Judul: Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat
Penulis: Tania Murray Li
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus
Tebal: xvi + 326 halamanÂ
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: I, Agustus 2020
ISBN: 978-602-0788-02-9
Pada 1980-an dan 1990-an, Indonesia mengalami ledakan harga komoditas kakao. Para petani, terutama di wilayah perbukitan Sulawesi Tengah, berduyun-duyun mengubah lahan subsistensinya menjadi area pengembangan tanaman jangka panjang tersebut. Saudagar-saudagar dari dataran rendah juga mendaki ke perbukitan. Mereka membeli tanah dengan harga murah dan sekaligus menetap di lokasi pinggiran hutan. Pada masa itu, semua orang tergila-gila dengan kakao sebagaimana kegandrungan atas cengkih pada abad ke-15 di Kepulauan Maluku.
Namun, apabila cengkih menjadi rebutan, bahkan dengan kekerasan, dari bangsa pencari koloni seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda, introduksi kakao di jejeran bukit Sulawesi Tengah disambut serta-merta oleh penduduk tanpa ada paksaan ataupun penyerobotan. Apalagi, komoditas itu menghasilkan uang tunai yang menurut aparatus pemerintahan di dataran rendah merupakan kebutuhan penting bagi kelompok masyarakat yang dianggap udik dan terasing. Pasar tanah pun berkembang begitu cepat. Hal ini disebabkan oleh akses atas tanah yang masih luas, ditambah lagi tidak adanya pengaturan rigid soal kepemilikan tanah. Siapa saja yang punya modal bisa memiliki dan melakukan pengavelingan lahan.Â
Tepat pada titik itulah, âbencanaâ internal terjadi. Antropolog Tania Murray Li lewat buku Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat ini merekam proses perubahan corak produksi penduduk, terkhusus di wilayah perbukitan Lauje, Sulawesi Tengah, yang berlangsung begitu cepat dan masif. Perubahan itu juga mengakibatkan hilangnya akses sebagian warga terhadap lahan. Hubungan kekerabatan (lineage) bereproduksi menjadi relasi sosial yang kapitalistik. Inisiatif untuk tanam kakao menyebabkan tanah dilihat sebagai barang privat, kemudian bernilai penting hingga menimbulkan persaingan di kalangan penduduk.Â
Dengan metodologi etnografi dan analisis konjungtor yang memeriksa berbagai unsur (ekonomi, kualitas material lingkungan, kerentanan penyakit, nilai-nilai yang dianut setiap individu, dan sebagainya), buku ini menunjukkan bagaimana hasrat untuk mengakumulasi modal menimbulkan sejumlah siasat, strategi, dan kontestasi yang sudah barang tentu berujung pada munculnya pihak yang rentan dan kalah. Dalam kacamata Li, janji modernisasi untuk membawa orang pada kemakmuran justru luluh lantak oleh peristiwa sosial yang berlangsung sehari-hari di depan mata; hal yang dia sendiri bahkan tidak bisa prediksi.Â
Memang sejak masa kolonial, penduduk Lauje sempat menanam tanaman komoditi lain, seperti tembakau, kelapa, dan bawang. Namun perubahan relasi sosial produksi masyarakat tempatan berubah secara drastis ketika mereka mulai ramai-ramai mengembangkan kakaoâyang menjadi komoditas unggulan dekade tersebut dengan Sulawesi sebagai penyumbang terbesarâuntuk lalu lintas perdagangan global.
Perubahan ini, ironisnya, berlangsung mulai dari unit sosial terkecil, yakni skala rumah tangga. Dalam ranah ini, setiap anggota keluarga berusaha mengaveling lahan dan meninggalkan nilai-nilai lama yang mereka anut. Tanah yang sebelumnya dikerjakan bersama bertransformasi menjadi faktor produksi penting bernilai lebih sepantaran dengan janji manis dari harga kakao.Â
Kunjungan berulang Li dalam rentang 1990â2009 menunjukkan tanah-tanah pun akhirnya âhabisâ, bahkan untuk sekadar tanam pangan demi penuhi kebutuhan kalori dan nutrisi sehari-hari. Anjloknya harga kakao, makin rendahnya kualitas hara tanah, dan siklus kekeringan saling silang sengkarut dengan praktik akumulasi lahan dan penetrasi modal yang kencang dari orang-orang dataran rendah yang menganggap diri mereka lebih beradab.
Apalagi, pengelolaan kebun kakao (cokelat) tidak membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga mereka yang kehilangan akses atas lahan di bukit hanya menjadi penonton atau hidup dalam gerutuan di bawah payung orkestra kisah dari kebun terakhir. Li membantah anggapan teori modernisasi bahwa orang yang terpental oleh pertanian intensif akan menjadi buruh yang menjual tenaga kerja di kota, karena dalam temuannya sulit sekali mencari pekerjaan di Provinsi Sulawesi Tengah. Pada 2009, total sektor pertambangan dan manufaktur hanya menyerap 5 persen tenaga kerja.Â
Meskipun demikian, para penduduk bukannya tidak sadar akan perkara ketimpangan yang mereka alami. Mereka tahu bahwa sedang terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Namun, mereka lebih menyalahkan diri sendiri sembari memupuk keyakinan soal etos kerja. Selain itu, muncul juga rasa tidak suka kepada orang-orang dari dataran rendah, terutama para aparat desa yang mereka sebut sebagai âbuayaâ karena gemar melakukan korupsi dan berlaku diskriminatif.
Sayangnya, mereka sendiri tidak memiliki sekutu, merujuk pada patron dari kelompok gerakan sosial, karena bukan terkategorikan sebagai âmasyarakat adatâ yang tanahnya tengah dicaplok korporasi ataupun institusi negara. Selain itu, perubahan agraria di Lauje memang berlangsung perlahan dan senyap meski dampaknya langsung mengubah total aspek tenurial di wilayah tersebut.Â
Metode etnografi yang menggamit gaya kepenulisan sastra membuat karya iniâtentu tidak lepas dari kualitas terjemahannyaâmampu menghantar pembaca untuk ikut serta menyaksikan dan merasakan langsung kondisi sosial yang digambarkan si peneliti. Analisis konjungtor yang dipakai dengan latar historisnya masing-masing juga berhasil menjembatani persoalan transformasi agraria masyarakat perbukitan yang tentu tidak hidup dalam kategori singular.
Namun, walaupun karya ini disampaikan secara mengalir dan menarik, pembaca barangkali membutuhkan usaha lebih guna menangkap mobilitas tiap individu atau tokoh yang menjadi subjek penelitian dalam lalu lintas relasi sosial-kuasa mereka, terutama berkaitan dengan analisis konjungtor yang coba dimampatkan.
Pada akhirnya, buku ini mengajarkan kita bahwa janji manis kemajuan dan peningkatan ekonomi bisa saja membuat sebagian orang tidak siap dan malah terjerumus ke dalam hubungan eksploitatif satu sama lain, termasuk pembentukan kelas tak bertanah (landless), yang mereka sendiri tidak tahu jalan keluarnya.Â
Martin Elvanyus De Porres
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada