Trotoar di tepi Jalan Malioboro lenggang, hanya ada jajaran toko bersama kendaraan yang berlalu-lalang. Tiada lagi kemeriahan dari para pedagang yang menjajakan barang. Mereka telah angkat kaki meninggalkan jalanan demi kelestarian sumbu filosofi.
“Kita kembali ke Jalan Malioboro atau tidak, semua tergantung Ngarso Dalem,” tutur Ahmad, seorang pedagang asongan yang menempati salah satu lapak di Teras Malioboro 2. Ia termenung memandangi gundukan barang dagangannya. Mata Ahmad berkelana menjelajahi atap asbes yang menaungi kios mungil tersebut. Sesekali ia kalang kabut mengelap dagangannya yang basah terkena tetesan air hujan. Sejak Kamis (03-02), Jalan Malioboro sudah kosong melompong, menyisakan gedung pertokoan yang tak terusik. Ahmad bersama pedagang lain yang biasanya mencari nafkah di sepanjang jalan tersebut telah direlokasi ke Teras Malioboro 1 dan 2.
Relokasi yang dialami oleh Ahmad dan segenap pedagang lainnya ini merupakan imbas dari visi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia berencana mengajukan sumbu filosofi sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO. Dalam sejarah pembangunannya, DIY memiliki garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi dan Laut Selatan. Sumbu filosofi merupakan garis yang menghubungkan tiga titik dalam garis imajiner tersebut, yakni Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak. Jalan Malioboro menjadi salah satu lokasi yang dilewatinya.
Menurut Era Hareva, Kepala Divisi Penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro ini justru menyengsarakan. Sebab, banyak pedagang yang mengalami penurunan pendapatan setelah direlokasi. “Hal tersebut jelas bertentangan dengan makna sumbu filosofi. Peraturan Daerah DIY mencantumkan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu makna dari sumbu filosofi itu,” tegasnya.
Era mengungkapkan, LBH Yogyakarta telah menampung 159 aduan dari pedagang sejak Senin (10-01) hingga Jumat (21-01). Beberapa di antaranya aduan mengenai tenggat waktu relokasi yang terlalu mepet dan tidak adanya jaminan dari pemerintah atas turunnya pendapatan. Ia juga memperkirakan adanya elemen lain yang juga mendapatkan kesulitan dari relokasi tersebut. “Yang kami persoalkan selanjutnya adalah apakah kebijakan ini hanya menyasar kepada PKL saja? Masih ada pendorong gerobak yang sangat bergantung pada keberadaan PKL,” kata Era.
Selain kontradiktif dengan makna sumbu filosofi, relokasi ini juga belum berjalan dua arah antara Pemerintah Daerah dengan pedagang. “Pemerintah belum pernah melakukan komunikasi dua arah,” ungkap Upik Supriyati, salah satu pedagang Malioboro. Ia mengaku bahwa relokasi ini awalnya hanya isu penataan. Penyampaian informasi dilakukan secara bertingkat, mulai dari pemerintah kepada ketua paguyuban, lalu diteruskan kepada ketua kelompok. Akhirnya, ketua kelompok menyampaikan kepada para anggota paguyuban yang jumlahnya relatif banyak. Sistem penyampaian informasi yang berlapis tersebut menyebabkan informasi menjadi simpang siur, sehingga menimbulkan kebingungan baik bagi para pedagang maupun masyarakat umum.
Upik mengatakan bahwa informasi mengenai alasan relokasi yang mereka dapatkan hanya berasal dari media sosial. Alasan relokasi tersebut antara lain adalah keperluan untuk mengajukan Jalan Malioboro sebagai Warisan Dunia UNESCO. Desakan dari para pemilik toko di Malioboro agar PKL tidak menutupi toko mereka juga menjadi alasan lain. Selain itu, Upik juga mengatakan bahwa relokasi ini merupakan keinginan Sultan yang sudah lama ingin direalisasikan. “Kita hanya tahu sebatas dari media sosial, kalau dari pemerintah secara langsung belum pernah,” ungkap Upik.
Sebagai respons terhadap keluhan pedagang, DPRD Kota Yogyakarta menggelar audiensi pada Rabu (26-01). Foki Ardiyanto selaku anggota DPRD Kota Yogyakarta Komisi B mengaku telah membentuk panitia khusus yang bertugas menindaklanjuti relokasi PKL Malioboro. “Panitia khusus sudah terbentuk. Akan diadakan rapat dengan segera karena permasalahan ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ungkap Foki. Ia juga tidak ragu mengungkapkan janjinya untuk mempertanggungjawabkan perihal relokasi PKL Malioboro kepada Tuhan dan rakyat.
Berbanding terbalik dengan ucapan Foki, Ahmad mengungkapkan bahwa hasil kerja dari panitia khusus tidak terbukti sampai hari ini. “Panitia khusus tidak melakukan apa pun, malah sudah tidak terdengar lagi sejak acara audiensi itu,” tutur Ahmad. Serupa dengan keberadaan panitia khusus yang hilang begitu saja, DPRD dan Pemerintah Daerah DIY juga bungkam ketika Tim Balairung meminta keterangan terkait sumbu filosofi. Segala pesan elektronik dan panggilan telepon dari Tim Balairung diabaikan. Pihak DPRD hanya menjanjikan sesi wawancara yang hingga kini tidak terdengar kelanjutannya. Sementara itu, Sekretaris Daerah DIY mengabaikan surat permohonan wawancara yang kami ajukan hingga berita ini ditulis.
Miskonsepsi Sumbu Filosofi
Di sisi lain, banyak akademisi yang mengatakan bahwa relokasi PKL Malioboro ini sama sekali tidak memiliki korelasi dengan sumbu filosofi yang diajukan sebagai Warisan Dunia. Salah satunya adalah Dosen Arkeologi UGM, Daud Aris Tanudirdjo, yang mengatakan bahwa, secara konseptual, relokasi PKL sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sumbu filosofi yang akan diajukan menjadi Warisan Dunia. Ia juga mengatakan bahwa UNESCO sama sekali tidak mensyaratkan penggusuran dalam penilaian pengajuan budaya non-benda. “Warisan Dunia itu justru menekankan pada pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga gusur-menggusur hanya akan merugikan bagi nominasi,” jelas Daud.
Daud menambahkan bahwa PKL bisa menjadi pendukung ataupun pelemah bagi sumbu filosofi Jalan Malioboro. “PKL dapat menjadi nilai tambah ketika mereka menciptakan suasana tertib, tawar-menawar yang sehat, menjaga kebersihan, dan hal lain yang mencerminkan budaya luhur Yogyakarta,” jelas Daud. Namun, Daud juga menekankan bahwa PKL dapat menjadi pelemah bagi sumbu filosofi jika mereka menaikkan harga sesukanya dan hal lain yang tidak mencerminkan budaya Yogyakarta.
Sementara itu, Kendal dari peneliti Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (Laura) UGM memberikan pandangan yang sedikit berbeda. Menurutnya, ada atau tidaknya PKL di Malioboro tidak berpengaruh terhadap sumbu filosofi karena filosofi itu memang sudah luntur. “Malioboro sekarang jadi tempat untuk orang berswafoto, nongkrong, dan kencing. Tidak ada pengalaman filosofis di Malioboro,” ujarnya.
Menurut Kendal, isu sumbu filosofi itu sendiri awalnya muncul secara simpang siur. Bahkan berdasarkan penuturan Kendal, pengajuan sumbu filosofi sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO sudah dilakukan sejak 2012, jauh sebelum adanya isu relokasi bergulir. “Sumbu filosofi mendadak jadi alasan relokasi, seperti kebetulan,” ujarnya.
Bagi Kendal, masalah utamanya justru kelunturan kejawaan yang sudah terjadi sejak lama. Kelunturan ini sudah mulai terasa sejak didirikannya Malioboro Mall. Di sana terdapat jejak Hindu berupa sebuah punden yang diduduki oleh bangunan tersebut. Oleh karena itu, menurut Kendal, hal yang seharusnya dipertanyakan adalah potensi relokasi PKL Malioboro dalam mengembalikan kejawaan yang telah luntur tersebut.
Beda Nasib Dua Teras
Suasana Jalan Malioboro memang sudah tidak seperti dulu setelah PKL Malioboro direlokasi. Kini, para pedagang terkonsentrasi di dua titik, yaitu Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2. Bangunan Teras 1 terlihat lebih terawat dan gencar dipromosikan di media sosial. Pedagang pun tidak banyak mengeluhkan fasilitas yang ada di sana. “Masalah utama adalah pendapatan yang menurun. Soal fasilitas, Teras Malioboro 1 sudah lebih dari cukup,” ujar Beki, pedagang rujak es krim di Teras 1.
Namun, pengalaman yang berbeda harus dirasakan para pedagang yang mendapat jatah di Teras 2. “Penampungan kami kondisinya lebih memprihatinkan karena atapnya bocor, bahkan kadang banjir,” keluh Upik. Ketika pedagang melalui paguyuban melaporkannya ke Dinas Kebudayaan Yogyakarta, mereka melemparnya ke kontraktor dengan alasan masih masa garansi.
Ia menambahkan bahwa penampungan tersebut memang tampak ramai dari luar, tetapi hanya lapak-lapak yang posisinya strategis saja yang beruntung. “Sisanya, hidup segan, mati tak mau, sebab pengunjung pun malas untuk masuk lebih dalam,” tutur Upik. Tak jarang ia mendengar ungkapan dari pengunjung yang merasa percuma pergi ke Malioboro kalau tidak ada pedagangnya. Mereka merasa tidak ada yang spesial dari Malioboro kalau hanya sekedar deretan pertokoan biasa.
Meskipun merupakan respons dari Pemerintah Daerah terhadap relokasi, dua Teras Malioboro ternyata dikelola oleh dua instansi yang berbeda. Upik menerangkan bahwa Teras 1 dikelola oleh Pemerintah Provinsi Yogyakarta, sedangkan Teras 2 dikelola oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Ia menambahkan bahwa Teras 2 yang disediakan Pemkot Yogyakarta merupakan penampungan sementara saja, “Teras 2 ini setahu saya cuma sementara, tapi tidak tahu apakah hanya untuk 1-2 tahun ke depan atau berapa lama,” tutur Upik
Upik menjelaskan bahwa Teras 2 berkapasitas sekitar 700–800 lapak, sedangkan ada lebih dari 1.000 pedagang yang dipindahkan ke sana. Dampaknya, ukuran lapak yang dijanjikan sebesar 1,5×1,5 meter pun terpaksa dipotong jadi 1,2×1,2 meter. Hal tersebut juga terjadi di blok F yang seharusnya menjadi jalan utama bagi para pengunjung. Blok tersebut terpaksa dijadikan blok tambahan untuk menampung kelebihan pedagang, sehingga hanya menyisakan lorong yang lebih sempit. “Jumlah pedagang di Teras 2 pun melebihi kapasitas karena bangunan tersebut sudah terlanjur berdiri sebelum jumlah PKL didata,” tambah Upik.
Para pedagang kini pun mengaku pasrah. Mereka tidak bisa berbuat banyak karena posisi mereka pun terjepit, tanpa ada pilihan. “Lha, kami pedagang juga ingin berontak, tapi mau berontak juga tidak bisa karena sudah terlanjur masuk situ,” ungkap Upik. Kini, mereka hanya berharap dapat tercipta komunikasi dua arah antara pemerintah dan pedagang sehingga mereka dapat berdialog dan menyampaikan keinginan mereka. “Kalau harapan yang paling besar ya balik ke Malioboro,” angan Upik.
Upik mengaku bahwa para pedagang bersedia jika pemerintah menghendaki pedagang untuk berjualan dengan atribut yang mencerminkan kebudayaan Yogyakarta untuk melestarikan budaya. “Kami siap apabila pemerintah menghendaki pedagang berjualan memakai baju adat sebulan sekali atau apa pun yang mewakili budaya Jogja,” kata Upik. Bahkan, ia juga mengungkapkan bahwa para pedagang pun siap jika pemerintah meminta PKL untuk membuat lapak berbentuk joglo. “Kami siap melakukan apa pun untuk melestarikan budaya Yogyakarta, daripada sekarang Malioboro seperti tidak ada budayanya sama sekali,” tutup Upik.
Penulis: Muhammad Rafi Suryopambudi, Sidney Alvionita, dan Wahid Nur Kartiko
Penyunting: Jacinda Nuurun Addunyaa
Fotografer: Alika Bettyno Sastro