
©Enggar/Bal
Inisiasi terhadap pembahasan, pembentukan, dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah diajukan oleh Komisi Nasional Perempuan sejak tahun 2012. Namun, RUU ini baru masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2016. Sepanjang pembahasannya, RUU ini kerap mengalami tarik-ulur substansi yang berjalan dengan lamban dan alot. Puncaknya, pada tahun 2020, RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas. Kendati demikian, RUU ini akhirnya berhasil disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 April 2022. Kemudian, pada 9 Mei 2022, RUU ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan dikenal sebagai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Walaupun telah diratifikasi, apa strategi berikutnya dalam mendukung pelaksanaan UU tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Studio Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM menyelenggarakan diskusi daring pada Kamis (12-05) yang mempertanyakan strategi-strategi perjuangan setelah UU TPKS disahkan. Diskusi ini menghadirkan Muhadjir M. Darwin, Ketua Tim Perumus Kebijakan Peraturan Rektor UGM tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; Defirentia One Muharomah, Direktur Rifka Annisa; serta Laili Nur Anisah selaku Dosen Victimology Universitas Widya Mataram.
Sebagai pembuka diskusi, Muhadjir merespons positif kehadiran UU TPKS karena Indonesia akhirnya memiliki UU yang melindungi perempuan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual. Akan tetapi, ia juga memberi catatan kritis terhadap implementasi peraturan tersebut dalam agenda nasional. Ia menilai, banyak pejabat pelaksana di lapangan yang masih cenderung bias gender. Tidak hanya itu, masyarakat yang belum siap dalam melembagakan konsep consent di kehidupan sehari-hari juga masih banyak. “Oleh sebab itu, kehadiran UU ini perlu diiringi dengan regulasi turunan yang lebih mengikat dan operasional,” tuturnya.Â
Senada dengan Muhadjir, Defirentia juga menyoroti urgensi dikeluarkannya regulasi turunan. Ia merefleksikan sorotan tersebut terhadap implementasi UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang mengalami beberapa kerumitan karena ketiadaan regulasi turunan. Ia menyampaikan bahwa hal ini berbeda dengan UU tentang Perlindungan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang cenderung lebih sukses. “Kesuksesan pengimplementasian kedua UU tersebut disebabkan oleh kehadiran regulasi turunan di berbagai level instansi dan kesamaan visi antarlembaga pelaksana,” jelasnya.
Selain regulasi turunan, Defirentia juga menyampaikan dua pekerjaan rumah lain yang harus diperhatikan demi keberhasilan implementasi UU TPKS. Pertama, ia menyampaikan bahwa UU ini perlu dibersamai dengan penyiapan dan penguatan layanan terpadu di daerah terpencil. Ia mengatakan bahwa, selama pandemi, Rifka Annisa tidak hanya menerima aduan dari klien di Yogyakarta, tetapi ada pula beberapa klien dari luar Pulau Jawa. “Fenomena ini memperlihatkan adanya ketimpangan fasilitas atau layanan terpadu mengenai kekerasan seksual di daerah-daerah luar Jawa,” jelasnya.
Kedua, seiring meningkatnya fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Defirentia memberi catatan mengenai perlunya sistem pendukung demi keamanan korban dan kemudahan dalam memberikan bukti. “Dalam fenomena KBGO, penyintas sering kali kesulitan untuk beranjak pada proses hukum karena bukti-bukti yang susah dilengkapi,” jelasnya. Terlebih lagi, keberadaan Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pencemaran nama baik juga menjadi ancaman bagi para penyintas kekerasan seksual.
Berbeda dengan dua narasumber sebelumnya, Laili lebih menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam mendukung keberhasilan UU TPKS. Ia mengeklaim bahwa UU TPKS merupakan salah satu UU yang menyediakan porsi besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses hukum pidana. Ia menjelaskan bahwa Pasal 26 dan 39 UU TPKS merupakan dua pasal yang memberikan kewenangan bagi masyarakat untuk mendampingi korban atau melaporkan temuan TPKS. “Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud bisa saja perseorangan, keluarga, organisasi kemasyarakatan, ataupun lembaga pelayanan masyarakat,” imbuhnya.
Sebagai penutup, Muhadjir memberikan catatan utama agar UU ini bisa berjalan dengan baik. “Kita perlu mengakui bahwa banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif yang baik mengenai kasus kekerasan seksual,” jelasnya. Oleh karena itu, Muhadjir menilai bahwa reformasi nilai dan sumber daya manusia di kepolisian dan pengadilan menjadi kunci penting keberhasilan implementasi UU TPKS.
Penulis : Achmad Hanif Imaduddin
Penyunting : Syifa Hazimah H.A.
Fotografer : Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati