Sumpah Pemuda kerap dianggap sebagai tonggak dalam sejarah persatuan bangsa Indonesia. Anggapan ini muncul seiring pemberlakuan hari berlangsungnya Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sartono Kartodirdjo, sejarawan UGM yang dijuluki sebagai Begawan Sejarah Indonesia, meluruskan anggapan ini. Menurut Sartono, bangsa Indonesia memiliki tonggak sejarah yang lebih mendasar, yakni Manifesto Politik yang dicetuskan oleh Perhimpunan Indonesia pada 1925. Melalui rubrik “Wawancara Tema”, BALAIRUNG No. 25/Th. XII/1997 memuat hasil wawancara dengan Sartono berjudul “Manifesto Politik Pemuda Banyak Dilupakan”. Berikut wawancara selengkapnya.
Bisakah Anda ceritakan tentang Manifesto Politik sebagai dokumen penting pergerakan mahasiswa pra-Kemerdekaan?
Manifesto Politik dimuat dalam majalah yang diterbitkan Perhimpunan Indonesia di Nederland pada 1925, tepatnya di Universitas Leiden, tempat para pemimpin nasional kita belajar.
Melalui Manifesto Politik, para pemimpin nasional merumuskan dasar-dasar nasionalisme Indonesia. Mereka membuat analisis politik kolonial secara mendalam. Manifesto Politik memuat tiga butir. Pertama, sewajarnya Indonesia diperintah oleh orang-orang yang dipilih dari rakyat dan dari kalangan sendiri. Ini implisit sekali sebagai penegakan kedaulatan rakyat. Ya, tentu saja ini merupakan upaya menuju kemerdekaan dan demokrasi.
Kedua, dalam memperjuangkan itu, bangsa Indonesia tidak memerlukan bantuan dari pihak mana pun. Ini masalah otonomi. Swadaya suatu bangsa. Ketiga, berbagai unsur perlu bersatu dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita bersama. Persatuan dan kesatuan itu conditio sine qua non, persyaratan mutlak menuju kemerdekaan dan nasionalisme.
Saya kira Manifesto Politik ini sangat penting bagi pergerakan nasional sampai 1945, yang lebih mendasar dari Sumpah Pemuda 1928 itu sendiri.
Apa arti penting Manifesto Politik dalam perspektif sejarah?
Konsep Manifesto Politik itu merupakan awal modernisasi kebudayaan politik kita. Sebelum Manifesto Politik muncul, kita hanya mengenal feodalisme kerajaan. Oleh karena itu, Manifesto Politik memberi pola hidup politik yang berbeda dari pola hidup politik lama.
Siapa saja para tokoh di balik Manifesto Politik?
Antara lain M. Hattam, Ali Sastroamidjojo, Budiman, Sunaryo, kemudian Widagdo. Mereka memberikan contoh penting bagi generasi mahasiswa sekarang. Ketika mereka pulang dari Universitas Leiden, para tokoh mahasiswa di balik Manifesto Politik itu tidak tinggal diam. Mereka merealisasikan inspirasi mereka. Caranya, mereka menjadi pemimpin pergerakan nasional dengan hidup penuh kesulitan, dari penjara ke penjara. Mereka tidak melakukan terobosan untuk hidup enak dengan membantu kolonial.
Apa ideologi gerakan politik kaum nasionalis pada waktu itu?
Bicara masalah ideologi, saya kembalikan ke butir ketiga, yaitu tentang persatuan melawan kolonialisme. Suatu kondisi yang menjamin kesejahteraan nation-state. Ya, persatuan adalah prasyaratnya. Sebab, dengan persatuan kita dihadapkan pada politik kolonialisme yang memakai konsep memecah belah melalui negara federal, mengungkit-ungkit lagi kesultanan. Dalam hal ini, persatuan menjadi senjata ampuh untuk melawan politik kolonial tersebut. Ideologi ini kita sebut ideologi utilitarianisme. Sebuah ideologi untuk menghadapi feodalisme, separatisme, dan kolonialisme.
Menurut Anda, apakah nasionalisme saat ini masih relevan?
Saya menentang generasi muda yang menyatakan bahwa nasionalisme tidak relevan lagi. Nasionalisme itu belum sempurna, perlu dikonsolidasikan lagi. Untuk menghadapi globalisasi yang dahsyat ini, nasionalisme perlu kita pulihkan. Masa kita terus menyerah saja?
Terakhir, apa pandangan Anda terhadap gerakan mahasiswa sekarang?
Kalau kebijakan pemerintah, saya tidak tahu. Namun, saya melihat gejala-gejala belakangan ini membuktikan bahwa penyaluran idealisme itu tidak bisa dihambat. Saya, sebagai pengamat, memandang kemajuan pembangunan ini mau tidak mau membuat pengetahuan dan informasi makin lengkap. Orang mulai berpikir secara kritis. Ini konsekuensi yang harus kita pikirkan. Bagaimana membuat penyaluran yang baik dan tidak merusak-rusak saja. Saya sering juga mendengar kalau mahasiswa sekarang apatis, tidak punya wajah. Itu tidak benar. Buktinya, idealisme dan pemikiran mahasiswa mulai hidup. [Prabowo dan Nursanti]
Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Han Revanda Putra.