Kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktivis beberapa kali menjadi topik yang mewarnai perbincangan di media sosial. Topik ini mulai ramai sejak munculnya tuduhan yang diarahkan pada salah satu aktivis Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi). Lalu, muncul berita Appridzani Syahfrullah seorang bekas anggota Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI) yang diduga melakukan kekerasan seksual pada keempat orang temannya. Pun, pada awal tahun ini, ramai berita mahasiswa UMY yang merupakan mantan pengurus BEM UMY dikeluarkan sebab kasus kekerasan seksual.
Para aktivis yang menyuarakan isu kemanusiaan sering kali diasumsikan juga paham mengenai isu gender. Tak pelak contoh kasus-kasus di atas mengejutkan dan mengherankan banyak orang. Untuk itu, Balairung mewawancarai seorang jurnalis dan Pemimpin Umum Project Multatuli, Evi Mariani. Ia tercatat pernah menulis berbagai kasus kekerasan seksual selama berkarir sebagai jurnalis. Di laman Medium pribadinya, ia pernah menulis tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktivis HAM. Dalam wawancara yang dilakukan secara daring, ia memberikan pandangannya mengenai kekerasan seksual yang terjadi di dunia aktivisme.
Apa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di dalam tubuh gerakan?
Kekerasan seksual pasti ada di berbagai tempat yang ada relasi kuasanya, baik itu di ruang privat maupun publik. Begitu ada relasi kuasa, pasti terdapat risiko atau kesempatan pelaku yang lebih berkuasa untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Hal yang sama dapat terjadi pada tubuh gerakan aktivisme yang membicarakan hak perempuan dan gender. Mereka tetap tidak berperspektif korban ketika terjadi kasus kekerasan seksual.
Organisasi yang bergerak di dunia aktivisme cenderung sama saja dengan organisasi lain ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual. Pada akhirnya, organisasi aktivis juga memprioritaskan nama baik organisasi. Ketika menerima laporan, bukannya memprioritaskan kesejahteraan korban malah mengutamakan keselamatan organisasi. Hal ini secara instingtif pertama kali diselamatkan karena terdapat relasi kuasa.
Relasi kuasa ini, umumnya, ditunjukkan dengan posisi pelaku yang cenderung lebih dekat dengan pemimpin organisasi. Pertama, pemimpin cenderung tidak percaya akan tindakan pelaku. Kedua, biasanya pelaku dianggap aset terutama jika kerjanya kompeten. Perusahaan atau organisasi tidak ingin melepaskan pelaku karena lebih memikirkan keuntungan organisasi dibanding kerugian yang dialami korban. Biasanya posisi korban adalah bawahan sehingga pemimpin tidak memiliki ikatan emosional dengan korban. Hal ini merupakan pola yang sama di banyak tempat, termasuk di dunia aktivisme yang seharusnya bisa lebih berusaha untuk menghilangkan kultur ini.
Selain itu, organisasi dan lingkungan kerja telah dipengaruhi oleh pandangan patriarki. Pandangan ini mempersempit kategorisasi tindakan kekerasan seksual sehingga menganggap kekerasan seksual hanya sebatas pemerkosaan. Hal ini membuat terjadinya normalisasi tindakan kekerasan seksual pada kasus selain pemerkosaan. Patriarki juga membuat orang-orang tidak bisa membayangkan penderitaan korban seperti tertekan, takut, dan terbatasnya pilihan korban.
Seberapa berpengaruhnya relasi kuasa terhadap korban?
Ketika ada anggota organisasi yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual, laporannya cenderung tidak dianggap serius. Pemimpin organisasi yang mendapat laporan sering kali tidak menganggap bahwa tindakan tersebut adalah kekerasan seksual. Misalnya, seorang atasan mengatakan kepada bawahannya, “Eh, cantik, deh, kamu pake rok kayak gini.” Kemudian, korbannya merasa tidak nyaman dan tidak berdaya untuk melawan sehingga enggan masuk kantor. Korban selanjutnya mengadu kepada atasan. Namun, kesalahpahaman massal terjadi ketika ketika tindakan seperti ini dianggap lumrah sebagai pujian. Kemudian, tanggapan yang meremehkan korban pun bermunculan. Ketika hal tersebut terjadi pada posisi yang setara, korban bisa saja berani melawan. Namun, jika ada relasi kuasa yang timpang, korban akan merasa terintimidasi. Pada situasi tertentu, ada banyak hal yang bisa membuat korban berada di posisi yang tidak menguntungkan. Situasi tersebut, misalnya posisi yang lebih lemah, merasa tidak nyaman, takut, sampai tidak bisa bekerja dengan tenang.
Di samping itu, dalam menanggapi laporan korban, pemimpin sering kali tidak menunjukkan sensitivitas terhadap posisi korban. Beberapa kondisi psikologis yang sangat sulit dipahami membuat banyak orang tidak memahami kondisi korban. Hal ini yang membuat empati si pemimpin, baik perempuan maupun laki-laki, menormalisasi tindakan pelaku. Perspektif korban tidak dianggap fakta untuk digunakan sebagai basis hukuman. Mereka cenderung menggunakan perspektif patriarkis sehingga definisi kekerasan seksual menjadi sempit.
Selain pelaku yang dianggap berharga, apakah ada alasan lain keberpihakan terhadap pelaku?
Umumnya, pemimpin organisasi tidak berani mengambil keputusan karena takut dituntut balik oleh pelaku. Jika dituntut balik oleh pelaku atas kasus pencemaran nama baik, perdebatan perspektif antara pelaku dengan korban pada saat kasus tersebut diproses di kepolisian akan muncul. Persoalannya, ada kekhawatiran dari si pemimpin bahwa ia bisa saja kalah dalam upaya pelaporan ini. Oleh karena itu, ketika pemimpin mengambil keputusan untuk melapor, dasar hukumnya harus jelas dulu. Sebab, ada risiko pelau akan menuntut balik. Hal inilah yang membuat pemimpin berpikir dua kali untuk menuntut.
Banyak aktivis yang mengikuti gerakan hanya untuk tebar pesona di hadapan wanita, bahkan mencari mangsa. Bagaimana pandangan Anda mengenai fenomena ini?
Fenomena ini ada karena kultur abang-abangan yang dipelihara di antara komunitas aktivis. Ungkapan seperti, “Aku baca Marx, aku kiri nih,” sudah menjadi suatu hal yang bisa menggaet wanita. Padahal, itu hanya imajinasi orang-orang maskulin mengenai seperti apa gerakan yang disebut heroisme, keren, dan membela rakyat. Sebenarnya mereka ini banyak yang munafik. Banyak membicarakan HAM, tetapi ketika berbicara soal kekerasan seksual justru menghilang.
Kultur seperti ini sangat perlu dihilangkan. Caranya bisa dimulai dengan tidak mengikuti semua yang senior katakan. Mendobrak dan membuat sendiri apa saja ukuran yang disebut keren di dunia aktivisme. Misalnya, tidak bisa menjadi aktivis jika masih melakukan kekerasan seksual atau bercanda yang bernada melecehkan. Aktivisme yang keren itu ketika konsep keadilan tidak berhenti saat bertemu dengan persoalan gender.
Nah, ini tugasnya siapa? Aku terpaksa harus bilang, perempuan mudalah yang harus lebih aktif merebut ruang, ambil posisi, berani untuk berkata tidak, dan menghentikan hal-hal yang selama ini merugikan. Tentu saja tidak cukup perempuan muda bergerak sendirian, tetapi harus ada sistem pendukung dari laki-laki juga.
Aktivis perempuan muda seharusnya jadi pionir dalam reformasi aktivisme. Apakah ada saran bagi mereka cara mendobrak kultur abang-abangan yang selama ini melekat pada gerakan?
Pertama, cari teman yang satu perspektif sebanyak-banyaknya untuk membentuk kelompok yang mendukung. Kelompok ini dibutuhkan untuk melawan para abang-abangan. Setelah itu, beranikan untuk membuat peran baru. Jangan terseret dengan standar aktivisme sekarang yang kental maskulinitasnya. Contohnya, anggapan bahwa aktivisme itu keren jika sudah menginap di kampung selama berbulan-bulan atau pernah bertarung dengan aparat. Padahal, perempuan punya beban yang lebih berat dibanding laki-laki. Jangan mau dipaksa untuk berlomba di arena permainan yang didesain oleh laki-laki dan terpaksa mengikuti aturan mereka karena sudah pasti kalah duluan. Buatlah ruang yang benar-benar didesain sebagai ruang tumbuh yang aman karena gerakan harus bisa menjadi ruang bagi laki-laki dan perempuan tumbuh bersama.
Kedua, penting untuk memiliki imajinasi yang kuat tentang dunia gerakan yang adil dan aman bagi perempuan. Sayangnya, sistem patriarki ini akan cenderung menekan orang yang ditindas dan pasrah. Akibatnya, mereka tidak punya imajinasi tentang hidup yang berbeda atau tidak percaya bahwa imajinasi itu akan terjadi pada dirinya. Kalau di pidatonya Paus itu istilahnya poetic capacity.
Jadi, itu dulu saja yang diperlukan, kelompok pendukung dan poetic capacity. Lalu, secara kolektif maju saja, rebut, dan ambil. Kalau ada yang ngawur, lawan!
Penulis: Maria Adelina Puspaningrum, Muhammad Rafi Suryopambudi, Novia Pangestika Purwandari
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Ilustrator: Rizky Aisyah Rahmawati