Rektor terpilih akan berpengaruh pada kebijakan yang ada di kampus, terutama urusan kemahasiswaan. Namun, sistem pemilihan yang ada kurang menguntungkan mahasiswa. Porsi suara yang kecil saat pemungutan suara hingga tidak ada kepastian dalam ketersampaian aspirasinya. Lalu, bagaimana siasat mahasiswa UGM melibatkan diri dalam Pilrek 2022?
Sabtu (19-03) pagi, Balairung bertemu Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma Parta, anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM). Tahun ini menjadi tahun istimewa bagi Kevin. Pasalnya, dia mengemban tugas yang krusial sebagai satu-satunya wakil suara mahasiswa dalam Pemilihan Rektor (Pilrek) UGM 2022. Kevin, dengan suaranya yang terdengar kecil di laptop, menjelaskan besarnya urgensi mahasiswa untuk memantau Pilrek.
Menurut Kevin, rektor terpilih akan berdampak terhadap subjek dari kebijakan kampus, salah satunya mahasiswa sebagai sivitas akademika dengan populasi terbanyak. Hal ini dikonfirmasi oleh Bhram Kusuma, Ketua Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (Forkom UKM) UGM, yang menyebut bahwa rektor terpilih akan memengaruhi komposisi jajaran rektorat. Menurut Bhram, jajaran tersebut yang akan menentukan kebijakan kampus, termasuk soal kemahasiswaan. “Penting bagi mahasiswa untuk terlibat dalam pemilihan rektor demi kesejahteraannya di kampus,” tegasnya.
Meskipun berdampak besar terhadap mahasiswa, Pemilihan Rektor ternyata tidak dibarengi dengan animo yang tinggi dari kalangan mahasiswa. Balairung mengikuti acara sosialisasi Pilrek oleh MWA bertajuk “Srawung Sosialisasi Pemilihan Rektor Tingkat Fakultas” (16-04) di Fakultas Filsafat. Pesertanya kurang dari dua puluh dan hanya ada empat yang aktif bertanya. Kevin mengamini keadaan tersebut. “Tidak banyak yang tahu kalau mahasiswa bisa memilih rektor dengan diwakili MWA UM,” ujar Kevin. Bahkan, dia menemukan banyak mahasiswa yang tidak tahu proses mekanisme Pilrek.
Mahasiswa dalam Pilrek
Suratman, salah satu satu anggota Panitia Kerja (Panja) Pilrek unsur Senat Akademik (SA), menjelaskan bahwa mahasiswa dapat terlibat dalam tahap seleksi Pilrek melalui sosialisasi. Sulistiowati, Ketua SA, menjelaskan lebih lanjut tentang sosialisasi tersebut. Dia menuturkan nantinya akan ada dua acara, “Sarasehan Nyawiji Menuju UGM-1” (10-04) yang bersifat satu arah dan “Forum Penjaringan Aspirasi Publik” (26-04) yang bersifat dua arah. “Boleh menyampaikan aspirasi kepada Bakal Calon Rektor, nanti akan dijawab langsung oleh mereka,” jelasnya.
Kevin menambahkan, Panja tidak hanya mengadakan sosialisasi lewat acara, tetapi juga lewat rilis informasi di situs resmi UGM. “Media nasional seperti Tempo pun turut mewartakan,” pujinya atas upaya sosialisasi dari Panitia Kerja. Lebih lengkapnya, alur Pilrek sudah tercantum dalam Peraturan MWA UGM Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Seleksi Calon Rektor dan Pemilihan Rektor Universitas Gadjah Mada. Pada Pasal 22, tertera tiga tahapan dalam Pilrek. Pertama, penjaringan Bakal Calon Rektor oleh Panja yang terdiri dari 7 anggota MWA, 7 anggota SA, dan 2 anggota Dewan Guru Besar. Kedua, seleksi dari Bakal Calon Rektor ke Calon Rektor oleh Senat Akademik. Ketiga, pemilihan dan penetapan Rektor oleh MWA. Pada tahap ini, Kevin akan mewakili suara mahasiswa sebagai MWA UM.
Pada tahap terakhir ini, proses pemilihan Rektor dilakukan secara musyawarah. Namun, apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia sebagai MWA Unsur Pemerintah mempunyai hak suara 35 persen. Sementara itu, 65 persen sisanya dibagi rata kepada setiap anggota lainnya, termasuk MWA UM sebagai perwakilan mahasiswa. Subagus Wahyuono, Ketua Panja, menilai ini posisi penting dan sangat menentukan. Sebab, menurutnya, posisi tersebut memungkinkan mahasiswa memiliki andil langsung memilih rektor.
Sebagai MWA UM, Kevin menyadari posisinya akan dipertanyakan oleh mahasiswa. “Seberapa besar MWA UM bisa membawa suara mahasiswa dalam Pilrek?“ begitu pertanyaan yang pasti muncul menurutnya. Membuat mahasiswa berpartisipasi sebanyak dan sedalam mungkin, ungkap Kevin, menjadi fokus utama MWA UM beserta Badan Kelengkapannya pada Pilrek tahun ini.
Kevin menyampaikan, salah satu persoalannya adalah mahasiswa jarang membuka kanal informasi tentang Pilrek. Menurutnya, informasi akan mudah tersampaikan di tingkat mahasiswa bila lewat mulut ke mulut. Sebagai langkah awal, MWA UM mengadakan Musyawarah Mahasiswa. “Kita hidup di alam demokratis sehingga segala keputusan mesti dirembuk bersama, termasuk model pemilihan rektor di tingkat mahasiswa,” tegas Kevin. Akhirnya, lewat musyawarah mahasiswa yang dilangsungkan, terpilihlah model electoral college.
Gabriela Miracle Sianturi, anggota Tim Kajian MWA UM, dalam Musyawarah Mahasiswa (24-02) menyampaikan bahwa ada dua tahapan dalam electoral college. Pertama, masing-masing fakultas dan sekolah melakukan musyawarah untuk menentukan usulan Calon Rektor yang dipilih. Kedua, calon rektor dengan perolehan suara terbanyak dari fakultas dan sekolah akan dibawa MWA UM ke tingkat universitas. Berdasarkan penjelasan Bhram, tiap-tiap fakultas dan sekolah dibebaskan mengeksekusi cara pengambilan suara sebab setiap fakultas punya kultur masing-masing.
Bhram menyadari model electoral college bukanlah model yang paling ideal. Namun, menurutnya model inilah yang paling fleksibel untuk dilakukan. “Ini adalah siasat mengambil keputusan level mahasiswa di tengah linimasa kegiatan yang padat,” ucap Bhram. Sementara itu, Kevin mengungkapkan bahwa model ini setidaknya dapat meningkatkan animo mahasiswa dalam Pilrek. Sebab, mahasiswa menjadi sadar bahwa mereka ikut dilibatkan dalam Pilrek. Namun masalahnya, seberapa besar pun pelibatan mahasiswa dalam Pilrek, persenan suara mahasiswa terlalu kecil di voting akhir nanti.
Dimentahkan Sistem
Joko Susilo, alumnus Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, memaparkan kecilnya signifikansi dari keterlibatan mahasiswa dalam mekanisme Pilrek. Pada Pilrek 2017, dia bergabung dengan Aliansi Mahasiswa UGM untuk ikut mengawal serta memantik beberapa diskusi soal Pilrek kala itu. Berangkat dari pengalaman tersebut, dia menuturkan bahwa mahasiswa tidak memiliki peran formal yang signifikan dalam pemilihan rektor. “Suara Pilrek itu didominasi oleh Mendikbud Ristek, yaitu 35 persen,” ujar pria yang akrab disapa Josu ini. Hal tersebut, tambahnya, kalah jauh dengan MWA UM yang hanya sekitar 4 persen, hasil dari 65 persen dibagi enam anggota MWA lainnya yang tergabung dalam Panja Pilrek. Walhasil, suaranya terlalu kecil untuk dapat memengaruhi keputusan.
Permasalahan besarnya porsi suara menteri selalu terjadi dalam gelaran Pilrek setelah perubahan status UGM menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Luthfi Hamzah, yang terlibat dalam Pilrek 2012 sebagai MWA UM masa itu, mengungkapkan bahwa pada zamannya pun demikian. Baginya, fenomena ini tidak mengherankan sebab menteri memang perpanjangan tangan kekuasaan di kampus.
“Pilrek adalah wilayah elite sehingga sulit memastikan hasilnya untuk sesuai dengan keinginan sivitas akademika, termasuk mahasiswa,” ujar Luthfi. Menurutnya, pada Pilrek ada tarik-menarik yang kuat antara politik kepentingan elite dengan warga kampus. Selanjutnya, dia menambahkan bahwa Pilrek rentan terhadap lobi politik, baik dengan gerakan ekstrakampus maupun kepentingan partai politik praktis tertentu.
Josu menerangkan konteks di balik skema pemilihan yang tidak memungkinkan mahasiswa untuk terlibat secara signifikan. Menurutnya, skema ini menunjukkan kontradiksi dari kebijakan otonomi kampus di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Sebelum Reformasi, negara sangat dominan memberikan anggaran untuk kampus negeri. Akan tetapi, sambungnya, negara sangat mengontrol secara politis dan menyebabkan kampus jadi tidak otonom.
Setelah Reformasi, PTN-BH diberlakukan sebagai tuntutan otonomi, demi adanya demokratisasi di kampus. Namun menurut Josu, orientasi itu tidak terwujud secara penuh di PTN-BH. Kontrol negara justru makin kuat, sementara anggaran kampus makin berkurang pada saat yang sama. “Ini adalah bagian dari neoliberalisme yang membuat pemerintah perlu mengamankan kepentingan pasar, meski dengan mengekang otonomi kampus,” jelas Josu.
Berdasarkan penjelasan Josu, mahasiswa tidak memiliki ruang politik untuk terlibat secara terikat sebab sistemnya tidak memungkinkan untuk itu. Sifatnya hanya bersifat edukasi publik dan membuat kajian rekomendasi. “Tidak ada semacam kontrak politik yang mengikat mahasiswa terhadap rektor yang terpilih untuk memenuhi segala tuntutan mahasiswa,” ungkap Josu.
Dalam proses seleksi bakal calon rektor, penjelasan Josu terbukti benar. Meski ada kebebasan menyampaikan aspirasi pada proses seleksi, tidak ada jaminan untuk dieksekusi. “Sampaikan masukan ke Senat Akademik fakultas masing-masing, perkara diterima atau tidak, itu kebijakan Senat,” ungkap Arie Sujito, perwakilan SA.
Yang Bisa Dilakukan Mahasiswa
Josu terang-terangan menyebutkan bahwa pada Pilrek 2017, mahasiswa tidak memiliki signifikansi. Sebab, sistemnya memang tidak melibatkan mahasiswa secara mengikat. “Gerakan mahasiswa tidak punya suara politik untuk memutuskan siapa rektor, mereka hanya mendengarkan, menyampaikan visi misi, lalu menyampaikan respon,” tutur Josu.
Ketika sistem sudah susah diubah, Luthfi menyarankan mahasiswa fokus pada pengawalan. Salah satu caranya adalah mengadakan diskusi-diskusi publik yang mengundang rektor. Dia menambahkan, kontrak politik haruslah ada di diskusi tersebut. “Semacam kerangka etik untuk siapa pun calon yang akan terpilih,” tegas Luthfi.
Luthfi lalu berbagi pengalaman sejumlah upaya mahasiswa untuk melibatkan diri pada Pilrek 2012. Selain upaya formal lewat MWA UM, dia mengungkapkan mahasiswa juga berpartisipasi melakukan aksi lapangan, seperti yang dilakukan Gerakan Aliansi Peduli (GARPU) UGM. BEM KM UGM saat itu terlibat dengan mengadakan diskusi yang mengundang Calon Rektor. Dalam diskusi tersebut, Calon Rektor yang diundang mempresentasikan visi misinya. “Pilrek dahulu seperti hajatan mahasiswa. Tinggi atensi dan variatif pengawalannya, “ tutur Luthfi.
Kerangka etik yang disampaikan Luthfi memang sudah direncanakan pada Pilrek 2022 ini. Bhram menyampaikan rencana penyusunan catatan khusus untuk rektor terpilih dengan tajuk “Rektor Ideal Bagi Mahasiswa” yang digarap oleh mahasiswa di tiap fakultas. “Ini catatan penting untuk pengawalan rektor ke depannya,” sambungnya.
Senada dengan Luthfi, Josu menekankan pentingnya mahasiswa membuat forum yang menghasilkan kontrak politik kepada rektor terpilih. Dia menyayangkan kontrak politik tidak tercapai secara optimal saat Pilrek 2017. “Kontrak politik pada Pilrek penting untuk meningkatkan peran mahasiswa dalam demokratisasi kampus,” pungkas Josu.
Penulis: Edo Saut Hutapea, Ilham Maulana, dan M. Fahrul Muharman
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Ilustrator: Samuel Johanes