Ratusan hektar lahan Kecamatan Jenu, Tuban diakuisisi pemilik kepentingan atas nama pembangunan. Ganti untung dianggap korporasi sebagai solusi. Namun, apakah peran tanah dapat digantikan hanya dengan uang?
Aktivitas yang dinamis dalam sistem kemasyarakatan tidak akan pernah lepas dari interaksi sosial, termasuk di dalamnya gesekan dan konflik antar-kepentingan. Sebagai bentuk interaksi yang abadi terjadi, akan bijak bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengelolanya dengan baik sehingga tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan. Persch-Orth (2016) menyampaikan empat tingkatan intensitas konflik meliputi tanpa penggunaan kekerasan sama sekali, supresif atau bersifat intimidasi, penggunaan kekerasan, dan letal. Untuk mengidentifikasi kebutuhan resolusi konflik, masing-masing pihak yang berkepentingan seharusnya menyadari seberapa intens konflik yang sedang terjadi. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya dominasi oleh salah satu pihak yang lebih kuat.
Dalam praktiknya, sering kali intensitas konflik diabaikan begitu saja. Tidak jarang di lapangan, terdapat ketimpangan penguasaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang sedang berkonflik sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Warga lokal sebagai pihak yang dirugikan akan melangsungkan perlawanan berupa kekerasan. Kekerasan ini bermula dari adanya sebuah ancaman bagi keberlangsungan hidup yang menciptakan sebuah kegelisahan sosial (Susan, 2010). Merujuk pada topologi kekerasan yang dicetuskan Gurr (1968), kekerasan yang dilakukan warga sipil yang terdampak termasuk dalam kategori turmoil. Kategori ini mencirikan kekerasan warga sebagai sikap spontan dan tidak terstruktur. Sikap ini dapat muncul ketika keberlangsungan hidup warga terancam, salah satunya melalui konflik pertanahan.
Tanah merupakan sumber daya nasional yang penting karena memegang peranan sebagai media pemenuhan kebutuhan manusia, baik secara individual, badan usaha, maupun pemerintah, dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Kegiatan pembangunan sekolah, rumah sakit, stasiun, bandara, tempat ibadah, serta pembangunan lain yang membutuhkan tanah semakin marak terjadi. Hal tersebut menjadi penanda bahwa perkembangan pembangunan nasional saat ini semakin meningkat. Manfaat atas tanah inilah yang membuat berbagai rencana pembangunan muncul. Tuntutan pembangun akan kepemilikan tanah yang meningkat dapat melemahkan masyarakat yang memanfaatkan tanah sebagai tempat permukiman dan mata pencaharian (Prawesthi dkk., 2017).
Munculnya demonstrasi dan protes warga dalam mempertahankan kepemilikan tanah mereka, mengindikasikan bahwa korporasi menyalahi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Hal yang menjadi ironi adalah penguasaan negara dan kepentingannya atas tanah sering kali tidak mempertimbangkan kemakmuran rakyat yang terdampak penggusuran dan pembelian. Inilah yang melanggengkan adanya gesekan antara negara, perusahaan, serta warga. Tak jarang ditemui kasus ketika petani maupun warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya harus mengalah, bahkan ketika telah melewati tahap pengadilan (Astuti, 2012). Salah satunya terjadi pada pembangunan kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) di Tuban, Jawa Timur. Proyek kerjasama PT. Pertamina dengan perusahaan Rosneft asal Rusia ini mengakuisisi 1.220 bidang lahan seluas 377 hektare. Tiga desa di Tuban mesti terkena penggusuran dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Masing-masing yaitu Desa Kaliuntu, Desa Sumurgeneng, dan Desa Wadung.
Pada tahun 2019, rencana ini diprotes warga karena mengambil lahan tani yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Perusahaan menempuh jalur konsinyasi melalui Pengadilan Negeri Tuban. Sejumlah 42 warga kalah dan harus menyerahkan tanahnya seharga Rp600.000–800.000 per meter. Upaya lain perusahaan yaitu berjanji akan melibatkan warga dalam proyek dan memberikan ganti rugi berkisar puluhan juta hingga miliaran rupiah. Nominal itu sekilas tampak besar, tetapi sebenarnya tetap tidak sepadan dengan fungsi tanah yang “terjual”. Upaya mempekerjakan warga juga bukan langkah efektif, terlebih janji tersebut belum ditepati secara penuh.
Proyek strategis nasional ini direncanakan mampu memberikan dampak strategis untuk mengurangi impor minyak. Hal tersebut diwujudkan melalui kontribusi kilang GRR yang memberikan tambahan pasokan untuk kebutuhan bahan bakar minyak, LPG, dan petrokimia berkualitas. Dalam mewujudkan proyek strategis tersebut, terdapat masyarakat yang menjadi aliansi sebagai penyedia lahan. Masyarakat Tuban yang mau berkorban menyerahkan tanahnya untuk proyek ini mendapatkan janji pekerjaan dalam proyek dan juga diberikan uang kompensasi yang dianggap perusahaan mampu memberikan keuntungan balik. Kompensasi atau pemberian ganti kerugian merupakan akibat diambilnya tanah mencakup benda di atas dan di dalam tanah, yang digunakan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, hal tersebut diistilahkan sebagai “bentuk penghormatan hak atas tanah” (Prawesthi dkk., 2017).
Ketimpangan dalam Kebijakan Ganti Kerugian Tanah
Ganti kerugian tanah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dibedakan menjadi dua, yaitu ganti rugi secara langsung dan tidak langsung. Ganti rugi secara langsung berarti memberikan ganti rugi langsung kepada pihak pemilik tanah oleh panitia pengadaan tanah setelah dicapai kata sepakat mengenai jumlah dan bentuk ganti rugi melalui musyawarah yang disertai pula dengan Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi. Sementara itu, ganti rugi tidak langsung berarti memberikan ganti rugi dengan menitipkan pada pihak pengadilan negeri.
Ganti rugi tidak langsung dapat dilakukan ketika pemilik tanah tidak diketahui, tanah masih dalam persengketaan kepemilikan, dan tanah dalam status disita pihak berwenang. Selain itu, ganti rugi tidak langsung juga dapat terjadi jika tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah pembelian tanah, tetapi kegiatan pembelian tanah tidak bisa dialihkan sehingga panitia pengadaan tanah akan menentukan jumlah dan bentuk ganti rugi yang kemudian dititipkan pada pengadilan negeri. Berangkat dari hal tersebut, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dianggap menyalahi nilai-nilai demokrasi. Walaupun peraturan tersebut mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama, belum tentu keputusan yang dianggap adil bagi kepentingan pemerintah adil pula bagi pihak masyarakat yang terdampak pengadaan tanah (Prawesthi dkk., 2017).
Dalam pengadaan lahan, sering kali sengketa yang terjadi adalah tentang penetapan lokasi dan pemberian ganti rugi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum hadir dengan harapan mampu menjadi perbaikan kebijakan prosedur dan praktik pengadaan tanah untuk pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan publik dan berpihak pada rakyat kecil (Prawesthi dkk., 2017). Berdasarkan pasal 13 UU No. 2 Tahun 2012, pengadaan tanah dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, konsultasi publik, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Pihak Pertamina sendiri mengklaim bahwa pengadaan lahan GRR Tuban mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2012. Di antara sepuluh asas yang diamanatkan dalam regulasi tersebut terdapat beberapa asas yang patut menjadi sorotan utama. Asas tersebut adalah asas keadilan pada huruf b dan asas kesepakatan dalam huruf f. Dalam penjelasannya, asas keadilan dalam huruf b ini dimaksudkan agar warga mendapatkan jaminan penggantian yang layak untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Apabila jaminan penggantian tersebut telah dinilai laik serta korporasi dapat memberikan pengelolaan pemberdayaan masyarakat yang baik, seharusnya tidak ada protes yang dilangsungkan oleh warga terdampak. Pada huruf f sendiri disebutkan asas kesepakatan. Dalam pelaksanaan dan penerapan asas kesepakatan atau musyawarah dalam pengadaan tanah ini, masih ditemui penyimpangan dalam pelaksanaannya. Terlebih lagi, dalam UU No. 2 Tahun 2012 diberikan pula jalan konsinyasi yaitu sistem menitipkan ganti kerugian ke pengadilan setempat untuk mengatasi hambatan dalam proses pengadaan lahan apabila tidak tercapai kata sepakat karena pemilik lahan yang menolak memberikan lahannya (Setyowati, 2019). Hal ini mengindikasikan adanya “paksaan secara halus” bagi warga untuk melepas tanahnya kepada perusahaan.
Penyelesaian sengketa dalam hukum adat didasarkan pada pandangan hidup rukun. Sehingga, setidaknya pelepasan hak tanah secara paksa dapat dihindari dan tidak terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Namun pada akhirnya, masyarakat kembali harus menelan kepahitan hasil dari kebijakan yang diterapkan pemerintah. Dalam proses pembebasan lahan tersebut, terjadi penolakan dari beberapa warga yang terdampak. Hal tersebut membuat pihak Pertamina akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan konsinyasi melalui pengadilan untuk menuntaskan pembebasan lahan yang tersisa itu. Jalan yang diambil pihak Pertamina ini dinilai melemahkan pihak pemilik tanah karena terdapat paksaan untuk melepaskan hak atas tanahnya. PT Pertamina tetap mengambil alih secara paksa tanah warga melalui jalan konsinyasi dengan dititipkannya uang ganti rugi pada pengadilan. Hak warga sebagai pemilik tanah dilemahkan. PT Pertamina mengatakan bahwa jumlah uang ganti rugi yang diberikan pada warga akan semakin besar sejalan dengan luas lahan warga. Namun, bisakah uang tersebut menjadi kompensasi yang senilai dengan kerugian warga?
Tanah Berperan Pada Tatanan Sosiokultural
Konflik pembebasan tanah adalah perkara yang kompleks. Pembebasan tanah bukan saja tentang memindahkan lokasi suatu lahan yang bersifat nonhayati, tetapi sekaligus mengubah kehidupan manusia secara nyata. Sekalipun diberi ganti rugi, pengalihfungsian lahan tetap menurunkan tingkat kesejahteraan warga. Status penduduk tidak lagi sebagai tuan tanah, melainkan sebagai buruh dengan penghasilan yang belum tentu sama besar setiap bulan. Pertanian sebagai penopang ketahanan pangan hilang tergusur dan harus bergantung pada produsen lain. Warga juga dirugikan secara teknis, ekonomis, dan budaya. Daya dukung lingkungan pun menurun. Secara struktural, perkara tersebut memicu konflik sosial antarbidang, baik vertikal maupun horizontal (Listyawati, 2010). Dalam kasus Tuban, terjadi konflik sosial vertikal antara perusahaan dan warga setempat.
Selama ini, ganti untung dianggap sebagai solusi dari pembebasan lahan. Padahal, kebijakan tersebut memunculkan persoalan baru ketika sistem-sistem kapitalis memandang warga sebagai peluang bisnis. Beberapa berita menyebut bahwa warga Tuban menjadi crazy rich karena ganti untung. Uang kemudian digunakan untuk membeli barang-barang mewah. Narasi-narasi tersebut cenderung menyalahkan kemampuan pengelolaan finansial warga. Padahal, jika dikritisi lebih lanjut, keputusan masyarakat untuk memiliki aset-aset tersier salah satunya dipengaruhi oleh kehadiran pramuniaga yang menawarkan rumah, apartemen, dan kendaraan di permukiman penduduk. Narasi-narasi berita yang berasal dari satu sisi juga menyiratkan bahwa uang kompensasi benar-benar menguntungkan. Padahal, bukan berarti uang dengan tiba-tiba dapat melepaskan ikatan warga dengan tanah.
Keterikatan warga terhadap tanah muncul karena adanya dwifungsi tanah sebagai aset sosial dan aset modal (Bahar, 2008). Tanah sebagai aset sosial menandakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dan kelompok dalam lingkungan sosial meletakkan kepentingan bersama atas tanah yang dimiliki. Sementara itu, tanah sebagai aset modal adalah adanya kesinambungan dalam penggunaan tanah untuk menghidupi perekonomian warga. Koherensi kehidupan warga dengan tanahnya inilah yang menjadikan uang tidak bisa menggantikan esensi atas tanah. Perlu diketahui bahwa aktualisasi diri warga dapat terpenuhi dengan memiliki lahan untuk digarap. Hal ini terjadi karena penguasaan atas tanah dianggap sebagai nilai keberhasilan bagi seseorang (Sumardjono, 2006). Eksisnya fungsi-fungsi tanah inilah yang membuat uang ganti pembebasan lahan tidak mampu menggantikannya. Mengingat menggarap tanah adalah pekerjaan utama warga sebelum adanya pembebasan lahan, dibutuhkan waktu yang relatif berjangka untuk kembali menyesuaikan kebiasaan hidup. Selain itu, janji mempekerjakan warga dalam proyek kilang akan relatif sulit direalisasikan karena korporasi membutuhkan pekerja yang telah terlatih. Sekalipun dilakukan pelibatan, warga tidak ditempatkan pada posisi-posisi krusial.
Pada konflik yang terjadi antara warga Jenu, Tuban dengan Pertamina, terdapat sebuah skema lingkungan sosial kelas petani. Bernstein (2017), menyatakan dalam skema tersebut terdapat dua aktor yang terlibat, yakni peasants atau pekerja dan lords sebagai pemilik lahan. Sebelum terjadi akuisisi lahan, warga lokal memiliki pola hidup swasembada dengan mereka sebagai lords atau pemilik lahan. Hal ini berarti dalam upaya penggarapan lahan, warga Jenu hanya perlu mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri. Akan tetapi, pengakuisisian lahan membuat warga Jenu yang terdampak tidak lagi menjadi aktor pemilik lahan dalam skema lingkungan sosial. Mobilisasi ke bawah membuat warga kehilangan kuasa atas tanah untuk digarap dan secara otomatis mereka tidak mendapatkan hasil tani sama sekali. Dalam kasus ini, terjadilah perubahan pola hidup warga Kecamatan Jenu, Tuban yang semula agraris.
Uang Tidak Dapat Mengganti Manifestasi Keberfungsian Tanah
Pada UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), terdapat frasa “kemakmuran rakyat” setelah frasa “dikuasai oleh negara.” Pasal ini menimbulkan tafsir ganda yang menimbulkan tanda tanya. Apakah penguasaan SDA oleh negara ini akan selalu berjalan beriringan dengan kepentingan warga lokal? “Kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) seharusnya merujuk pada kemakmuran warga Kecamatan Jenu, Tuban sendiri. Pertanyaan utama yang harus dikembalikan kepada pihak Pertamina sebagai pemangku kepentingan adalah apakah dengan adanya pembangunan kilang minyak akan mengancam kemakmuran hidup warga lokal? Melihat dari mencuatnya protes yang sempat disuarakan warga, tentu pertanyaan tersebut akan menjadi pertanyaan retorik.
Keberfungsian tanah dan keterikatannya dengan warga adalah aspek utama yang membuat sebesar apapun jumlah rupiah tidak dapat menggantikannya. Penggunaan frasa “foya-foya” untuk menyuratkan situasi ekonomi warga Jenu setelah mendapatkan uang ganti pembebasan lahan pun tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Hal ini karena mengingat pada dasarnya kehidupan warga Jenu semula adalah kehidupan menggarap lahan yang subsisten, di mana konsep investasi menggunakan aset selain lahan merupakan hal yang asing. Selain itu, warga akan terbiasa dengan kehidupan bekerja yang merujuk pada siklus hujan untuk menggarap lahannya. Kebiasaan ini akan membuat warga dapat dengan jelas menandai kapan mereka harus menyemai benih, menuainya, dan merayakan hasil bumi. Akan tetapi, apabila warga tidak lagi memiliki lahan untuk digarap, maka tercerabut jugalah fungsi-fungsi atas tanah dan aktualisasi diri warga. Taraf kesejahteraan warga jangka pendek dan panjang seharusnya dipertimbangkan sebelum rencana akuisisi lahan diterapkan. Dengan demikian, pembangunan berdasarkan aspirasi rakyat dapat diwujudkan. Sebab, pada akhirnya, setiap warga berhak atas kehidupan yang sama layak di atas tanah sendiri. (*)
Penulis : Najma Alya Jasmine, Tuffahati Athallah, dan Zikra Fathin Nabila
Penyunting : Ericka Mega
Ilustrator : Allysa Diandra
Kurator : Inggrid Damara
REFERENSI
Artikel Berita
CNN Indonesia. “Nestapa Warga Tuban Jual Tanah: Dulu Miliarder, Kini Pengangguran,” Januari 26, 2022. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220126144201-20-751518/nestapa-warga-tuban-jual-tanah-dulu-miliarder-kini-pengangguran. Diakses 14 Maret 2022.
detikNews. “Penolakan Kilang Minyak di Tuban Hingga Membuat Warga Jadi Miliarder,”
18 Februari, 2021.
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5379015/penolakan-kilang-minyak-di-tuban-hingga-membuat-warga-jadi-miliarder/2. Diakses 30 Maret 2022.
Iksan, Ashadi. “Warga Desa Miliarder di Tuban Mulai Resah “Diteror” Sales, Tawarkan Mobil Mewah dan Apartemen,” iNews.id, Februari 24, 2021. https://jatim.inews.id/berita/warga-desa-miliarder-di-tuban-mulai-resah-diteror-sales-tawarkan-mobil-mewah-dan-apartemen. Diakses 30 Maret 2022.
KOMPAS.com. “Bangun Kilang di Tuban, Pertamina Pastikan Rekrut Tenaga Kerja Lokal,” https://amp.kompas.com/money/read/2022/01/28/213200126/bangun-kilang-di-tuban-pertamina-pastikan-rekrut-tenaga-kerja-lokal. Diakses 14 Maret 2022.
Pebrianto, Fajar. “Pertamina Enggan Beberkan Total Ganti Rugi untuk Warga Tuban,” TEMPO.CO, Februari 18, 2021. https://bisnis.tempo.co/read/1434417/pertamina-enggan-beberkan-total-ganti-rugi-untuk-warga-tuban. Diakses 26 Maret 2022.
PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia. “Pastikan Pembelian Lahan Sesuai Ketentuan, Pertamina Lanjutkan Proyek Strategis Nasional Kilang Baru Tuban,” Februari 18, 2021. https://prpp.pertamina.com/berita/rilis-pertamina-terkait-proses-pembelian-lahan/. Diakses 26 Maret 2022.
Rahma, Athika. “Pertamina Pastikan Pembelian Lahan untuk Kilang Tuban Sesuai Aturan,” Liputan6.com, Februari 18, 2021. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4486278/pertamina-pastikan-pembelian-lahan-untuk-kilang-tuban-sesuai-aturan. Diakses 28 Maret 2022.
Suryo, Danang. “Warga Kampung Miliarder Tagih Janji ke Pertamina, Ini 5 Tuntutan yang Harus
Dipenuhi,” KOMPAS.TV, 26 Januari, 2022.
https://www.kompas.tv/article/255126/warga-kampung-miliarder-tuban-tagih-janji-ke-
Pertamina-ini-5-tuntutan-yang-harus-dipenuhi. Diakses 03 Maret 2022.
Dirhantoro, Tito “Kampung Miliarder di Tuban Mendadak Digeruduk Sales, TNI-Polri Berjaga Sampai 24 Jam” KOMPAS.TV, 22 Februari 2021
Artikel Jurnal
Astuti, Puji. 2012. “Kekerasan dalam Konflik Agraria: Kegagalan Negara dalam Menciptakan Keadilan di Bidang Pertanahan”, FORUM. 39, no. 2, pp. 52–60.
Bahar, Ujang. 2008. “Permasalahan Pembayaran Ganti Rugi Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” Jurnal Hukum dan Pembangunan. 38, no. 1, pp. 122–147.
Bernstein, Henry. 2017. “Political Economy of Agrarian Change: Some Key Concepts and Questions,” RUDN Journal of Sociology. 17, no. 1, pp.7–18. DOI: 10.22363/231322722017171718
Gurr, Ted. 1968. “A Causal Model of Civil Strife: A Comparative Analysis Using New Indices,” The American Political Science Review. 62, pp. 1104–1124.
Listyawati, H. 2010. “Kegagalan Pengendalian Alih Fungsi Tanah dalam Perspektif Penatagunaan Tanah di Indonesia,” Mimbar Hukum. 22, no. 1, pp. 37–57.
Persch-Orth, Meri dan Esther Mwangi. 2016 “Konflik Perusahaan-Masyarakat di Sektor Perkebunan Industri Indonesia,” Infobrief CIFOR. 144. DOI: 10.17528/cifor/006144
Prawesthi, Wahyu dan Nur Handayani. 2017. “Analisis Yuridis Pemberian Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. pp. 512–529.
Buku
Sumardjono, Maria S. 2006. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dokumen Pemerintah
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.