Rabu (2-11), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menggelar diskusi daring dalam rangka pendahuluan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Bappenas periode 2025-2045. Amich Alhumami selaku Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan; Kementerian PPN/Bappenas mengawali diskusi dengan menyatakan alasan dipilihnya tajuk “Beragama di Era Digital: Menimbang Gejala Eksklusivisme, Populisme, dan Komodifikasi Agama” sebagai tema diskusi. Diskusi ini juga menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya, Fransisco Budi Hardiman; Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pelita Harapan; Noorhaidi Hasan; Dekan Fakultas Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia; Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia; dan Iim Halimatusa’diyah, dosen FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta.
Sebagai pembuka, Amich mengemukakan pentingnya unsur agama untuk terlibat dalam pembangunan nasional. “Hal ini (pelibatan unsur agama) perlu dikelola untuk dituangkan ke dalam perencanaan pembangunan Bappenas,” tuturnya. Amich kemudian memperlihatkan potret riil masyarakat dalam konteks beragama cukup bermasalah.
Eksklusivisme agama, atau sikap dominatif suatu agama, menjadi sentral dalam gagasan Amich. Ia berangkat dari fenomena ini yang menurutnya mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Hal ini dinilai akan menimbulkan ketegangan berupa narasi kontra terhadap kelompok lain. “Munculnya eksklusivisme akan mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok yang berbeda,” ungkapnya.
Amich juga menilai bahwa eksklusivisme agama menimbulkan populisme. Gejalanya bertumpu pada sentimen identitas, terutama untuk berbagai kepentingan, seperti ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya publik. “Kecenderungan elite-elite agama mempergunakan populisme bernuansa agama untuk kontestasi politik semakin menguatkan gejala eksklusivisme beragama di ruang publik,” tambahnya.
Relasi dua permasalahan tersebut juga berhubungan dengan komodifikasi agama, penggunaan agama selayaknya komoditas pasar. Fenomena ini dinilai sudah banyak terjadi. Penguatan gejala penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan komersial, menurut Amich, telah menjadi barang konsumsi dan komoditas dalam pasar ekonomi.
Klaim-klaim mengenai permasalahan tersebut didukung oleh survei yang dilakukan oleh Iim Halimatusa’diyah dalam PPIM. Survei ini menyoroti narasi yang beredar di Twitter antara tahun 2009-2019. Hasil survei memperlihatkan adanya kecenderungan dominasi oleh narasi konservatisme di media sosial, yaitu mencapai sekitar 67,2 persen, di samping narasi moderat, liberal, dan Islamis.
Iim mengkhawatirkan efek jangka panjang dari kenaikan ini. Ia menilai bahwa jika kenaikan ini terus terjadi, permasalahan yang ada akan semakin menguat. “Dalam jangka panjang ke depan adalah hal yang mungkin untuk adanya transmisi konservatisme antargenerasi,” ungkap Iim.
Hardiman, sebagai salah satu narasumber, lebih banyak berbicara dengan menyoroti masalah tersebut pada ranah ruang digital. “Sebenarnya, konservatisme, eksklusivisme, dan komodifikasi agama itu sudah lama ada,” ungkap Hardiman sebagai kalimat pembuka. Akan tetapi, menurutnya, tetap ada kebaruan yang perlu diwaspadai, yaitu kecepatan mengomunikasikannya pada di era digital.
Ia mengawali dengan mengungkapkan kenyataan bahwa konten-konten agama secara digital semakin banyak digemari. Hardiman menunjukkan adanya peralihan media belajar dalam konteks beragama. Menurutnya, hal ini patut disangsikan karena ruang digital sama sekali berbeda dengan ruang nyata. “Konten-konten agama yang parsial di internet, ditambah terasingkannya subjek dari kehadiran langsung, akan menjadikan pengetahuan, dalam hal ini agama, sebagai sesuatu yang karikatural,” ungkap Hardiman.
“Belajar agama itu tentunya melibatkan pengalaman spiritual dan pengalaman itu hanya akan dialami oleh pembelajar kalau hadir langsung dalam proses belajar,” tutur Hardiman. Menurutnya, konten agama yang bersifat digital tidak spiritual sama sekali. Semuanya sudah direduksi menjadi sebatas informasi.
Hardiman mengungkapkan bahwa spiritualitas dalam konten agama sudah dipermiskin menjadi sebatas informasi. Hal itu dianggap mengaburkan pandangan kita melihat esensi spiritual. Akibatnya, menurut Hardiman, konten-konten agama di internet cenderung mengundang aksi daripada refleksi.
Di bagian akhir, Hardiman memberikan usulan mengenai sikap yang seharusnya dilakukan di internet. “Kita tidak mungkin menyuruh semua handphone ditutup, server dipadamkan, tidak mungkin,” ujarnya. Hardiman mengajak untuk menyikapi kecenderungan perilaku buruk di internet dengan sikap yang sebaiknya dilakukan di internet.
Hal lain yang tidak kalah penting, menurut Hardiman, adalah kerja keras hermeneutika. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman posliteral terhadap kitab suci. “Jangan sampai hermeneutika hanya menjadi kegiatan para elite, masyarakat perlu dilatih juga supaya tidak bersikap literalis,” ungkapnya.
Terakhir, Hardiman mengusulkan dilakukannya pembongkaran atas berbagai konspirasi agama. Hal ini bertujuan untuk membongkar pemahaman literal atas kitab suci yang melahirkan narasi radikal. Menurut Hardiman, hal ini juga perlu dilakukan dalam relasi antaragama. Orang yang berotoritas dalam suatu agama, menurut Hardiman, perlu melakukan hal ini untuk menyikapi klaim sepihak antaragama secara sehat.
Penulis: Aulia Khoiriya dan Karina Dea Lathifa (Magang)
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Fotografi: Allief Sony Ramadhan Aktriadi