
©Lindra/Bal
Minggu (22-05), Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar seruan aksi lanjutan Hari Buruh. Puluhan massa aksi berkumpul di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sebelum melakukan longmars ke Pertigaan Jalan Affandi. Aksi dilakukan dalam rangka Hari Buruh, Hari Pendidikan Nasional, dan 24 Tahun Reformasi. Tuntutan aksi dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain mengenai buruh, lingkungan, pendidikan, Papua, pelanggaran HAM, dan kekerasan militer. Kategori tuntutan perburuhan memiliki turunan yang mencakup 6 jam kerja, PHK sepihak, upah layak, dan kebebasan berserikat.
Aji, Humas ARB, menerangkan bahwa tuntutan 6 jam kerja dipengaruhi oleh konteks sejarah. Ia menerangkan bahwa secara historis buruh pernah bekerja selama 12 jam, sebelum buruh memenangkan haknya menjadi 8 jam. āHari ini kami mengakomodasi tuntutan buruh menjadi 6 jam kerja,ā pungkas Aji.Ā
Deki, massa aksi dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional, mengatakan bahwa dengan adanya 8 jam kerja, buruh tidak bisa memiliki waktu luang lebih untuk mengurusi diri mereka. Oleh karena itu, dengan adanya 6 jam kerja, buruh dapat memiliki waktu luang. “Tuntutan jam kerja ini juga untuk memulihkan kondisi kelas pekerja itu sendiri,” terang Deki.
Selain itu, jam kerja berlebih juga menimbulkan dampak bagi para buruh. Menurut Deki, massa aksi dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional, buruh membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaga mereka yang dieksploitasi oleh perusahaan. āSepanjang 2019 sampai 2020, ada 14 buruh dari PT Aice yang keguguran karena kelelahan bekerja lebih dari 8 jam,ā jelas Deki.
Bahkan, Deki menjelaskan, banyak buruh yang sudah bekerja 8 jam, tetapi tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan hak hidup mereka tidak terpenuhi. Pekerja juga kerap mendapatkan dorongan untuk lembur. Husein, massa aksi dari Lingkar Studi Sosialis, menjelaskan bahwa jam kerja melewati 12 jam dan tidak sebanding dengan upah itu tidak manusiawi. āDi Yogyakarta itu hampir 1 hari kerja 12 jam, sementara upah yang diterima 1 bulan itu hanya satu juta delapan ratus ribu rupiah,ā ujarnya.
Namun, pandangan berbeda datang dari komentar masyarakat di kiriman akun media sosial Instagram @gejayanmemanggil. Beberapa komentar menyebutkan bahwa tuntutan 6 jam kerja itu tidak efektif untuk pekerja ditambah dengan tuntutan kenaikan upah. Menanggapi hal tersebut, Deki beranggapan bahwa harus melihat siapa yang berkomentar. āKita menyuarakan mereka yang merasakan dampak berlebihnya jam kerja, bukan yang merasa dirugikan karena adanya 6 jam kerja ini,ā pungkas Deki.
Penulis: Hadistia Leovita dan Lindra Prastica
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Lindra Prastica