Minggu (06-11), LETTS Talk: Let’s Talk About Sex n Sexualities mengadakan diskusi daring terbuka bertajuk “Budaya Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Melawan KDRT Melalui Transformasi Budaya”. Diskusi ini menghadirkan lima pembicara, dimulai dari Indiah Wahyu Andari, pendamping Rifka Anissa Women Crisis Center; Rachmad Hidayat, dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada, Myra Diarsi, Co-Founder Kalyanamitra; Siti Mazdafiah, Direktur Savy Amira Women Crisis Center; dan Jackie Viemilawati, psikolog Yayasan Pulih. Tujuan diadakannya diskusi ini adalah untuk mengulik hambatan dan tantangan dalam penanganan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia serta mencari sumber daya yang bisa digunakan untuk menangani kasus tersebut.
Diskusi dimulai oleh Siti yang menjelaskan gambaran umum tentang situasi KDRT di Indonesia saat ini. “Data dari Savy Amira menunjukkan bahwa ada kenaikan dalam kasus KDRT, terutama saat pandemi,” ungkapnya. Ia juga mengatakan bahwa data ini sejalan dengan data dari Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa terdapat tren peningkatan sebesar 50 persen dalam kasus KDRT serta gugatan perceraian.
Melanjutkan Siti, Indiah lalu memaparkan tentang faktor utama yang membuat tingkat kasus KDRT belakangan ini naik, yaitu pandemi. “Penyebab utamanya kemungkinan besar karena tinggal serumah dalam jangka panjang (saat pandemi),” ungkapnya.
Selain itu, sebagaimana dipaparkan oleh Indiah, terdapat faktor lain yang membuat kasus KDRT semakin marak terjadi, yaitu faktor komunal dari kebudayan keluarga di Indonesia. Menurutnya, kehidupan rumah tangga yang komunal dapat memengaruhi korban KDRT untuk enggan melaporkan kasusnya ke pihak berwenang. Ia lantas mencontohkan situasi ini dengan yang sudah terjadi di Yogyakarta. “Kultur keluarga di Yogyakarta merupakan persoalan komunal (keluarga besar). Keputusan ada di keluarga besar (sehingga) perspektif keluarga penting untuk menentukan kelanjutan (atau tidaknya) rumah tangga,” ucap Indiah.
Masih berbicara seputar keluarga, Rachmad turut menjelaskan bahwa institusi keluarga ternyata juga memiliki peran penting terhadap munculnya pandangan maskulin dan patriarkis yang ada di masyarakat. “Keluarga bukan hanya institusi yang menjamin bahwa identitas laki-laki terpenuhi secara maksimal, melainkan status perempuan secara sosial juga harus diakui melalui perkawinan,” ucap Rachmad. Hal ini diungkapkan olehnya sebagai penyebab ketimpangan relasi yang ada di kebanyakan keluarga sehingga menyebabkan KDRT.
Menyangkut seputar angka dari kasus KDRT, Jackie mengatakan bahwa selama lima tahun terakhir, angka pelaporan kasus pada Yayasan Pulih paling rendah 50 per tahun dan paling tinggi 200 per tahun. Kemudian, demi merespons angka-angka tersebut, Jackie bersama Yayasan Pulih melaksanakan program pencegahan dan penanganan terhadap kasus KDRT. “Program pencegahan berupa edukasi melalui media sosial dan program penanganan berupa konseling, psikoterapi, dan pemeriksaan psikologis untuk penyintas,” ujar Jackie.
Di sisi lain, Siti bersama Yayasan Savy Amira juga melakukan penanganan KDRT melalui aspek kebahasaan. “Mulai tiga tahun yang lalu, kami mulai mengembangkan yang namanya feminist narrative therapy,” papar Siti. Ia menjelaskan bahwa feminist narrative therapy merupakan metode yang menitikberatkan pada penguatan narasi-narasi otentik yang dimiliki oleh korban dan sejalan dengan pengalaman kekerasan yang mereka alami.
Namun, dari segala penanganan yang sudah disebutkan, Rachmad menuturkan bahwa produk hukum yang maskulin dan kultur patriarkis yang ada di masyarakat masih menjadi penghalang terbesar bagi korban KDRT. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk mengakses lembaga-lembaga hukum peradilan. “Untuk itu, perlu (juga adanya) reformasi hukum serta kultural untuk mengikisnya,” pungkas Rachmad.
Penulis: Ahmad Nurazky Ajri, Nandini Mu’afa Rahmatulloh, dan Aliensa Zanzibariyadi (Magang)
Penyunting: Hadistia Leovita
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara (Magang)