Selasa (14-06), MAP (Magister Administrasi Publik) Corner UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Mampukah Gerakan Kampus Bertahan di Tengah Neoliberasi Pendidikan?”. Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka 11 tahun berdirinya MAP Corner UGM. Diskusi ini dimoderatori oleh Alnick Nathan, mahasiswa MAP UGM. Narasumbernya antara lain: Max Lane, dosen tamu Institute of South East Asian Studies (ISEAS) Yusof Ishak Singapura; Joko Susilo, peneliti NALAR Institute; dan Herlambang Wiratraman, dosen Fakultas Hukum UGM.
Diskusi diawali oleh Josu, panggilan Joko Susilo, mengenai implikasi neoliberalisme terhadap pendidikan. Menurut Josu, pendidikan neoliberal menggiring institusi pendidikan menjadi tempat reproduksi kelas sosial. Hal ini didukung dengan riset dari Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2020 bahwa 62% mahasiswa berasal dari kelas ekonomi atas. Josu menambahkan, implikasi kedua ialah manufakturisasi kurikulum yang membuat kampus sibuk mengejar jumlah lulusan dan peringkat global. Manufakturisasi kurikulum juga membuat kampus fokus pada pencapaian individu alih-alih kolektif.
Ada tiga bentuk perlawanan terhadap pendidikan neoliberal yang umumnya ditemui di Indonesia, kata Josu. Pertama, pertarungan wacana lewat tesis, disertasi, dan kelompok-kelompok diskusi. Kedua, judicial review terhadap kebijakan yang dianggap bermasalah. Terakhir, aksi massa.
Josu juga menambahkan bentuk perlawanan di negara-negara lain. Salah satunya adalah aksi turun ke jalan oleh serikat beranggotakan pelajar, wali, dan tenaga pendidik di Chile. Mereka menuntut korporasi agar, secara tidak langsung, membiayai pendidikan lewat skema pajak progresif. “Konsolidasi rakyat ini secara struktural mengubah kebijakan di parlemen dan undang-undang,” paparnya.
Terkait aksi massa, Herlambang selaku mantan Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pelarangan aksi massa mahasiswa oleh Mendikbudristek pada 2019. Baginya, tindakan tersebut mengingkari kebebasan akademik. Herlambang menambahkan, keresahan mahasiswa juga perlu disuarakan oleh akademisi, begitupun sebaliknya. Salah satu bentuk menyuarakan keresahan dan pendapat yang dilakukan akademisi adalah membangun kerja sama dengan aliansi-aliansi strategis.
Syahrul Ramadhan, peserta diskusi dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengungkapkan kesenjangan antara gerakan kampus “pusat”, seperti Jakarta dan Yogyakarta, dengan kampus “pinggiran” seperti Aceh. Kesenjangan tersebut berupa kurangnya ekspos terhadap gerakan kampus di “pinggiran” sehingga dampaknya kurang signifikan. Menanggapi hal ini, Max Lane menekankan bahwa gerakan lokal harus menjadi bagian dari gerakan nasional yang terstruktur. Apabila gerakan masih terpecah-pecah, maka tidak ada keseimbangan antara daerah satu dengan yang lain. “Masalah pendidikan neoliberal hanya bisa dipecahkan dengan gerakan nasional, bukan lokal,” tegas Max.
Senada dengan Max, Alnick pun menggarisbawahi soal pengorganisasian gerakan secara struktural. Alnick mencatat bahwa perlu dibangunnya gerakan yang terorganisasi di dalam dan luar kampus yang dapat membangun agenda lintas sektoral. Dia menambahkan, diperlukan basis massa yang memadai untuk mencapai agenda lintas sektoral. “Harapannya, organisasi gerakan di dalam dan luar kampus mampu membangun basis massa dan mewujudkan agenda-agendanya,” pungkasnya.
Penulis: Tiefany Ruwaida Nasukha
Editor: Ardhias Nauvaly Azzuhry