Mencuat pada pengujung masa Sukarno, gerakan mahasiswa dalam konteks kemerdekaan perlahan ditundukkan melalui program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan pada 1980-an. Saat mahasiswa perlahan bangkit kembali pada periode 1990-an, Peristiwa 27 Juli 1996 berhasil memukul mundur sebagian elemen gerakan yang mulai tumbuh.
Meskipun begitu, Arbi Sanit, ilmuwan politik, tidak menilai peristiwa itu sebagai akhir gerakan era 1990-an. Melalui wawancara yang dimuat dalam Majalah BALAIRUNG No. 25/Th. XII/1997 dengan judul “Secepatnya Gerakan Mahasiswa Bangkit”, ia justru memprediksi gerakan mahasiswa secepatnya akan bangkit. Hal ini disebabkan mulai munculnya kesadaran mahasiswa sebagai golongan yang secara struktural terpojok seperti halnya petani, buruh, dan pengangguran. Berikut wawancara selengkapnya.
Menurut pengamatan Anda, apa yang membedakan secara karakteristik gerakan mahasiswa era 1990-an dengan gerakan mahasiswa generasi sebelumnya?
Sebenarnya, batasnya bukan 1990, melainkan 1978. Saya kira ada empat pembabakan yang bisa kita lihat, yakni awal sampai akhir 1960-an, awal Orde Baru sampai kurang lebih 1973, periode 1973 sampai 1978, dan periode 1978 sampai 1990-an. Pada awal 1970, saya kira gerakan mahasiswa masih melanjutkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mereka masih berpandangan bahwa kebebasan Orde Baru ini mengoreksi Orde Lama. Artinya, Orde Lama tidak ada kebebasan. Mahasiswa tidak boleh berperan. KAMI mau dibubarkan. Saya kira, anggapannya seperti itu sampai sekitar 1970.
Namun, saat memulai protes pada Pemilu 1971, mahasiswa dihajar lagi. Di situ, mahasiswa mulai tertekan. Pada 1978, mahasiswa tampil lagi. Setelah 1978, hak politik mahasiswa dicabut. Sebagai rakyat, mahasiswa punya hak politik, tetapi sebagai mahasiswa tidak. Saya kira sejak 1978, mahasiswa tidak langsung terlibat dalam politik, tapi melalui LSM dan kelompok studi. Jadi, ada dua bentuk gerakan atau organisasi kelompok mahasiswa, yang saya kira terus berlangsung sampai tahun 1990-an.
Pada periode 1990-an, golongan menengah termasuk konglomerat dan profesional meningkat. Bersamaan dengan melemahnya peran ekonomi negara, ekonomi masyarakat meningkat terutama kaum pengusaha. Oleh karena itu, konglomeratisme muncul. Begitu pula kaum intelektual dan mahasiswa.
Periode 1990-an disambut dengan berbagai macam gerakan prodemokrasi dan protes-protes sosial yang melibatkan mahasiswa. Kiblat LSM pun beralih, bukan saja di bidang pembelaan melainkan politik. Mahasiswa yang aktif di LSM itu juga pindah ke politik. Itu membangkitkan kembali kesadaran mahasiswa yang dulu aktif dengan diskusi. Mereka terjun dalam politik. Puncaknya, 27 Juli 1996 itu.
Meminjam istilah pemerintah saat ini, apakah gerakan mahasiswa dapat disebut kekiri-kirian?
Kalau dipandang dari pemerintah ya, bisa kiri, karena pemerintahnya kanan, kapitalistik, konservatif. Buktinya, konglomeratisme berkuasa sekarang. Malah bukan konglomerat swasta saja, konglomerat negara dan konglomerat anak pejabat sekarang tampil. Sistem ekonominya liberal seperti itu. Dalam konsep ideologi, sistem pemerintahannya kanan.
Jadi, gerakan mahasiswa dapat disebut kiri, karena kritik-kritik mahasiswa bersama kaum intelektual ingin meratakan ekonomi, melindungi yang lemah, buruh petani, membela mereka mulai dari pembebasan tanah, jaminan kerja, upah, harga yang tertekan, hingga sistem produksi yang represif pada masyarakat. Mahasiswa cenderung melihat itu sebagai problema bersama dengan kaum intelektual.
Jadi, bisa dikatakan sifat gerakan mahasiswa 1990-an bersifat kerakyatan?
Iya, kerakyatan itu pasti “kiri” jadinya. Kalau elite “kanan” biasa itu.
Di samping persoalan kesenjangan ekonomi, apakah Anda melihat gerakan mahasiswa itu sudah mengarah menentang rezim kekuasaan, seperti yang terjadi pada 1966?
Gerakan politik mahasiswa memang mengarah ke sana. Jadi, sudah meninggalkan pandangan kulturalisme, dan beralih ke strukturalisme. Artinya, ketimpangan sosial, keterpojokan masyarakat, dan lemahnya masyarakat itu disebabkan oleh penguasaan sumber-sumber daya politik dan ekonomi ini berada pada golongan penguasa dan kaum elite.
Secara struktural, masyarakat, petani, buruh, pengangguran dan mahasiswa sendiri merasa berada pada kondisi struktural yang terpojok. Ini disebabkan oleh negara yang begitu kuat, golongan penguasa, militer, birokrasi yang begitu dominan dalam kenegaraan. Itu kesimpulan yang lebih kuat pada 1990-an.
Pada 1970-an, gerakan politiknya masih mengarah pada kulturalisme, yakni mendidik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti LSM periode 1970-an. Kalau masyarakat sudah dididik, sudah sejahtera, maka demokrasi akan tumbuh. Untuk sementara, teori itu tidak berjalan di Indonesia.
Sementara pembangunan meningkat, represi juga meningkat, karena itu cara-cara perjuangan mahasiswa dan cita-cita ideologinya mengalami pergeseran, tidak hanya mendidik masyarakat supaya lebih aktif ambil bagian dalam pembangunan dan politik, tetapi malah tatanan politik dan pemerintahan serta elite itu hendak dikoreksi.
Gerakan mahasiswa 1965–1966 menghasilkan Orde Baru. Apakah gerakan mahasiswa sekarang ini juga akan menghasilkan orde yang baru lagi?
Ada kemungkinan ke sana kalau dilihat dari hakikat perjuangannya. Kalau angkatan 1966, asal bukan Soekarno semuanya setuju. Datang militer sebagai kekuatan dominan, setuju. Datang pembangunan dengan cepat, stabilitas politik ditahan, setuju juga. Kenapa? Karena tahun 1966 tidak mempunyai tuntutan nyata kecuali anti-Soekarno. Tidak punya tuntutan yang jelas. Mau diapakan negara ini, tidak punya.
Ya hanya Tritura, tetapi lebih banyak soal perut. Ya demokrasi, tapi demokrasinya dia tidak menuntut yang lebih jelas. Dan tuntutan itu terlambat diajukan pada 1970-an, sementara rezim dan format politik sudah disusun, strategi pembangunan sudah dilaksanakan, baru mahasiswa didetailkan maunya. Ya sudah ketinggalan zaman.
Jadi walaupun angkatan 1966 mau demokratis, mereka tidak detail juga demokrasinya. Tuntutannya baru disadari belakangan. Oleh karena itu, Rahman Toleng, misalnya, menyesal lalu keluar. Di DPR dikirimi bedak, celana dalam wanita, lalu dia sadar dan keluar. Sampai sekarang dia menyesal habis-habisan.
Saya melihat itu disebabkan angkatan 1966 itu tidak melakukan bargaining kekuasaan yang nyata dengan potensi kekuatan-kekuatan yang riil pada waktu itu. Angkatan 1966 sebenarnya bisa menekan partai politik, jangan terima ABRI dalam parlemen. Bisa sebenarnya, tapi tidak melakukannya. Malah membiarkannya.
Bisa saja angkatan 1966 mengatakan pada ABRI, “Eh kamu jangan begitu, dikurangi.” Bisa sebetulnya, tapi tidak dilakukan, karena memang tidak punya strategi untuk itu. Angkatan ini didorong lahir sebenarnya untuk dihadapkan pada Soekarno bukan dihadapkan pada gagasan baru.
Itu bedanya dengan yang sekarang. Sekarang lihat saja caranya Budiman berpikir, pikirannya detail. Ideologi seperti apa yang dia inginkan, demokrasi seperti apa yang dia inginkan, kekuasaan seperti apa yang dia inginkan. Semuanya jelas.
Kelompok-kelompok di luar Budiman saya kira juga punya konsep tentang negara ini apa, elite nanti apa, ekonomi seperti apa, bagaimana partai, mereka punya konsep yang detail. Jadi pikirannya lebih praksis. Yang dulu ideologis. Nah yang dibutuhkan negosiasi dengan penguasa adalah pikiran praksis, agar tahu detail apa yang harus mereka lakukan.
Belajar dari sejarah, apakah mahasiswa harus beraliansi dengan kelompok luar untuk bisa berhasil?
Dalam sejarah dunia, malah tidak pernah mahasiswa berjuang sendiri. Mahasiswa dengan militer, mahasiswa dengan intelektual, mahasiswa dengan kaum buruh, mahasiswa dengan kaum bisnis. Di Filipina, mahasiswa dengan kaum bisnis, tetapi pertama-tama dengan LSM. Lalu di Muangthai itu dengan LSM juga lalu bisnis masuk. Di Korea juga begitu. Jadi jangan harap mahasiswa bergerak sendiri lalu beres semuanya, tidak. Jadi strategi partnership mesti dikembangkan.
Golongan mana? Di sini kembali saya pikir, kita harus membangun golongan intelektual untuk kemudian pelan-pelan membangun kembali elite baru. Pilihan-pilihan itu adalah kaum intelektual dan profesional. Saya kira itu yang paling strategis, karena birokrat dan militer pasti jadi lawan mahasiswa. Mereka berada pada posisi yang menjadi sumber tidak demokratisnya sistem yang ada. Jadi bagian dari dua golongan itu mungkin partner yang strategis buat mahasiswa.
Oleh karena gerakan tidak mungkin bersifat elitis sebab posisi tawar mahasiswa tidak ada, kekuatan dobrak di level massa harus dibangun. Saya kira pemerintah segera menyadari perubahan yang diperlukan itu dan segera pasang strategi yang jelas, sebab dia akan berhadapan gerakan massa. Sekalipun mungkin tidak digerakkan, tetapi massa terpancing pada kritik-kritik lalu terjadi juga aliran gerakan massa.
Massa golongan mana?
Ya kaum pekerja, saya kira yang paling bisa diharapkan. Kalau petani, saya kira terkooptasi secara detail di pedesaan sana. Kemudian adalah golongan agama. Itu bisa semua golongan agama, karena sekarang sikap kritis golongan agama kepada agama sudah mulai tumbuh. Bello asalnya. Bello tidak dimarahi atau dikucilkan oleh teman-teman yang lain. Dalam rapat-rapat gereja Indonesia itu, itu dia tidak ditegur keras, toh hanya dianjurkan, diberi kesempatan. Jadi itu berarti di dalam hati ada beberapa kesempatan terhadap pikiran Bello secara tidak langsung. Golongan Kristen juga tidak menyalahkan, diam saja. Tapi dengan gejala Bello, saya lihat adanya kecenderungan adanya kesadaran politis golongan agama terhadap demokrasi.
Apakah Anda melihat gerakan mahasiswa era 1990-an memberi imbas terhadap kebijakan-kebijakan politik penguasa selama ini?
Kalau kebijakan politik, beberapa ada pengaruhnya, tetapi tidak begitu luas. Namun, pengaruhnya ada pada isu yang mendapat dukungan masyarakat luas, misalnya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. Jadi menurut saya, mahasiswa perlu memilih isu nasional yang juga dirasakan oleh masyarakat luas.
Namun, sejauh masyarakat luas tidak terlibat, hanya mahasiswa jalan sendiri, tidak akan berhasil. Misalnya, isu HAM. Masyarakat luas kan masih bingung apa itu hak asasi, pemahaman mereka masih dangkal. Nah karena itu tidak dapat dukungan dari masyarakat luas. Apalagi isu nuklir, lingkungan hidup. Ini kan masih terbatas pada intelektual, awam belum kena.
Sebenarnya, apa masalah yang dihadapi gerakan mahasiswa era 1990-an?
Pertama, adanya kecenderungan umum dari perhatian, motif mahasiswa sekarang ini adalah dunia bisnis. Ya, dunia kerja. Oleh karena itu, aktivis hanya sedikit. Ini menjadi halangan struktural, tapi fungsional tidak karena yang kecil itu kalau teriak sama-sama kan menjadi kuat juga. Apalagi, sekarang loudspeaker banyak di mana-mana, koran, TV jadi bisa di-blow up menjadi besar walaupun corongnya sedikit.
Kedua, kebebasan beraktivitas dalam politik, karena memang negara membuat kebijakan dan sistem di mana kontrol gerakan masyarakat termasuk mahasiswa itu berlangsung secara detail dan intensif. Juga sistem pendidikan yang dilakukan kepada mahasiswa semuanya aduk-mengaduk sehingga membatasi ruang gerak, waktu dan minat mahasiswa, oleh karena didorong pada kegiatan-kegiatan untuk nantinya memasuki lapangan kerja.
Ketiga, kondisi masyarakat itu sendiri. Sejak akhir tahun 1970-an, mahasiswa sulit mempertahankan eksistensi politiknya di arena masyarakat. Walaupun masyarakat menyadari bahwa mahasiswa itu sebagai potensi untuk membantu mereka, mereka justru kehilangan perkenalannya dengan mahasiswa. Sebab sejak tahun 1978, aktivitas ekstra mahasiswa organisasi nonkampus seperti HMI dan sebagainya dilarang.
Di kampus, hanya ada senat dan senat hanya bergerak di dalam, tidak ada kontak langsung dengan masyarakat. Lalu yang bergerak dengan LSM, tinggal itu saja kontaknya. Sedangkan yang grup studi juga asyik sendiri dengan mahasiswa, tidak kontak dengan masyarakat. Lalu organisasi ekstra nonkampus seperti HMI dan sebagainya itu asyik dengan sendirinya, protek eksistensinya lalu kerjanya adalah LDK-LDK saja. Jadi, tidak kontak dengan masyarakat.
Menurut Anda, apakah peristiwa 27 Juli 1996 merupakan muara akhir dari gerakan mahasiswa era 1990-an?
Belum, itu hanya kejutan-kejutan saja. Sekarang, sudah mulai lagi. Indikatornya begini, sebelum tanggal 27 Juli, saya bisa 3-4 kali ke Yogya, ada seminar ini, diskusi ini, dan semacamnya, semuanya mahasiswa yang mengundang. Tapi setelah 27 Juli, sepi. Sekarang, mulai lagi, bukan ke Yogya tapi ke Bandung, seminggu bisa 2-3 kali. Pertanyaan saya, apakah ada pergeseran dari Yogya ke Bandung? Dulu Jakarta tahun 1966, lalu Bandung tahun 1970-an, lalu Yogya tahun 1980 dan 1990-an. Apakah sekarang mau memutar lagi ke sana? Ini sepertinya saya punya firasat tentang itu. Tapi saya kira tidak merupakan akhir.
Perkiraan Anda, kira-kira kapan muncul kembalinya gerakan mahasiswa?
Ya paling cepat 1997 atau 1998. Sebab, Pemilu dan Sidang Umum MPR itu suatu “undangan” untuk aspirasi masyarakat. Tentu mahasiswa menyadari itu, kesempatan dipakai, lalu lebar ke mana-mana. Saya kira secepatnya 1997 atau 1998.
Apakah gerakan mahasiswa ini lebih baik bermain di dalam tataran yang kecil, dalam arti setiap ada kasus dipecahkan bersama atau juga bermain dalam tataran struktural?
Saya kira itu jangan dibatasi. Politik lebih baik berdasarkan keperluan dan peluang yang ada. Saya kira, mahasiswa harus menggabungkan idealisme dan pragmatisme. Jangan sepenuhnya pragmatisme, tapi jangan sepenuhnya idealisme saja, jadi idealisme harus ada langkah-langkah yang lebih jelas. Kombinasi itu yang kita perlukan.
Apakah Anda punya konsep gerakan mahasiswa masa depan?
Gerakan mahasiswa masa depan, menurut saya, jelas perjuangannya menuju demokrasi. Saya katakan demokrasi menjadi tujuan, karena mahasiswa sebagai intelektual dalam masyarakat harus memelopori pengembangan daya bersaing. Dalam globalisasi, mekanisme pokoknya daya saing. Barang, jasa, orang pindah antarbangsa, antarnegara tidak ada hambatan. Jadi barang, jasa, orang kita harus dipersaingkan dengan barang, jasa, orang Amerika. Semestinya gerakan mahasiswa harus mengarah pada demokrasi, karena demokrasi yang memungkinkan persaingan itu. Daya saing tumbuh hanya dengan demokrasi. Buktinya, negara-negara komunis rontok karena tidak mampu daya saingnya ditingkatkan.
Demokrasi tidak dapat diharapkan dari sumbangan atau kerelaan penguasa. Di manapun, demokrasi bukan merupakan hadiah. Itu hasil perjuangan. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa mesti punya strategi perjuangan yang jelas. Mestinya, gerakan mahasiswa menjadi inti kekuatan potensial dalam masyarakat. Semuanya itu mengarah pada demokrasi sehingga kita dapat di dalam bangsa kita terdapat pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia, sedangkan di antar bangsa, kita dapat berjuang secara normal untuk mempertahankan hak-hak bangsa kita dan hak-hak masyarakat.
Apakah pemicu radikalisme gerakan mahasiswa?
Akar radikalisme tentu adanya jarak dari apa yang diharapkan dengan realita yang disediakan masyarakat dengan negara. Lalu, perjuangan mahasiswa untuk mendekatkan keinginan itu dengan kenyataan dihambat terus dengan berbagai cara. Mula-mula, mahasiswa periode 1970-an hanya ingin memperbaiki pendidikan supaya taraf hidup masyarakat meningkat. Jadi gerakannya lebih kultural. Sekarang tidak cukup kultural, perlu struktural juga. Ini tidak bisa diangsur-angsur, kita harus merombak secara total. Ujungnya, PRD itu.
Jadi, sebenarnya progresivitas mahasiswa itu dihambat oleh semakin konservatifnya kekuasaan dan struktur negara. Itu saya kira, yang paling basis dalam memicu tumbuhnya radikalisme. Adanya KNPI, AMPI dan sebagainya ini, bagian dari sistem konservatif yang dibangun oleh negara. Semuanya ini menjadi barier sehingga ini perlu dihadapi dengan usaha keras, semakin kuat niatnya, semakin keras usahanya, menjadi galaklah.
Apakah solusi politis untuk radikalisme berarti demokrasi itu sendiri?
Ya, saya kira itu. Jika tidak dipenuhi harapan-harapan dan kemajuan itu yang dicapai oleh mahasiswa itu sendiri, radikalisme itu tentunya meningkat terus.
Dalam radikalisme, tentunya ada kebaikan dan keburukan. Di mana kebaikan dan keburukan radikalisme mahasiwa sekarang?
Keburukannya, dia bersifat konfrontatif terhadap penguasa yang konservatif. Lawan semakin keras jadinya, tidak bisa dilakukan dalam suatu perubahan atau gerakan damai. Jadi kemungkinan menghadapi kawan yang semakin bersatu, semakin keras, semakin fisik pula aksinya itu, juga merupakan kelemahan saya kira.
Keuntungannya, perubahan radikal itu lebih dekat dengan idealisme. Jadi cita-cita lebih dapat direalisasikan dengan perubahan radikal. Hanya saja, perubahan radikal, meskipun tidak selalu bersifat revolusioner, bisa juga bertahap, itu banyak menyinggung, menyakiti orang karena mereka sudah merasa berjasa. Dengan pikiran radikal kita bisa mengatakan DPR tidak ada gunanya padahal mereka sudah mati-matian juga. Ada yang sakit jantung juga ngurusin DPR itu. Nah barangkali dengan gerakan radikal idealisme lebih tegas, lebih jelas, tidak kabur. [Khoirul Rosyadi, Mashudi, Nur Hidayati]
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Han Revanda Putra.