Kamis (09-11), Festival Sastra Yogyakarta 2022 menggelar program diskusi bertajuk “SASTRASTRI (Sastra dan Perempuan)”. Diskusi yang digelar di Pasar Beringharjo ini menghadirkan tiga narasumber perempuan, yaitu Yeti Martanti, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta; serta Ramayda Akmal dan Ratih Kumala, pelaku sastra. Acara ini diawali dengan pembacaan puisi oleh Umi Kulsum, sastrawati Indonesia, lalu dilanjutkan diskusi dan tanya jawab.
Mengawali diskusi, Ramayda menyampaikan bahwa tidak ada batasan bagi perempuan untuk berkecimpung di dunia kerja. Akan tetapi, dalam praktiknya, ia menilai masih terdapat perlakuan diskriminatif terhadap pekerja perempuan. “Tidak ada lagi batasan antara perempuan dan laki-laki dalam bekerja. Namun, dalam proses pengambilan keputusan penting, laki-laki masih mendominasi,” ujarnya.
Sementara itu, Ratih melihat kondisi tersebut terjadi karena perempuan belum mempunyai kekuatan untuk melawan. “Saat ini, perempuan belum sampai pada tahap kuat untuk melawan, mereka cenderung untuk kuat dalam bertahan,” tuturnya.
Setuju dengan opini Ratih, Yeti juga menekankan bahwasanya perempuan harus memiliki semangat untuk terus melawan. ”Jangan hanya diam ketika tidak setuju dengan apa yang dirasakan, dalam hal ini perempuan harus melawan,” tegasnya. Selain itu, menurut Yeti, perempuan juga harus bisa menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama perempuan.
Lebih lanjut, Yeti berujar bahwa antara perempuan dan laki-laki sesungguhnya memiliki ruang yang sama dalam berkreasi dan menyampaikan aspirasi. “Tidak perlu memperdebatkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki,” ujarnya. Ia lantas menambahkan, perempuan dan laki-laki harus bisa fokus untuk berkreasi dan berkarya bersama, serta sadar bahwa dunia ini milik bersama.
Menuju akhir diskusi, Yeti lalu mengorelasikan perempuan dan isu-isu sosial yang melingkupinya dengan karya sastra. Ia menilai, sastra memiliki peran penting sebagai media kritik terhadap isu-isu sosial yang tengah terjadi. Selain karena bentuknya yang beragam, melalui sastra, isu-isu sosial mampu dikemas secara menarik. “Sastra efektif dalam menyampaikan isu-isu sosial adalah karena bentuknya yang menarik, tetapi tetap tidak menghilangkan isinya sebagai media kritik,” tambahnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Fitria Dyah Anggraeni, Pelaksana Harian Kepala Bahasa dan Sastra Yogyakarta yang turut hadir dalam diskusi. Ia menyatakan bahwa tulisan sastra adalah suara paling tajam yang dapat menyentuh banyak lapisan masyarakat. Menurutnya, hal tersebut dapat terjadi karena dalam menikmati sebuah sastra seseorang akan menemukan makna. “Mulanya sastra akan terlebih dahulu dinikmati, tetapi kemudian menjadi dimaknai,” jelas Fitria.
Menutup diskusi panjang, segerombolan buruh gendong Pasar Beringharjo memasuki panggung diskusi. Mereka membacakan puisi berjudul “Wanita Jawa” karya Fitri Merawati yang menggambarkan kekuatan dan kemandirian perempuan tanah Jawa. “Tapi ingat dalam kerudungku senantiasa ada konde, yang kapan saja bisa menjadi keris, lalu kuhujamkan padamu, jika kau menjelma Batarakala, yang memporak-porandakan kembang tidurku,” pungkasnya disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Penulis: Ummi Anifah, Takhfa Rayhan Fadhilah, Ratih Cintia Sari (Magang)
Penyunting: Yeni Yuliati
Fotografer: Surya Intan Safitri (Magang)
1 komentar
iya fenomena banget. Tidak hanya di indonesia, di jepang pun kalau perempuan yg sudah menikah akan sulit kembali bekerja. Tidak seperti kesempatan yang diberikan kepada laki-laki. Apalagi jika kasusnya perempuan tsb korban kdrt, atau perceraian. Mau menghidupi keluarga darimana?