“Tumagon ma mate marjuang daripada mate-mate!” [Lebih baik kami mati berjuang daripada hidup seperti mati!-red]. Semboyan yang terus diemban masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta untuk memperjuangan tombak haminjon ‘hutan kemenyan’ yang bukan hanya wujud sumber daya ekonomi, melainkan juga wujud identitas primordial.
Judul Buku: Tombak Haminjon do Ngolu Nami: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya
Penulis: Delima Silalahi
Penerbit: INSISTPress
Tebal buku: xx + 200 halaman
Tahun terbit: 2020ISBN: 978-602-0857-95-4
Semua Demi Tanah Kami, Hutan Kami
“On tanota do on, tombakta do on, unang gabe halak na asing mandirihon tombakna di son!” Begitulah kurang lebih perkataan dari masyarakat adat batak di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Bila diartikan, maka mereka berkata “Ini tanah kita, hutan kita, jangan sampai orang lain mendirikan hutan mereka di sini!” Mereka marah dan gundah. Mereka khawatir mata pencahariannya hilang. Mereka galabah karena tidak bisa berdiri lagi di tanah nenek moyangnya. Kemarahan dan kegundahan pun memuncak saat mereka tahu identitasnya tengah dipertaruhkan. Identitas mereka akan menguap bersama dengan bekas asap gergaji mesin yang memotong sang hutan kemenyan. Hutan tersebut telah diwariskan kepada mereka, bukan hanya sebagai warisan ekonomi, melainkan juga sebagai warisan budaya yang kaya akan identitas dan ritual. Layaknya kehidupan masyarakat adat pada umumnya, hal-hal yang etnik akan terus tereksklusi di kehidupan modern. Walaupun demikian, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta tidak pernah takut. Perjuangan mereka tidak pernah berhenti. Perjuangan mereka disokong oleh semangat berbagai pihak, mulai dari pemuda yang merantau dari desa, organisasi nonpemerintahan (ORNOP), hingga organisasi konservasi lingkungan di luar negeri.
Resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Pandumaan-Sipituhuta merupakan konstelasi gerakan sosial yang telah dibangun dan disempurnakan melalui pendekatan historis dan teoretis. Masyarakat ini awalnya terdiri dari massa reaksioner yang hanya ingin mempertahankan hutannya. Lalu, bertransformasi menjadi gerakan kolektif yang matang dalam aksi serta cerdas dalam retorika.
Perjuangan panjang mereka berlangsung dari tahun 1980-an, masa yang masih dihadapkan dengan kelamnya bayang-bayang rezim orde baru. Saat itu, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta berbenturan dengan PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang hendak mengekstraksi pulp dan rayon dari kampung mereka. Pada 1988, konflik semakin berkembang seiring penolakan masyarakat terhadap PT IUU. Hal ini berujung pada penangkapan inang-inang ‘ibu-ibu’. Sejak saat itu, konflik semakin panas, masyarakat pun memaksa pembebasan inang–inang dengan mendatangi Kementerian Dalam Negeri yang pada saat itu dipimpin oleh Rudini. Kemudian, untuk sementara waktu, masyarakat dapat tenang karena pada April 1988 tanah mereka dikembalikan dan pada tahun 1999 PT IUU ditutup secara permanen. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Pada sidang kabinet 10 Mei 2000 yang dipimpin oleh Megawati, penutupan PT IUU ditetapkan secara permanen seturut dengan pembukaan PT baru, yakni PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dengan didirikannya PT TPL, perjuangan masyarakat menjadi redup. Bahkan, pada 2007, ada kaum elite kelompok petani yang menerima uang sebesar 110 juta untuk berdamai dengan perusahaan. Hal itu membuat gerakan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade menjadi layu. Namun, pada 2009, gelombang protes besar muncul akibat penebangan hutan kemenyan yang semena-mena. Kemarahan masyarakat tidak bisa lagi diredam. Ratusan masyarakat turun menghadang para pekerja PT TPL dan menyita empat belas gergaji milik kontraktor PT TPL. Alhasil, empat orang petani yang terlibat ditangkap.
Gerak konflik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL (dan sebelumnya PT IUU), pada gilirannya, menciptakan suatu gerakan baru yang berbasis identitas kolektif. Gerakan masyarakat adat Batak yang pada saat itu berbasis pada aksi reaksioner berevolusi menjadi gerakan baru yang terfokus pada lima hal, yakni hak adat Batak, tanah ulayat, mempertahankan bona pasogit ‘kampung halaman’, pemiskinan, dan pencemaran lingkungan. Poin penting dari gerakan baru ini adalah perjuangan yang tidak hanya berbasis tujuan dan target capaian semata, tetapi juga berbasis identitas kolektif. Hal ini ditujukan agar gerakan tidak lagi bersifat reaksioner dan sporadis.
Gerakan Sosial sebagai Gerakan Kultural
Buku ini bersumber dari tesis Delima Silalahi saat mengemban studi S2 di Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada. Sambil meneliti, Delima mengabdikan dirinya untuk berjuang bersama masyarakat adat Batak dengan bergabung di Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Ia, bersama dengan KSPPM, Indonesian Society for Social Transformation, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, ORNOP, dan lainnya, bergerak memberi bantuan eksternal untuk masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Di penelitian ini, Delima menggunakan beberapa metode, seperti wawancara, observasi langsung, dan studi pustaka. Metode tersebut ia gunakan agar bisa mengetahui wujud asli dari perjuangan masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta.
Melalui penelitiannya, Delima menemukan bahwa perjuangan masyarakat adat Batak merupakan perjuangan yang berbasis gerakan sosial, secara spesifik, gerakan sosial sebagai gerakan kultural. Delima menolak teori gerakan sosial sebagai perilaku kolektif, dikemukakan oleh Gustave Le Bon, yang menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan perilaku kolektif dalam kerumunan yang menyerupai “emosi binatang”. Ia juga mengkritik gagasan gerakan sosial sebagai mobilisasi sumber daya. Gagasan ini mensyaratkan adanya struktur yang disatukan oleh sumber daya masyarakat belaka. Perjuangan masyarakat kolektif direduksi. Delima, selanjutnya, memaparkan bahwa gerakan sosial masyarakat adat Batak juga bukan gerakan sosial sebagai proses politik. Sebab, penekanannya masih berkutat di ranah rasional-politis. Berangkat dari berbagai kritik ini, ia menyimpulkan bahwa gerakan sosial masyarakat adat Batak merupakan gerakan kultural. Gerakan sosial sebagai gerakan kultural memiliki tiga karakteristik. Pertama, gerakan ini berbeda dengan gerakan-gerakan sosial sebelumnya, seperti gerakan petani dan buruh, yang umumnya, berlandaskan pada keadilan ekonomi dan sosial-politik yang materialistik. Kedua, gerakan ini lekat dengan isu sosio-kultural yang acap kali terkesan abstrak. Ketiga, di dalam gerakan ini, tersemat kelompok perorangan yang membentuk unsur gerakan yang lebih besar. Manuver yang mencakup ketiga karakteristik ini disebut juga sebagai gerakan sosial baru, gerakan yang melihat pentingnya dimensi kultural dan proses internal dalam mencipta identitas kolektif.
Gerakan Sosial Baru dan Identitas Kolektif Ke-kita-an
Dalam bergerak, perlu adanya perasaan kolektif, yang umumnya muncul dari proses kultural. Pembangunan perasaan ini beriringan dengan pembangunan kesadaran dan makna bersama, atau bisa disebut juga, identitas kolektif. Identitas kolektif muncul dari perasaan senasib dan sepenanggungan, perasaan memiliki tujuan yang sama. Hal inilah yang, pada akhirnya, memunculkan aksi kolektif. Dalam gerakan sosial baru, identitas kolektif merupakan tujuan dari gerakan itu sendiri, menjadi orientasi paling dasar.
Alberto Melucci, seorang teoretikus gerakan sosial, berpendapat bahwa dunia pascamodern membawa bentuk baru dari kontrol sosial, tekanan konformitas, dan pemrosesan informasi. Konflik yang memicu gerakan, melibatkan sandi-sandi simbolik. Hal ini ditanggapi oleh gerakan sosial baru. Dalam masyarakat yang semakin dibentuk oleh informasi dan tanda, gerakan sosial memainkan peran penting sebagai pesan yang mengekspresikan kecenderungan oposisi dan modalitas. Melucci menekanan bahwa, teori gerakan sosial baru mesti dilihat sebagai konstruksi sosial yang sedang berlangsung daripada sebagai objek empiris kesatuan, pemberi esensi, ataupun tokoh sejarah yang bertindak di atas panggung (Buechler, 1995).
Delima menggunakan teori Melucci yang menekankan bahwa identitas kolektif dalam gerakan sosial bersifat tak terhindarkan. Tentunya, perhitungan untung-rugi tetap ada dalam gerakan sosial yang berlandaskan identitas kolektif, tetapi hal tersebut bukan menjadi parameter utama keberhasilan perjuangan masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta. Parameter utama dalam perjuangan masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta merupakan identifikasi tentang “siapa kita” dan “siapa mereka”. Identifikasi ke-kita-an merupakan aspek penting untuk membersihkan musuh dari tubuh masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta. Masyarakat perlu melihat lebih jeli siapa yang tulus untuk membantu. Sebab, sempat ada ORNOP yang bertujuan mengambil keuntungan dari penderitaan mereka. Bahkan, gereja Huria Kristen Batak Protestan, yang semestinya membela dan menjunjung tinggi kebutuhan masyarakat tempatan, justru membela PT TPL dengan memberikan karangan bunga terima kasih saat memperoleh sumbangan dari PT TPL. Hal tersebut membuat masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta sempat kesulitan untuk mencari kawan dan menetapkan lawan. Untungnya dengan bantuan ORNOP dan seluruh pihak yang berkontribusi untuk penyelamatan tombak haminjon, masyarakat adat Batak mampu mencapai titik ekuilibrium gerakan sosial mereka. “The movement is the message.” Ungkapan Melucci tersebut terealisasikan pada perjuangan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta.
Masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta berhasil memanifestasikan rekonstruksi model gerakan sosial Melucci (Opp, 2009). Aksi kolektif atau identitas kolektif menjadi tujuan akhir dan tujuan utama dalam suatu gerakan sosial seperti yang diilustrasikan pada gambar di bawah.
Perjuangan masyarakat yang dilandasi dengan kalkulasi untung dan rugi, peluang, sumber daya, tujuan, dan melewati proses interaksi antarindividu perjuangan bertujuan memunculkan identitas kolektif yang matang. Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menyadari bahwa mereka tidak hanya sedang berjuang demi keadilan ekonomi, melainkan juga keberlangsungan identitas mereka sebagai masyarakat adat Batak.
Identitas, Mula dari Gerakan
Teori melucci menyeruak ke dalam perjuangan masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta, bukan tanpa sebab. Masyarakat tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan identitas asli mereka. Identitas bukan merupakan suatu hal yang muncul secara substansial, melainkan melalui proses (Vahabzadeh, 2001).
Buku Tombak Haminjon do Ngolu Nami karya Delima Silalahi ini berhasil menjadi pengantar bagi para pembaca yang mencari realitas gerakan sosial baru dalam masyarakat adat. Konstelasi pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat adat Batak Pandumaan-Sipituhuta tidak hanya bermanfaat bagi perjuangan ke depannya, tetapi turut mengasah strategi perjuangan yang masih dihadapi masyarakat adat masa kini. Bahasa lugas oleh Delima Silalahi semestinya menggugah pembaca untuk bisa lebih reflektif dalam menyesuaikan teori yang ada dengan pergerakan sosial di lapangan. Identitas kolektif sebagai topik sentral dalam gerakan sosial baru ala Melucci mampu menjadi titik berangkat bagi aktivisme sosial. Melalui buku ini, pembayangan gerakan yang realistis dimungkinkan, kontinuitas dan kolektivitas menjadi basis dalam perjuangan.
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: M. Ihsan Nurhidayah
Fotografer: Vigo Joshua
Daftar Pustaka
Buechler, Steven. “New Social Movement Theories,” Sociological Quarterly 36, no. 3 (1995):441-464. https://doi.org/10.1111/j.1533-8525.1995.tb00447.x.
Opp, Karl-Dieter. Theories of Political Protest and Social Movements: A Multidisciplinary Introduction, Critique, and Synthesis. London: Routledge, 2009.
Vahabzadeh, Peyman. “A Critique of Ultimate Referentiality in the New Social Movement Theory of Alberto Melucci.” The Canadian Journal of Sociology 26, no. 4 (2001): 611-633.