Sampai saat ini, pers mahasiswa belum memiliki perlindungan hukum. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya menaungi pers umum. Sementara itu, pers mahasiswa masih berada dalam kegamangan antara identitasnya sebagai pers dan unit kegiatan di bawah kampus. Padahal, pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik yang sama dengan pers umum untuk menghasilkan produk. Nihilnya payung hukum dinilai sebagai musabab rentannya pers mahasiswa mengalami intimidasi, kekerasan, bahkan pemberedelan.
Pemberedelan dan kriminalisasi terhadap pegiat LPM Lintas IAIN Ambon pada Maret 2022 menjadi bukti rentannya pers mahasiswa mengalami represi. Merespons permasalahan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Berangkat dari anggapan bahwa pers mahasiswa seharusnya mendapat perlindungan hukum yang sama dengan pers umum, ia memandang pers mahasiswa perlu melibatkan Dewan Pers. Berikut wawancara selengkapnya.
Bagaimana Anda menjelaskan fenomena pers mahasiswa yang muncul dan eksis di lingkungan kampus?
Pada rentang 1974 hingga 1978-an, Rezim Orde Baru mengekang pers umum dengan begitu ketat. Hal ini membuat wacana-wacana kritis terhadap pemerintah hampir mustahil muncul dari pers umum. Pers mahasiswa pun hadir untuk mengambil peran tersebut. Ketika Reformasi, pers mahasiswa mengalami disorientasi. Peran mereka pudar karena pers umum tidak lagi dikekang. Pers umum kini dapat menjalankan peran yang dulu diemban oleh pers mahasiswa, yakni memunculkan wacana kritis terhadap pemerintah. Saya pikir peran pers mahasiswa ini perlu didefinisikan ulang.Ā
Saat saya mengobrol dengan teman-teman Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), banyak dari mereka yang masih kebingungan dalam merumuskan peran pers mahasiswa pasca-Reformasi. Di sisi lain, saya melihat pers mahasiswa di beberapa kampus sudah memiliki titik pijak yang tegas. Beberapa pers mahasiswa, misalnya, memilih peran sebagai pengawas kekuasaan di kampus, seperti mengawasi penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak bisa dijangkau oleh pers umum. Beberapa pers mahasiswa cukup jelas pijakannya, sementara sisanya belum.Ā Mereka perlu dipertemukan dan mendiskusikan ulang peran pers mahasiswa pasca-Reformasi secara keseluruhan.Ā
Pers mahasiswa kini mengalami kebingungan dalam merumuskan perannya setelah pers umum mendapat kebebasan. Menurut Anda, identitas dan peran apa yang bisa diambil oleh pers mahasiswa saat ini?Ā
Meskipun kini menikmati kebebasan pers, pers umum memiliki kelemahan dalam hal produknya. Pada awal Reformasi, kami mengharapkan diversifikasi produk yang lebih beragam dari pers umum. Namun kini, produk-produk pers umum cenderung Jakarta-sentris. Keunikan-keunikan yang berada di konteks lokal daerah-daerah tertentu cenderung tak tersentuh. Menurut saya, peran ini dapat diambil oleh pers mahasiswa dengan mengulik dan memberitakan wacana-wacana yang berada di sekitar lingkungan mereka.
Lebih lanjut, pers mahasiswa juga tetap bisa memainkan perannya sebagai pengontrol kekuasaan sebagaimana pada era 1974 hingga 1978-an. Bedanya, pers mahasiswa menjadi pengontrol kekuasaan yang berada dalam konteks lokal, seperti kekuasaan kampus yang jarang tersentuh pers umum. Tidak hanya itu, pers mahasiswa juga mampu membawa isu-isu kampus menjadi isu nasional. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa pers mahasiswa, seperti BPPM Balairung dan LPM Lintas yang mampu membawa isu kekerasan seksual menjadi isu nasional.
Upaya untuk membawa isu-isu kampus ke dalam konteks nasional tersebut akan lebih baik apabila dilakukan dengan kolaborasi. Jadi, isu dari beberapa kampus sekaligus dibawa ke level nasional dengan mekanisme liputan bersama misalnya. Mekanisme ini akan membuat isu-isu kampus yang dibawa ke level nasional lebih komprehensif dan memiliki daya dobrak. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena media digital saat ini mempermudah pers untuk berkolaborasi. Beberapa liputan kolaborasi di level nasional bisa dijadikan contoh. IndonesiaLeak, misalnya, yang menghubungkan beberapa perusahaan media sekaligus untuk menginvestigasi kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Meskipun kini bersaing dengan pers umum, berdasarkan paparan Anda, pers mahasiswa tetap mampu memainkan peran penting. Namun, bagaimana dengan regulasi perlindungan pers mahasiswa saat ini?
Saya memandang bahwa pers mahasiswa tidak ada bedanya dengan pers umum dalam hal perlindungan. Keduanya sama-sama melakukan kerja-kerja dan menghasilkan produk jurnalistik. Namun, harus diakui juga bahwa pers mahasiswa masih sangat lemah jaminan hukumnya. Dewan Pers masih sangat berpegangan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang di dalamnya memuat diksi āOrganisasi/Perusahaan Persā sehingga pers yang diakomodasi harus berbadan hukum. Selain itu, aparat penegak hukum dan masyarakat juga belum terlalu mengenal UU Pers. Implikasinya, pers mahasiswa kerap mengalami kesulitan dalam mengadvokasikan berbagai represi dan serangan yang mereka terima. Padahal, melihat beberapa kasus terakhir, serangan terhadap pers mahasiswa itu tidak main-main.
Apabila aspek legal masih lemah, upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk melindungi pers mahasiswa?
Pertama-tama kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu berbagai bentuk serangan yang dapat menyerang pers mahasiswa. Karena umumnya bernaung di kampus sebagai unit kegiatan mahasiswa, pers mahasiswa menggantungkan pendanaannya kepada kampus. Padahal, dalam beberapa kasus, kampus justru bisa menjadi aktor yang menyerang pers mahasiswa karena beberapa pemberitaannya yang kritis terhadap kampus. Pendanaan dari kampus pun bisa terputus karena ini. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi serangan berbentuk pemutusan pendanaan semacam ini adalah urun dana. Melalui situs kitabisa.com, misalnya, pers mahasiswa tetap dapat mempertahankan aspek pendanaannya di tengah serangan dari kampus, yang merupakan sumber pendanaan utamanya.
Selain pemutusan pendanaan dari kampus, pers mahasiswa juga sangat mungkin mendapat serangan yang sama seperti pers umum. Data dari AJI menunjukkan bahwa pada 2021 terjadi sebanyak 84 serangan terhadap jurnalis. Angka ini merupakan angka tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Kembali lagi ke logika awal, saya memandang bahwa pers mahasiswa tidak ada bedanya dengan pers umum dalam hal perlindungan. ApabilaĀ risiko serangan terhadap jurnalis pers umum tinggi, serangan terhadap jurnalis pers mahasiswa juga tinggi.Ā
Untuk menghadapi serangan tersebut, pers mahasiswa dapat memperkuat koneksinya dengan organisasi atau asosiasi jurnalis yang menawarkan perlindungan. Tidak hanya mencari perlindungan, pers mahasiswa juga dapat berperan aktif dengan melakukan advokasi. Salah satu advokasi yang paling penting untuk dilakukan adalah dengan mendorong Dewan Pers supaya memberikan payung hukum yang jelas dan tegas bagi pers mahasiswa.
Itu upaya yang mungkin ditempuh pers mahasiswa. Bagaimana upaya-upaya yang telah ditempuh AJI dan Dewan Pers untuk memberikan payung hukum bagi pers mahasiswa?
Pada Kongres AJI ke-10 di Solo, AJI membuka keanggotaan untuk individu atau kelompok yang mempraktikkan jurnalisme warga. Di AJI, kami menganggap pers mahasiswa sebagai bagian dari jurnalisme warga. Artinya, pers mahasiswa dapat menjadi anggota AJI. Rekan-rekan pers mahasiswa yang tergabung dengan AJI akan kami bantu sepenuhnya apabila menerima serangan atau persoalan hukum. Kemudian, bagaimana dengan pers mahasiswa yang tidak tergabung dengan AJI?
Upaya untuk melindungi pers mahasiswa secara umum pernah ditempuh oleh Dewan Pers. Pada masa kepengurusan 2016ā2019, yang diketuai oleh Yosep Adi Prasetyo, Dewan Pers membuat empat kuadran untuk memetakan jenis-jenis media. Kuadran pertama berisi media arus utama, sedangkan kuadran kedua berisi media komunitas. Sementara itu, kuadran ketiga berisi organisasi-organisasi penyebar hoaks dan kuadran keempat berisi media-media sensasional penyebar gosip dan partisan partai politik. Dua kuadran pertama akan dilindungi oleh Dewan Pers, sementara dua kuadran setelahnya akan diawasi oleh Dewan Pers apabila ada indikasi pelanggaran. Nah, pers mahasiswa itu ada di kuadran kedua sebagai salah satu media komunitas yang dilindungi oleh Dewan Pers, baik melalui mekanisme pada UU Pers maupun mekanisme di luar UU Pers yang bisa diusahakan.Ā
Sayangnya, empat kuadran ini tidak diteruskan oleh kepengurusan-kepengurusan Dewan Pers selanjutnya. Pers mahasiswa harus mampu mendorong Dewan Pers untuk melahirkan mekanisme serupa yang mampu menjamin perlindungan terhadap pers mahasiswa. Saya cukup optimis terhadap formasi Dewan Pers tahun ini. Azyumardi Azra, Ninik Rahayu, dan jajaran lainnya adalah orang yang bisa diajak ngobrol oleh teman-teman pers mahasiswa. Silakan dicoba.
Penulis: Anastasya Egidia, Jasmine Hasna, dan Muhammad Fathur Rizqi
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Illustrator: Inggrid D. Wijaya