Bertepatan dengan momentum Pemilihan Rektor UGM Periode 2022–2027, BALAIRUNG mengunggah kembali arsip mengenai rangkaian Pemilihan Rektor pertama setelah status UGM berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dalam artikel berjudul “Napak Tilas Kursi Panas” yang pernah dimuat dalam rubrik Kilas Balik Balairung Koran (Balkon) Spesial Edisi 96, 12 Maret 2007, disebutkan bahwa semenjak status UGM menjadi BHMN, Pemilihan Rektor UGM tidak lagi dilakukan oleh Presiden, melainkan Majelis Wali Amanat (MWA). Namun, mekanisme baru ini masih menyisakan berbagai masalah, seperti besarnya suara Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan minimnya keterlibatan mahasiswa. Berikut artikelnya.
Sistem Pemilihan Rektor berubah seiring berubahnya status UGM menjadi BHMN. Sistem yang baru ini mengantarkan Sofian Effendi menjabat sebagai Rektor UGM periode 2002–2007.
Sabtu, 16 Maret 2002, di Balai Senat UGM digelar proses Pemilihan Rektor pertama setelah berubahnya status UGM menjadi BHMN. Dari 25 jumlah anggota MWA periode 2002–2007, hanya ada 23 anggota yang menghadiri prosesi tersebut, termasuk Mendiknas Malik Fajar dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pemilihan Rektor juga diramaikan 50 undangan dari Senat Akademik Sementara (SAS).
Berbeda dengan periode sebelum tahun 2002, pengangkatan Rektor tak lagi dilakukan oleh Presiden, melainkan langsung oleh MWA. Demikian juga dengan proses pemilihannya. Hal ini terkait dengan perubahan status UGM yang disahkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 153 tahun 2000 tentang Penetapan UGM sebagai BHMN. Akibatnya, terjadi penambahan organ dalam universitas sesuai yang disyaratkan PP, seperti Senat Akademik, MWA, Majelis Guru Besar, dan Dewan Audit.
Pada pertengahan tahun 2001, terbentuknya keempat organ di atas merupakan prasyarat Pemilihan Rektor 2002. Pembentukannya kemudian diurus oleh SAS, yang anggotanya merupakan gabungan dari Senat Universitas dan perwakilan dosen dari setiap fakultas. Selain bertugas membentuk keempat organ tersebut, SAS juga mempersiapkan Pemilihan Rektor, menyepakati Rancangan Anggaran Rumah Tangga, dan menjalankan fungsi Senat Universitas.
Tak hanya itu, SAS juga membentuk dua panitia ad hoc, yaitu panitia ad hoc pembentukan MWA dan panitia ad hoc Pemilihan Rektor. Panitia ad hoc pembentukan MWA diketuai oleh Sofian Effendi. Tepat tanggal 1 Februari 2002 anggota MWA diangkat langsung oleh Mendiknas lewat SK Menteri No. 38/MPN/KP/2002.
Sedangkan panitia ad hoc Pemilihan Rektor diketuai oleh Koento Wibisono Siswomihardjo. Dalam kepanitiaan ini, ada tujuh orang profesor yang bertugas mempersiapkan langkah awal Pemilihan Rektor. “Kami menyusun kualifikasi dasar berupa persyaratan umum untuk kemudian diberitahukan kepada masyarakat. Kemudian menyeleksi pendaftar yang memenuhi syarat untuk menjadi rektor,” jelas Koento. “Siapa pun boleh mencalonkan diri dan dicalonkan asalkan memenuhi persyaratan,” tambahnya. Syarat itu, misalnya, syarat administratif, latar belakang pendidikan, latar belakang etika, dan moral, serta berjiwa Pancasila.
Meskipun Sofian Effendi telah memenuhi persyaratan administratif, awalnya dia tidak berniat menjadi Rektor. Ia mengaku tidak tahu bahwa dirinya dicalonkan. “Tanpa sepengetahuan saya, saya didaftarkan jadi Calon Rektor oleh senior,” paparnya.
Kemudian, Sofian beserta Calon Rektor yang lain terus melewati serangkaian seleksi administrasi yang telah disusun. Dari proses tersebut, terjaring enam orang Bakal Calon Rektor. Selanjutnya, diserahkan pada SAS. Tugas panitia ad hoc pun berhenti sampai di situ.
Proses selanjutnya, SAS harus memilih lima orang calon dan menyeleksinya kembali hingga tersisa tiga calon. SAS yang pada saat itu diketuai oleh Boma Wiman Tiyoso akhirnya menetapkan tiga nama, yaitu Boma Wikan Tyoso, Sofian Effendi, dan Ichlasul Amal sebagai Calon Rektor. Ketiga nama itulah yang akan diajukan ke MWA. Achmad Mursyidi selaku Ketua SA periode 2002–2007 mengatakan bahwa kewenangan SAS hanya sebatas proses pemilihan Bakal Calon menjadi Calon Rektor.
Berdasarkan SK No. 02/SK/MWA/2002, Pemilihan Rektor berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama, dipilih dua orang Calon Rektor. Calon-calon tersebut diuji kepatutan dan kelayakannya dengan mempresentasikan visi dan misi mereka. Selain itu, dilakukan juga tanya-jawab dengan anggota MWA. Kewenangan ini dilegitimasi dengan adanya PP Nomor 153.
Meskipun pembagian suara masih melibatkan pemerintah, MWA memiliki legitimasi untuk mengangkat Rektor. Hal ini menunjukkan pembatasan otoritasnya terhadap kinerja internal BHMN. Meski demikian, Mendiknas tetap memiliki suara sebesar 35 persen. Sedangkan 65 persen sisanya dibagi rata kepada setiap anggota MWA. Joedoro Soedarsono selaku ketua MWA menganggap hal tersebut wajar. “UGM kan masih milik pemerintah dan masih negeri,” ungkapnya.
Selain itu, sistem yang ditawarkan pada PP Nomor 153 tidak memberikan ruang partisipasi bagi mahasiswa. Hal ini disepakati oleh Koento, “Kebijakan 35 persen suara Mendiknas terlampau besar. Namun, mengubah PP juga tidak mudah dan tidak sebentar.” Akibatnya, banyak aksi demonstrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Peduli UGM.
Pada tahap ini, Sofian unggul dengan mengantongi 11 suara dari Mendiknas, ditambah 10 suara dari anggota MWA. Sementara itu, Ichlasul Amal dan Boma, masing-masing memperoleh sembilan suara dan dua suara. Dengan demikian, Pemilihan Rektor tahap kedua pun urung diadakan karena Sofian telah mendapatkan mayoritas suara.
Kemenangan tersebut seolah menjadi jawaban atas prediksi yang dilakukan Keluarga Mahasiswa (KM) UGM pada Debat Calon Rektor, 23 Maret 2002. Dalam acara tersebut, KM menyelenggarakan jajak pendapat. Ketika itu, Sofian mendapat dukungan cukup besar dibanding kedua rivalnya.
Agung Nugroho, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM periode 2005–2006, berpendapat Sofian ketika itu dianggap paling siap menjadi Rektor. “KM melihat Sofian bagus. Sofian kemudian sering diundang menghadiri kajian-kajian yang diselenggarakan BEM,” tuturnya.
Sedangkan menurut MWA, kemenangan Sofian disebabkan oleh nilai lebih dari visi-misinya. “Sidang MWA bisa memilih dia karena visi-misi yang ditawarkan dan kecanggihan dalam mengajukan paper,” jelas Koento. Senada dengan hal itu, dalam buku profil Rektor UGM, paper Sofian banyak memaparkan program kerja yang disusun berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan berorientasi kerakyatan.
Dalam perjalanannya, kepemimpinan Sofian menuai banyak permasalahan. Diungkapkan Agung Nugroho, “Saya pikir dengan pencapaiannya, cukuplah sekali saja dia menjabat. Berilah kesempatan yang lain,” tuturnya. Namun, siapa pun rektornya, akan percuma bila tidak membenahi sistem. Seperti diutarakan Koento, “PP Nomor 153 memang masih menyisakan masalah.” [Nura dan Ifa]
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Han Revanda Putra, Marshanda Farah Noviana, dan Naufal Ridhwan Aly.