâperwakilan sektor swastaâmengaku merasa tersingkirkan karena tidak dilibatkan. Praktik kapitalisme yang terpusat untuk memperkuat institusi kepresidenan dan melancarkan desentralisasi disebut Davidson sebagai ciri ekonomi era Soeharto yang kembali terjadi pada era Jokowi.
Mobilisasi Kelompok Masyarakat Berbasis Identitas dalam Arus Politik
Seiring dengan inovasi kelembagaan setelah lengsernya rezim kediktatoran Soeharto, kelompok-kelompok identitas mulai bergerak untuk menuntut klaim atas sumber daya dan meraih kembali statusnya di tengah masyarakat. Mobilitas berbasis identitas ini melibatkan tiga kelompok minoritas paling terpinggirkan oleh Soeharto, yakni kelompok Islam konservatif, keturunan Tionghoa, dan suku luar Jawa. Gerakan tersebut, menurut Davidson, dimulai dengan kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal yang berseberangan dengan segala hal yang berbau Amerika, Zionis, atau liberal. Di samping itu, Islam Tarbiyah di lingkungan kampus, kelompok Wahabi, dan Islam Salafi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mulai tumbuh dan bergerak secara diam-diam. Pada akhir 1990-an, kelompok Islam mulai memasuki ranah elektoral untuk melancarkan aksi politisasi Islam dengan agenda penuntutan pemberlakuan Piagam Jakarta. Agenda ini, utamanya, diusung oleh Partai Keadilan dan Partai Bulan Bintang dalam Pileg 1999. Akan tetapi, partai-partai Islam mengalami nasib buruk dengan perolehan suara kurang dari 2 persen. Kegagalan tersebut memicu kekecewaan kelompok Islam menempuh jalan demonstrasi.Â
Seiring berkembangnya waktu, identitas Islam menjadi semakin sulit dipisahkan dari aspek kenegaraan. Religiusitas Islam berhasil menarik atensi ranah politik yang tercermin dalam beberapa penetapan kebijakan. Pada 2003, parlemen mengesahkan UU kontroversial tentang pengajaran Islam kepada peserta didik muslim secara menyeluruh, tak terkecuali di sekolah Katolik dan Kristen. Selain itu, pada 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mencecar sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ideologi-ideologi radikal seperti HTI yang berkembang dan tertanam di masyarakat disebut-sebut menggoyahkan reputasi Indonesia sebagai bangsa yang toleran akan kemajemukan. Kebijakan-kebijakan di atas menggambarkan keadaan stagnansi demokrasi Indonesia. Setelahnya, politisasi agama yang merebak memulai tumbuhnya bibit-bibit polarisasi.
Polarisasi politik identitas di ranah elektoral mulai mewarnai demokrasi Indonesia. Akibatnya, kekerasan berbasis politik identitas merebak secara ekstrem. Keganasan serangan terhadap kelompok LGBT meningkat. Pada awal masa pemerintahan Jokowi, pintu kebencian terhadap LGBT mulai terbuka dengan komentar menghasut dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi terkait komunitas LGBT di perguruan tinggi. Bahkan, Menteri Pertahanan menyebut bahwa komunitas LGBT merupakan suatu pengaruh asing yang perlu diperangi. Tak hanya itu, DPRD juga mengusulkan rancangan peraturan yang mendefinisikan homoseksual sebagai perilaku tidak bermoral.
Polarisasi politik berbasis identitas Islam membuncah dan tumpah ruah dalam aksi demonstrasi terkait kasus yang menyangkut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Persoalan dimulai ketika Ahok naik menjadi Gubernur DKI Jakarta dan tersangkut kasus dugaan pelecehan Islam. Di tengah ketegangan yang meningkat, Front Pembela Islam (FPI) dan HTI melancarkan aksi demonstrasi besar-besaran pada November 2016 yang berujung perusakan properti dengan kadar terburuk selepas Mei 1998. Kemudian, Ahok didakwa dengan kasus penistaan agama untuk menenangkan koalisi Islam. Imbas dari terseretnya Ahok dan kasus bernada agama tersebut adalah kekalahannya dalam putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang menjadikan Anies baswedan sebagai Gubernur. Kasus Ahok menandakan bahwa kontestasi politik identitas di ranah elektoral telah dinormalisasi menjadi standar wajar baru. Politisasi Islam pada kasus penistaan agama tersebut berhasil membuktikan bahwa kelompok Islam konservatif dalam arus sosial-politik telah berkembang menjadi lebih terorganisasi dan termobilisasi.Â
Penutup
Siapa yang dapat menjatuhkan demokrasi Indonesia? Davidson mengatakan bahwa kelompok nasionalisme Islamis-lah yang menjadi ancaman terbesar. Hal tersebut bukanlah mustahil. Dari babak ke babak, mobilisasi kelompok Islam memiliki kecenderungan untuk mampu memasuki aspek kenegaraan. Makin kuatnya polarisasi dan politik identitas mendorong adanya hal ini.
Dalam teori kenegaraan Rousseau, penguasa merupakan wakil dari rakyat yang menjalankan kemauan umum atau volontĂ© gĂ©nĂ©rale. Sebagai konsekuensi dari kedaulatan rakyat, masyarakat akhirnya dapat menggeser penguasa sesuai dengan arah kemauan umum. Normalisasi politik identitas mampu untuk memengaruhi kemauan umum masyarakat. Kemauan umum tersebut, kemudian, masuk ke dalam aspek kenegaraan melalui jalan partai politik. Partai politik memiliki fungsi mengartikulasi kepentingan masyarakat untuk selanjutnya diadvokasi menjadi kebijakan negara resmi (Jimly Asshiddiqie, 2020). Maka dari itu, dengan kuatnya polarisasi dan normalisasi politik identitas, anggapan Davidson yang menyatakan bahwa kelompok nasionalisme Islamis mampu untuk menjatuhkan demokrasi di Indonesiaâyang mayoritasnya beragama Islamâmenjadi bukan tidak mungkin.
Penulis : Rafi Akmal Raharjo, Irdha Dewi Mahardika
Penyunting : Mayasari Diana
Fotografer : Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati
Daftar Pustaka
Agustina, Widiarsi. âBeranda Nasional Menteri Pertahanan: LGBT Itu Bagian dari Proxy Warâ, Tempo, 23 Februari 2016. https://nasional.tempo.co/read/747529/menteri-pertahanan-lgbt-itu-bagian-dari-proxy-warÂ
Assihddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Batubara, Herianto.âMenristek: Saya Larang LGBT di Semua Kampus, Itu Tak Sesuai Nilai Kesusilaan!â, Detik, 24 Januari 2016. https://news.detik.com/berita/d-3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan.Â
Paskalis, Yohanes. âApa Itu Deparpolisasi?â Tempo, 12 Maret 2016. https://nasional.tempo.co/read/753011/apa-itu-deparpolisasi-ini-penjelasannya.
Prabowo, Dani. “Dahlan Iskan Pemenang Konvensi Demokrat.” Kompas, 16 Mei 2014. https://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/1536131/Dahlan.Iskan.Pemenang.Konvensi.DemokratÂ
Soehino. 2013. Ilmu Negara. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Triwibowo, Whisnu. “âCebongâ versus âKampretâ: Polarisasi politik pascapilpres 2019 semakin tajam.” The Conversation, 19 April 2019. https://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-politik-pascapilpres-2019-semakin-tajam-115477.Â
Quiano, Kathy. “Indonesia: Widodo wins presidency; Prabowo objects.” CNN, 21 Juli 2014. https://edition.cnn.com/2014/07/21/world/asia/indonesia-election-result/Â