Sampai hari ini, aktivitas pertambangan yang merugikan warga setempat masih masif terjadi di Yogyakarta. Kasus tambang di daerah aliran sungai yang terjadi di Sungai Progo, Krasak, dan Gendol menjadi pusat perhatian. Konferensi pers untuk membahas isu ini pun diselenggarakan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Selasa (07-06). Konferensi pers dengan tajuk “Korban Tambang se-DIY Buka Suara” ini menghadirkan berbagai komunitas warga terdampak tambang, seperti Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) dan Paguyuban Sindu Tolak Asat (PSTA).
Danil Ghifari, perwakilan LBH Yogyakarta, menyampaikan bahwa kebijakan pembangunan nasional memengaruhi masifnya aktivitas pertambangan. Hal tersebut merugikan warga setempat. Danil mengatakan pemerintah sekarang ini lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan tersebut, tuturnya, berpotensi mengancam ruang hidup warga terdampak. “Hari ini, warga bertarung dengan korporasi dan pemerintah dalam mempertahankan kelestarian ruang hidup,” tegas Ghifari. Ia juga menambahkan bahwa perebutan ruang hidup ini melahirkan kerusakan lingkungan.
Keresahan warga pinggir Sungai Progo diwakilkan oleh perwakilan PMKP. Mereka menyayangkan tidak adanya titik terang atas dampak dari pertambangan. Padahal, persoalan tambang sangat masif dan sudah dimulai sejak tahun 2017. Satu per satu masalah akibat tambang mulai berdatangan seperti bencana longsor dan air keruh. “Kami berharap persoalan ini segera terselesaikan agar masyarakat dapat mendapat lingkungan yang baik dan sehat,” ujar salah satu perwakilan PMKP.
Keresahan serupa juga diungkapkan perwakilan dari PTSA. CV Kayon, perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, melakukan maladministrasi berupa pengadaan aktivitas pertambangan yang sudah dimulai sejak tahun 2019 tanpa adanya konsensus warga Desa Sindumartani. Padahal, pertambangan itu berdampak pada rusaknya air Sungai Gendol. Padahal, warga sangat bergantung pada Sungai Gendol untuk kebutuhan air bersih, bercocok tanam, dan perikanan. “Berdasarkan data Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), warga kehilangan sekitar 10 miliar rupiah dari total sekitar sepuluh dusun akibat pertambangan,” tukas salah satu perwakilan PSTA.
Menurut perwakilan Wahana Lingkungan Hidup, Abimanyu, aktivitas pertambangan eksploitatif ataupun sedot tanah menimbulkan berbagai macam dampak. Salah satunya adalah penurunan kuantitas air dan bencana longsor. Bahkan, daerah dekat pantai pun turut merasakan dampaknya. “Awalnya air tawar kemudian berubah menjadi air payau, itu persoalan yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Di sisi lain, warga penolak tambang mengalami kriminalisasi. Salah satu korban kriminalisasi adalah warga yang tergabung dalam PSTA. Menurut perwakilan PSTA, pihak Polres Sleman memanggil guru yang menolak tambang agar berbalik mendukung aktivitas tambang. “Penolakan kami malah dikriminalisasi, beberapa pleton aparat mendatangi kami lantaran pemasangan spanduk di Sungai Gendol dan jalan utama provinsi,” tegas perwakilan PSTA.
Menanggapi banyaknya kriminalisasi, Ghifari menyatakan bahwa pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata. Baginya, negara sebetulnya sudah memberi instrumen pengamanan bagi pejuang lingkungan ini. “Hal itu diatur dalam UU Undang-Undang tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” lanjutnya.
Akan tetapi, Ghifari menyayangkan realitas di lapangan. Realitas tersebut justru bertolak belakang dari peraturan PPLH. “Bukannya memberi perlindungan dan penghormatan terhadap warga, justru negara justru mengkriminalisasi dan mengintimidasi penolak tambang melalui aparat keamanannya,” ujarnya.
Menindaklanjuti konferensi pers, Abimanyu mengatakan bahwa rekan yang hadir dalam konferensi pers ini akan membuat kajian lingkungan. Hal tersebut dilakukan sebagai modal menolak tambang pasir secara akademis. “Kajian tersebut berguna untuk menyatakan bahwa pertambangan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di daerah aliran sungai, memiliki berbagai risiko lingkungan,” pungkas Abimanyu.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, M. Fahri Reza, dan M. Fahrul Muharman
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Muhammad Aditya Bintang