Youth Studies Centre Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM menyelenggarakan diskusi dalam rangka Pekan Pemuda 2022 bertajuk “Youth Against Violence: Berani Speak Up Soal Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” pada Senin (31-10). Diskusi ini menghadirkan Desintha Dwi Asriani, dosen Sosiologi UGM; Arie Eka Junia, perwakilan Fisipol Crisis Center UGM; serta Amellya Putri Kaharu dan Sri Wiyanti Eddyono, perwakilan satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM. Diskusi yang diselenggarakan secara luring di Fisipol UGM tersebut membahas relasi antara konstruksi sosial dengan upaya korban untuk berani bicara mengenai kekerasan seksual yang dialaminya.
Pertama-tama, Desintha memaparkan mengenai adanya konstruksi maskulin pada laki-laki dan feminin pada perempuan. “Laki-laki kerap dituntut untuk menjadi maskulin dan tidak ekspresif, sedangkan perempuan dituntut untuk menjadi sosok yang tidak banyak protes,” jelasnya. Ia mengungkapkan bahwa konstruksi tersebut menyebabkan korban kekerasan seksual, baik laki-laki dan perempuan, kesulitan untuk menyuarakan kejadian yang dialami.
Sebagai contoh, Desintha lantas memaparkan sisi laki-laki yang kerap mendapatkan stigma negatif apabila melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya. Ia mengatakan bahwa mereka kerap dianggap tidak memiliki sisi maskulin sebagaimana masyarakat mengonstruksi laki-laki yang “sebenarnya”. Desintha menambahkan bahwa stigma tersebut pada akhirnya melekat pada diri laki-laki. “Laki-laki yang melaporkan akan dianggap tidak maskulin, tetapi feminin, emosional, dan caring,” ujar Desintha.
Beralih ke sisi perempuan, Desintha memberikan contoh bagaimana perempuan dilatih sejak kecil untuk tidak protes terhadap apa yang sudah terjadi, misalnya dalam hubungan berpacaran yang tidak sehat. Ketika pada akhirnya mereka mengalami hal tidak sehat tersebut, muncul kecenderungan untuk tidak berani bicara bahwa ia terjebak dalam hubungan tersebut.
Konstruksi gender ini terbukti juga merugikan perempuan secara signifikan. Data dari satgas PPKS menunjukkan bahwa 30 dari 31 kasus kekerasan seksual yang diterima sampai saat ini dialami oleh pihak perempuan. “Apa-apa yang diberikan kepada perempuan itu tanpa adanya dialog dulu dengan dirinya,” jelas Deshinta. Pemikiran yang salah itulah yang membuat perempuan semakin sulit menyuarakan kekerasan yang dialaminya.
Dalam kaitannya dengan keberanian korban kekerasan seksual untuk berbicara, Deshinta berpendapat bahwa relasi kuasa juga memiliki dampak. Secara lebih spesifik, ia mengungkapkan bahwa terdapat relasi kuasa yang kuat dalam ruang luring sehingga korban akan lebih kesulitan untuk bersuara. Menurutnya, korban memiliki kebebasan lebih untuk bersuara dalam ruang daring, dalam hal ini media sosial. “Lebih mudah memang di media sosial, tinggal komentar,” ujarnya.
Menurut Desintha, ada banyak faktor yang mendorong keberanian perempuan dan laki-laki, sebagai korban kasus kekerasan seksual, untuk angkat bicara. Berbagai faktor tersebut ditentukan oleh kondisi bawaan masing-masing individu sehingga sulit untuk menentukan satu faktor universal sebagai penentu, misalnya tingkat pendidikan seseorang. Sebagai contoh, Desintha memaparkan hasil risetnya terhadap kasus kekerasan dalam pacaran tingkat sekolah menengah. “Mereka menolak untuk dinikahkan karena kehamilan yang tidak diinginkan dari hasil kekerasan dalam pacaran,” ucapnya.
Bias gender di tengah masyarakat juga ternyata memengaruhi keberanian korban kekerasan seksual untuk berbicara. Menurut Desintha, dalam kasus kekerasan seksual, laki-laki selalu ditempatkan sebagai pelaku, sedangkan perempuan juga selalu ditempatkan sebagai korban Wiyanti, atau yang kerap disapa Iyik, juga menambahkan bahwa bias gender sulit untuk dihilangkan dari pemikiran masyarakat. “Bias gender ada pada siapapun dan tidak mudah mengubah mindset itu,” ungkap Iyik.
Bagi Iyik, konstruksi sosial yang berasal dari budaya maskulinitas dalam masyarakat ini sudah tergolong tidak sehat. Budaya tersebut tidak hanya berdampak pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Menurut Iyik, perubahan atas budaya ini diperlukan dan merupakan tugas semua orang. “Kita punya PR besar untuk mengubah budaya yang tidak sehat ini,” ucapnya.
Untuk menangani hal ini, Deshinta lebih lanjut menjelaskan bahwa Fisipol Crisis Center (FCC) dan satgas bukanlah satu-satunya solusi. “Yang terpenting adalah bagaimana membangun lingkungan yang lebih peduli dan sadar terhadap isu kekerasan seksual,” jelasnya. Desintha menambahkan bahwa lingkungan itu harus dibentuk melalui kesadaran bersama untuk memberikan ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual bersuara.
Penulis: Alfiana Rosyidah, Fanni Calista, dan Imtiyaz Putri Hanifa (Magang)
Penyunting: Keisha Devana Rahadini
Fotografer: Logissa Sukmana (Magang)