Tampak di kejauhan, sebuah gunung mengakar kuat menjulang tinggi. Dipayungi teduhnya mega-mega, air sungai berkelok-kelok di bawah kaki-kaki gunung yang tak berapi. Mengairi sekat-sekat irigasi yang berjajar rapi mengelilingi tanah gembur milik para petani. Dengannya, mereka tak perlu cemas akan masa depan benih-benih unggul yang ditanam karena sudah tercukupi semua nutrisi.Â
Petak demi petak tanah di sana, jika diperhatikan seksama, bukanlah berupa tanah kering kerontang. Andai saja digores dengan tinta warna-warni, sejauh mata memandang bakal dimanjakan bunga-bunga bermekaran di antara rerumputan hijau yang menyimpan kekayaan bumi. Benar saja, di bagian bawah terpampang berbagai hasil bumi berkat keringat petani. Mulai dari seikat padi, buah pisang, pepaya, salak, pohon tebu, dan ragam hasil bumi lainnya.Â
Sisi kanan dan kiri terlihat pula sepasang tangan seorang petani dengan jari jemari terbuka, seakan memamerkan ragam hasil bumi tersebut. Raut urat-urat nadi di pergelangan tangan mengindikasikan senyum bahagia petani usai panen raya. Urusan perut sudah pasti tidak menjadi persoalan berarti. Sebaris kalimat cetak tebal berbunyi âwong tani sing ngrataniâ menjadi poin verbal yang menyaratkan sebuah makna mendalam.Â
Imaji lukisan garapan komunitas Taring Padi tersebut berusaha menyampaikan gambaran kehidupan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang sebagian besar bergantung dari hasil tanah. Menurut Bebe, perwakilan Taring Padi, hubungan sosial antara tanah dengan makhluk hidup sangatlah kuat. Tercermin dari lukisannya berjudul Wong Tani Sing Ngratani itu, tanah yang sehat akan menjamin kehidupan yang sehat pula.
âHarmoni alam dan kehidupan di Desa Wadas merupakan tujuan akhir dari konsep Hutan Pangan. Ia menyediakan semua kebutuhan manusia mulai dari air, makanan, hingga bahan bangunan seperti kayu dan bambu,â terang Bebe saat ditemui BALAIRUNG di Kedai Kebun Forum (KKF), Yogyakarta pada Minggu sore, 20 Februari 2022.Â
Sayangnya, beberapa tahun terakhir, pemerintah justru berencana menambang batu andesit di perut perbukitan Desa Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener. Oleh sejumlah pengamat lingkungan, rencana itu bakal merusak kelestarian alam dan menggerus mata pencaharian warga Desa Wadas sebagai petani. Warga Wadas sepakat menolak rencana penambangan tersebut dengan melakukan berbagai aksi perlawanan.Â
Sejumlah pihak termasuk para aktivis peduli alam Desa Wadas turut bersolidaritas. Tak hanya lewat advokasi, bentuk solidaritas perlawanan mereka lakukan melalui pameran seni bertajuk âKepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadasâ. Diinisiasi sejumlah koalisi masyarakat sipil, pameran yang menampilkan lukisan 22 senimanâsalah satu di antaranya dari Taring Padiâini diselenggarakan secara simultan di enam kota, yakni Bali, Batu, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.Â
Menariknya para seniman yang berpartisipasi tidak melukis karya seninya di atas media kanvas, melainkan di bungkus kopi 250 gram hasil panen dari Desa Wadas. Pemilihan kopi sebagai sajian utama pameran bukan tanpa alasan. Menurut salah satu penyelenggara gerakan Kepada Tanah, Farid Stevy, tren dan geliat industri kopi kini telah merambah ke banyak lapisan masyarakat. Kopi dinilai bisa dinikmati semua khalayak serta mampu diterjemahkan dan direspons lebih mudah.Â
Menurut Farid, isu perampasan tanah selama ini hanya terkungkung di sejumlah kalangan dan tak benar-benar sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Bagi Farid, kopi yang sudah ditanam warga Wadas sejak turun-temurun merupakan media kampanye yang pas. âKami berharap isu perampasan tanah yang menimpa Desa Wadas dapat memantik perlawanan kita bersama,” kata Farid.Â
Selain sebagai penyelenggara, Farid yang juga merupakan seorang seniman asal Gunungkidul, Yogyakarta ini turut menyumbangkan hasil karya seninya. Dalam merespons isu Wadas, dirinya menggunakan teks sebagai corak media dalam kerja seni visualnya. Mengutip beberapa sumber, seperti Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3, lirik lagu berjudul âBerita Cuacaâ karya Gombloh, dan beberapa cuitan jenaka Twitter, dia menuliskan teks-teks satire di atas bungkus kopi khas Wadas.Â
Satu dari tujuh karya yang menarik dari Farid adalah âHong!â. Sekilas terlihat sederhana karena dalam karya lukisnya itu hanya tertulis satu leksem âhongâ dan satu tanda baca seru â!â. Menurut dia, âHong!â bermula dari ingatan masa kecilnya yang memiliki latar belakang keluarga Jawa. Farid kecil yang lahir tahun 1982 itu dibiasakan keluarganya dalam menyebut Tuhan dengan Hong. âHong itu sama dengan OM, Omega, Hyang. Kemudian, Hong bagi saya sama saja dengan Gusti Allah, Tuhan, Gusti,â jelasnya.
Karya âHong!â lahir dari pengalaman pribadi Farid ketika mengunjungi warga Wadas. Ia mengaku setiap akan berpamitan, warga Wadas selalu berterima kasih dan minta didoakan. Hingga Farid menyadari bahwa doa merupakan hal yang tidak pernah luput dilakukan oleh warga Wadas. Hal itu sangat membekas di benak Farid sehingga muncullah karya âHong!â sebagai bentuk doa untuk Wadas.
Karya lain dari Farid yang juga relevan dengan perjuangan Wadas adalah sebuah mural di Randu Parang. Dia menuangkan lagunya yang berjudul âAkulah Ibumuâ yang ia tulis sekitar tahun 2012. Farid memaparkan di karyanya tertulis âIbu Bumi Bapa Angkasaâ. Dalam karya tersebut, Farid menganggap bumi sebagai ibu; yang melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan seorang anak. âKondisi warga Wadas saat ini seolah akan dirampas ibunya dan digantikan rupiah. Saya pikir konteksnya pas, yakni warga wadas yang sedang memuliakan ibu mereka sampai akhir hayat,â jelasnya.Â
Salah satu pengunjung pameran yang gemar melukis, Faris, mengaku sedang mencoba mencari referensi untuk lukisannya. Ia sengaja datang ke pameran karena tertarik dengan konsep pameran seni lukis di media bungkus kopi. Menurutnya, lukisan bungkus kopi sangat jarang ditemui. âBungkus kopi ini menunjukkan sisi Wadas dengan cara yang berbeda, kebanyakan orang mungkin tidak mengetahui jika komoditas Wadas adalah kopi. Nah, mungkin dari biji kopi itu, perjuangan bakal tumbuh terus,â ujarnya.Â
Salah satu karya yang menarik dan berkesan bagi Faris adalah lukisan dari komunitas Geger Boyo. Pada lukisan tersebut tergambar sebuah tangan yang menggenggam daun lengkap dengan biji kopi disertai gambar jantung yang dibalut api di pergelangan lengan. Dia menginterpretasikan lukisan ini secara mendalam. Baginya, Geger Boyo berhasil menggambarkan tekad perjuangan warga Wadas sampai ke urat nadi dan jiwa.Â
Selain itu, kopi dan jantung juga dimaknai Faris sebagai upaya para petani Wadas dalam menanam kopi, tanpa selalu memikirkan uang. Dengan kata lain, mereka menanam kopi dari hati. Sementara sosok anak kecil menangis di belakang genggaman tangan, ia interpretasikan sebagai bentuk kondisi perjuangan warga Wadas saat ini. âSejak kecil warga Wadas hidup harmoni bersama alam, tetapi kemudian datang pihak luar yang ingin mengambil tanah mereka secara paksa. Meski mereka dibayar, uang tidak akan bisa membeli kenangan yang ada pada tanah tersebut,â ungkapnya.Â
Secara keseluruhan, pameran ini berjalan seperti sebuah wadah sekaligus megafon perjuangan Wadas. Pameran ini, kata Farid, memberikan wadah bagi para seniman untuk menghasilkan karya-karya yang menyuarakan perjuangan warga Wadas atas hak tanah yang telah dijaga sejak turun temurun. Tanah tersebut telah menjadi tempat berbagai cerita yang sangat kaya dan tak ternilai harganya jika dibandingkan dengan rupiah.Â
Melalui berbagai gaya dan ciri khas dari masing-masing seniman, keragaman cara dalam menyuarakan perjuangan tersebut adalah representasi mereka melawan. Sama halnya gagasan Farid yang mengatakan, âBuat kami (para seniman), âmelawanâ berarti melakukan hal sebaliknya. Kalau pemerintah mau merusak, ya kita merawat. Seakan-akan kata âlawanâ itu digunakan untuk memenangkan, padahal sebenarnya kata âlawanâ itu untuk menyeimbangkan. Supaya seimbang.âÂ
Penulis: Averina Odelia, Dwi Fury, dan Eleonora Astrid
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati