Senin (25-07), UGM menyelenggarakan forum Penjaringan Aspirasi Mahasiswa terhadap Rancangan Peraturan Rektor UGM tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Dilaksanakan secara daring melalui Zoom, forum ini bertujuan untuk membuka masukan, revisi, dan rekomendasi terkait Peraturan Rektor Nomor 1 tahun 2020 dan SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di UGM. Perwakilan dari organisasi, komunitas, dan lembaga mahasiswa turut menghadiri forum ini. Acara ini dihadiri beberapa pemangku kepentingan seperti Yayi Prabandari selaku Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial; Suharyadi dari Direktorat Kemahasiswaan UGM; serta Ova Emilia selaku rektor UGM.
Sri Wiyanti Eddyono, akademisi Fakultas Hukum UGM, merefleksikan bentuk penanganan dan pencegahan kekerasan di lingkungan kampus selama ini. Ia melaporkan bahwa setidaknya ada delapan fakultas yang telah melakukan sosialisasi mengenai kekerasan seksual. Sri menambahkan, pelatihan pendampingan juga dijalankan untuk tim penanganan kasus kekerasan di tingkat fakultas. Pengelola Kampus Berbasis Kesehatan atau Health Promoting University (HPU) juga akan mengadakan pelatihan pendampingan terhadap mahasiswa yang bersifat kelompok sebaya. “Harapannya nanti sekitar minggu kedua Agustus akan menyelenggarakan pelatihan penanganan kasus di kalangan mahasiswa,” ungkap Sri.
Sigit Bagas dari Forum Advokasi UGM menyinggung ihwal duta HPU yang telah dilantik. Ia menanyakan mengenai peran dan langkah mereka dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Menanggapi hal tersebut, Yayi mengakui bahwa duta HPU hanya dilatih untuk menjadi penolong pertama di bidang kesehatan mental. Menurutnya, pelatihan lebih lanjut perlu dilakukan agar mereka dapat membantu penanganan kekerasan seksual. Selanjutnya, Sri turut mengimbuhi bahwa pelatihan konseling tidak hanya ditujukan kepada duta HPU, tetapi juga bersama pihak yang berminat menjadi kelompok sebaya konseling kekerasan seksual.
Yayi merespons pertanyaan terkait kemungkinan terjadinya peningkatan laporan kasus kekerasan seksual. Ia menyatakan bahwa peningkatan laporan kasus menunjukkan kesadaran mahasiswa terkait kekerasan seksual mulai membaik. Yayi mengatakan bahwa penanganan di tingkat fakultas akan diperkuat dengan cara menambah tim konseling dan integrasinya dengan duta HPU. “Pada masa depan, harapannya pelayanan primer ada di tingkat fakultas, apabila kasus membutuhkan penanganan lebih lanjut, akan dinaikkan ke tingkat universitas,” ungkap Yayi.
Filza Hanifah mengajukan masukan sebagai anggota HopeHelps UGM, yang turut menyorot regulasi penanganan kasus kekerasan seksual. Ia mengutip, Peraturan Rektor Nomor 1 tahun 2020 menyampaikan bahwa pemeriksaan kasus dilakukan paling lambat 60 hari dan maksimal perpanjangan masa pemeriksaan 30 hari. Menurut Filza, terdapat kemungkinan terburuk bahwa pemeriksaan kasus membutuhkan waktu cukup lama untuk diproses. Menanggapi hal ini, Sri mengatakan bahwa memang akan diusulkan perubahan dalam Peraturan Rektor dan SOP PKS. Hal ini diajukan berdasarkan pengalaman penanganan kasus yang melalui proses panjang dan membutuhkan kehati-hatian dalam menindaklanjuti kasus.
Norma, anggota HopeHelps UGM, ikut menyampaikan masukan mengenai calon-calon tim penanganan yang ditugaskan di fakultas. Ia berharap agar HPU menunjuk orang-orang dengan rekam jejak yang bersih dan steril, sehingga meminimalkan terjadinya viktimisasi dan sikap menyalahkan korban. Mengamini masukan tersebut, Sri menilai bahwa tidak hanya pengetahuan tentang kekerasan, tetapi juga pengetahuan tentang sensitivitas gender, seksualitas, dan maskulinitas penting untuk dimiliki calon petugas penanganan. “Kita bisa mulai membuat daftar siapa saja yang dapat terlibat dan tidak terlibat (dalam tim penanganan),” pungkas Sri.
Penulis: Tiefany Ruwaida Nasukha dan Ilham Maulana
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Alika Bettyno Sastro